A.Desain Kurikulum Pendidikan Islam
Terdapat beraneka macam definisi telah diberikan oleh para ahli tentang definisi kurikulum. Kurikulum adalah suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (1). Dari Taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi pun masing-masing memiliki desain dan konten yang berbeda. Obyek kajian kurikulum pendidikan tidak lepas dari tujuan yang dilandasi prinsip dasar dan filsafat yang dipilih, kualifikasi pendidik, kondisi subyek pendidik, materi yang akan diajarkan, buku teks dan lain-lain. (2)
Dalam mendesain kurikulum, minimal ada tiga prinsip yang harus dipegang: pertama, pengembangan pendekatan religious melalui semua cabang ilmu pengetahuan. Kedua, isi pelajaran yang seharusnya bebas dari ide dan materi yang jumud serta tidak bermakna. Ketiga, perencanaan kurikulum yang harus mempertimbangkan aspek kesinambungan, konsekuensi dan integrasi. (3)
Setelah syarat-syarat diatas dipenuhi, maka dalam menyusun isi kurikulum khususnya pendidikan Islam, hendaknya dipilah sesuai bobot materi dan jenjang pendidikan. Misalnya:
1.Tingkat dasar (Ibtidaiyah): bobot materi hanya fokus pada pokok-pokok ajaran Islam. Seperti rukun iman, rukun Islam dan akhlak.
2.Tingkat menengah pertama (Tsanawiyah): bobot materi tetap seperti jenjang dasar, namun ditambahi argument naqli dan aqli.
3.Tingkat menengah Atas (Aliyah): Bobot materi mencakup materi yang pernah diberikan di jenjang dasar dan menengah pertama, ditambah dengan hikmah-hikmah dan manfaat dibalik materi yang diajar di kelas
4.Untuk tingkat Perguruan tinggi (Jami’iyah): bobot materi mencakup dari jenjang dasar sampai aliyah. Ditambah dengan materi yang bersifat ilmiah dan filosofis (4).
B.Peran Pemimpin terhadap Pengembangan Kurikulum (5)
Sepanjang sejarah peradaban Islam, penentuan kurikulum pendidikan berada di tangan ulama.(6) Karena otoritas demikian yang dimiliki ulama, peserta didik disarankan untuk tidak tergesa-gesa belajar kepada sembarang guru. Pentingnya mendapatkan guru yang memiliki reputasi tinggi untuk mencapai gelar tertentu menjadi suatu tradisi.(7) Para siswa, baru mendapat legitimasi mengajarkan ilmu yang dipelajarinya setelah mendapat ijazah. Ijazah pada zaman itu dikeluarkan oleh ulama, hal ini berbeda dengan ijazah pada masa sekarang yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan tertentu. Fenomena ini nampaknya diilhami oleh adanya Hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Sirin (8), dan riwayat dari Ibnu Umar (Hadits marfu’).
Peran ulama sebagai perancang kurikulum pendidikan saat ini digantikan oleh peran seorang kepala sekolah. Dewasa ini, maksimal tidaknya sebuah kurikulum di lembaga pendidikan sangat tergantung peran dari kepala sekolah. Kepala sekolah selaku pimpinan lembaga pendidikan memiliki cakupan kerja yang luas termasuk di dalamnya institusional, kurikuler, dan instruksional. Dalam pengelolaan kurikulum secara mikro, kepala sekolah harus berupaya membimbing dan memotivasi guru dalam rencana pembelajaran maupunproses pembelajaranya. Dalam upaya membimbing guru hingga menangani aspek manejerial dalam bingkai pengembangan maupun pengelolaan kurikulum, kepala sekolah harus mempunyai standar kualifikasi dan kompetensi (9).
Selain itu, pemerintah tidak boleh lepas tangan begitu saja. Misalnya memberlakukan kurikulum baru tanpa mensosialisasikan dan memberi pelatihan-pelatihan kepada para guru. Percuma saja gonta ganti kurikulum jika guru sebagai pengguna kurikulum tidak ditingkatkan kemampuannya.
C.Kemunculan Kurikulum 2013
Kemunculan kurikulum ini sempat membuat heboh dunia pendidikan di Indonesia, pasalnya kurikulum ini diduga sebagai proyek mercusuar sang menteri. Semakin memperkuat adagium:”Ganti Menteri, Ganti Kurikulum”. Di berbagai daerah mengalami penolakan terutama dari dosen dan guru. Mereka yang menolak berpendapat, perubahan kurikulum harusnya berdasarkan penelitian, bukan asumsi. Apalagi penghapusan sejumlah pelajaran dan mengintergerasikannya ke dalam pelajaran lain, dikhawatirkan akan memicu permasalahan baru. Ditambah, kurangnya pelatihan guru membuat banyak kalangan mengkhawatirkan pelajaran yang bersifat tematik integratif tidak akan mudah dipraktekkan (10).
Fisikawan jenius, Prof Yohanes Surya menyatakan hingga kini ia menentang keras penggabungan mata pelajaran IPA/IPS ke dalam pelajaran lain. Menurut Yohanes, IPA/IPS harus tetap ada berdiri sendiri sebagai mata pelajaran mandiri demi kemajuan anak bangsa. Apalagi, integrasi mata pelajaran akan memunculkan persoalan baru, yakni kesulitan evaluasi. Dari pihak guru, kurikulum ini juga mendapat penolakan. Sekjen FSGI, Retno Listyarti menegaskan yang penting dilakukan pemerintah saat ini adalah meningkatkan mutu guru bukan mengubah kurikulum. Dengan kurikulum model apapun, tidak akan berhasil jika guru sebagai ujung tombaknya tidak punya kemampuan menyampaikan pelajaran dengan baik. Retno menuding selama ini pemerintah abai mengurus guru (11).
Perlu diketahui, kurikulum yang diterapkan mulai tahun ajaran 2013/2014 ini menelan biaya fantastis sebesar 2,49 Triliun rupiah. Penggunaan anggaran terbesar digunakan untuk penggandaan buku sebanyak 72,8 juta eksemplar Rp 1,2 triliun dan pelatihan guru Rp 1,09 triliun.(12) Anggaran sebesar ini dinilai sebagian pihak seperti ICW, rawan penyelewengan misalnya: adanya pihak tertentu yang “menanyakan” proyek pengadaan buku kurikulum 2013. (13)
Menteri Pendidikan Muhammad Nuh sewaktu berdiskusi dengan Rhenald kasali PhD; menjelaskan perihal kurikulum 2013 ini. Pertama, Kurikulum 2013 sudah dipersiapkan lama. Merumuskan kurikulum 2013 memakan waktu lebih dari setahun. Kurikulum ini yang memperkuat basis kompetensi: pengetahuan, keterampilan dan sikap anak didik. Kedua, Kalau kita tidak merubah kurikulum berarti kita mempersiapkan generasi yang usang. Filosofi kurikulum 2013 itu “yang kita didik sekarang untuk dipersiapkan 10 hingga 15 tahun mendatang”. Ketiga, Subyek dan obyek dalam kurikulum 2013 adalah fenomena alam, sosial dan budaya (14).
Hemat penulis, Apapun nama kurikulumnya, idealnya harus bisa membuat anak didik menjadi seorang berakhlaqul karimah dan mandiri dalam arti dia siap menghadapi tantangan ketika usianya menginjak fase dewasa. Jangan sampai, anak didik ini menjadi produk gagal, boleh jadi di akherat nanti, mereka akan meminta pertanggungjawaban pada para pemangku kepentingan yang mendesain kurikulum pendidikan. Wallahu’allam bishowwab
End notes:
S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999) Hal 5
Moh Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal 77
Ibid. hal 77-78
Abdul mujib, ilmu Pendidikan islam, (Kencana, 2006), hal 155
Sub bab ini diadopsi dari Makalah sdr Zaenal Muttaqin (S2 Pendidikan Agama Islam (PAI), UIN Malang, th 2011)
Charles Michael Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam, (Jakarta: PT Logos, 1994), hal 52
Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung: Mizan, 1998) hal 260.
Diriwayatkan dari Ibnu Sirin, Rasulullah saw bersabda: “Ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil sumber agama kalian.”
Jika merujuk pada Peraturan Menteri Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, kepala sekolah harus berjiwa wirausaha atau entrepreneur. Lihat Sudarwan Danim dan Khairil, Profesi Kependidikan, (Bandung: Alfabeta), hal 79