Apa yang terlintas di pikiran Anda ketika mendengar negara Singapura?
Kalau Anda pernah membaca buku Tiga Manula: Jalan-jalan ke Singapura karya Benny Rachmadi, mungkin Anda akan membayangkan sebuah negara yang sangat disiplin dengan seribu larangannya. Misalnya ketika Sanip yang memakan permen karet kena denda sekitar $500 dollar Singapura atau ketika Sanip --- lagi-lagi dia --- membawa buah durian ke penginapannya.
Dalam buku tersebut, tiga kakek-kakek ini kesulitan untuk mengikuti peraturan-peraturan yang ada, namun pada akhirnya mereka dapat beradaptasi dan mematuhi peraturan-peraturan yang ada. Apa yang membuat perilaku mereka berubah? Apa yang membuat Waluyo --- salah satu kakek --- rela menunggu lampu hijau tanda menyebrang di Tengah malam yang sepi di China Town?
Kok Waluyo dan 6 juta penduduk Singapura patuh dengan peraturan yang ada?
Nah, di sinilah kita harus berkenalan dengan rumpun behavioral science dan implementasinya pada public policy. Karena, mustahil kita bisa mengerti "kepatuhan" Liem, Waluyo, dan Sanip tanpa ilmu ini.
Behavioral science merupakan ilmu yang membahas mengenai aspek perilaku dari diri seseorang atau masyarakat. Tidak terlalu sibuk dengan urusan otak manusia, tapi sangat sibuk dengan hubungan antara pikiran dan perilakunya dalam ruang lingkup sosial. Behavioral science --- saya sangat ingin mengambil mata kuliah ini --- seringkali dihubungkan dengan berbagai ilmu aplikatif lainnya, seperti consumer behavior, sociology, dan public policy. Ada juga salah satu teknik behavioral science yang sangat digemari oleh orang-orang, yaitu nudge.
Nudge bisa membuat kita mengarahkan orang lain tanpa ia sadari bahwa mereka sedang diarahkan! Misalnya saja, di India, memberikan perbandingan antara penggunaan listrik rumah Pak Singh dalam satu bulan dengan rata-rata penggunaan listrik beberapa rumah lain di sekitarnya --- yang lebih tinggi --- dapat membuat Pak Singh merasa harus menurunkan penggunaan listrik per bulan rumahnya. Dan tentu menasehati anaknya untuk tidak kebanyakan menyalakan AC (tokoh dalam cerita ini hanya fiksi...).
Kembali ke Singapura, mereka memiliki lebih dari 10 tim behavioral science yang tergabung di beberapa kementrian negara. Hal ini memudahkan mereka dalam membuat kebijakan yang disertai nudge untuk dapat diterima dengan baik oleh masyarakat.
Tentunya di samping kemajuan teknologi yang diaplikasikan, teknik nudge juga digunakan sebagai optimalisasi dari segala kebijakan yang telah dibuat.
Pada tahun 2016, pemerintah Singapura memiliki program untuk mengurangi penggunaan karbon. Selain memberikan pajak yang tinggi pada perusahaan yang menggunakan banyak karbon, mereka juga membuat program Project Zero Carbon untuk masyarakat. Nah, program tersebut juga menggunakan teknik nudge agar penggunaan listrik rumahan berkurang. Dengan teknik tersebut, rata-rata penggunaan listrik rumahan di Singapura turun hingga 3%! Hal ini bahkan berlanjut hingga 4 bulan lamanya.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sayangnya, tim behavioral science belum banyak. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh www.behavioralteams.com, hanya ada lima tim behavioral science di Indonesia, salah satunya adalah nudgeplus.
Nudgeplus --- tempat saya bekerja --- telah melakukan beberapa penelitian yang berusaha untuk mengubah perilaku seseorang. Beberapa diantaranya adalah meningkatkan frekuensi cuci tangan dan menurunkan keinginan seseorang untuk mudik pada pandemi covid-19 lalu.
Tampaknya --sejauh yang saya ketahui-- belum ada tim khusus yang memberikan behavioral insights dalam proses pembuatan public policy di Indonesia. Tanpa mengetahui datanya, mungkin kita langsung bisa mengetahui dari banyaknya orang yang membuang sampah sembarangan walau sudah diberikan sanksi, tidak menggunakan helm saat naik motor, lebih memilih untuk naik kendaraan pribadi daripada transportasi publik, dan seribu contoh lainnya.
Tampaknya policymaker kita lebih suka sains alam daripada sosial. Mereka banyak membuat trotoar, menyediakan busway, dan pesan-pesan tanpa sasaran yang tidak mempertimbangkan aspek perilaku dari penduduk itu sendiri.
Walaupun begitu, penelitian tentang behavioral science sudah mulai merangkak di negeri ini. Kalau kita mencari penerapan nudge di Indonesia pada database Scopus --salah satu database artikel ilmiah terpercaya-- sudah ada sekitar sembilan penelitian yang menggunakan teknik ini.
Paling tidak, sudah ada langkah awal. Langkah selanjutnya adalah mengencangkan derap langkah hingga terdengar oleh para pembuat kebijakan.
Saya dengar-dengar, Waluyo, Sanip, dan Liem sudah jalan-jalan ke Pantura. Menurut Anda, apakah mereka kembali kepada kebiasaan lama atau tetap patuh kepada peraturan yang ada? Tunggu artikel selanjutnya!
Referensi:
Afif, Z., Islan, W. W., Calvo-Gonzalez, O., & Dalton, A. (2019). Behavioral science around the world: Profiles of 10 countries.
Agarwal, S., Rengarajan, S., Sing, T. F., & Yang, Y. (2017). Nudges from school children and electricity conservation: Evidence from the "Project Carbon Zero" campaign in Singapore. Energy Economics, 61, 29--41.
Prasetyo, D. B., & Sofyan, L. (2021). Altering intention to mudik during COVID-19 pandemic: a salient cue and simple reminder nudge. Psychology and Developing Societies, 33(1), 121--145.
Prasetyo, D. B., Sofyan, L., Muchtar, P. A., & Dewi, D. F. (2022). Nudging to handwash during the pandemic--The use of visual priming and salience. Analyses of Social Issues and Public Policy, 22(3), 836--856.
www.behavioralteams.com, diakses pada tanggal 7 Agustus 2023.
Rachmadi, B. (2013). Tiga manula jalan-jalan ke singapura. Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H