Jagat media sosial belakangan ini diramaikan oleh perbincangan sebuah kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan seorang difabel bernama Wayan Agus. Pria asal Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan pelecehan terhadap 17 orang, termasuk anak-anak di bawah umur.Â
Bagaimana Bisa Seorang Difabel Melakukan Kekerasan Seksual?
Kasus yang menjerat Agus Buntung telah memicu berbagai spekulasi dan pertanyaan besar di tengah masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana seorang penyandang disabilitas, yang seharusnya mendapat perlindungan dan perhatian khusus, justru diduga terlibat dalam kasus pelecehan seksual.
Peristiwa ini menimbulkan kekhawatiran mengenai pemahaman masyarakat terhadap disabilitas, serta sejauh mana kemampuan dan keterbatasan penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan tindakan kriminal.
Berdasarkan keterangan dari pihak kepolisian, Agus diduga menggunakan manipulasi emosional serta ancaman psikologis untuk memaksa korban menuruti keinginannya. Fakta ini memicu kemarahan publik, terlebih setelah bukti berupa rekaman video dan suara mulai terungkap ke hadapan publik.
Semakin banyaknya fakta yang terungkap membuat perhatian masyarakat terhadap kasus ini semakin besar, serta menimbulkan tuntutan agar proses hukum dijalankan dengan tegas dan adil.
Polda NTB menegaskan bahwa proses hukum akan dilakukan secara transparan, dengan langkah-langkah seperti pemeriksaan menyeluruh serta rekonstruksi kejadian guna mengungkap detail peristiwa.
Sementara itu, laporan dari korban lainnya terus berdatangan seiring dengan keberanian mereka untuk mengungkapkan kejadian yang dialami. Kasus ini memberikan pelajaran berharga mengenai pentingnya perlindungan terhadap korban serta komitmen penegakan hukum yang harus dilakukan secara adil tanpa diskriminasi, termasuk bagi pelaku yang memiliki disabilitas.
Pasal yang Menjerat Agus dan Apakah Berlaku Alasan Pemaaf?
Agus dikenakan jerat hukum berdasarkan Pasal 6 huruf C dan A juncto Pasal 15 ayat 1 huruf E Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam melancarkan aksinya, Agus diduga menggunakan modus manipulasi melalui komunikasi verbal yang mampu memengaruhi kondisi psikologis serta sikap para korban. Ia dinilai memanfaatkan kerentanan korban sehingga mereka berada dalam kendalinya dan mengikuti keinginannya. Hingga Sabtu, 14 Desember 2024, jumlah korban yang telah teridentifikasi mencapai 17 orang.
Saat ini, Agus tengah menjalani masa penahanan selama 20 hari di Lapas Kelas IIA, Kuripan, Lombok Barat. Penahanan tersebut dilakukan setelah penyidik Polda NTB menyerahkan berkas perkara Agus ke Kejaksaan Negeri Mataram. Kepala Kejari Mataram, Ivan Jaka, menyatakan bahwa seluruh persyaratan penahanan Agus telah terpenuhi.
Kondisi fisik Agus yang merupakan penyandang disabilitas tanpa kedua tangan telah menimbulkan berbagai spekulasi publik. Lantas, apakah kondisi tersebut termasuk ke dalam alasan pemaaf yang berarti pelaku tidak dapat dipidana karenanya? Apa itu alasan pemaaf? Bagaimana peraturan hukumnya?
Dalam hukum pidana, dikenal adanya faktor-faktor yang dapat menghapuskan pidana, yang terdiri dari alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukum dari suatu perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan kesalahan terdakwa. Mengenai alasan pemaaf telah diatur dalam Pasal 44 KUHP lama, yang berbunyi:
- Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
- Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
- Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Adapun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026, pertanggungjawaban pidana oleh orang yang cacat jiwanya diatur dalam Pasal 38 dan Pasal 39 yang berbunyi:
Pasal 38
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal 39
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.
Kasus Wayan Agus menimbulkan asumsi bahwa alasan pemaaf dapat diberlakukan, mengingat Agus merupakan penyandang disabilitas fisik tanpa kedua tangan. Namun, sebenarnya jika merujuk Pasal 44 KUHP lama dan Pasal 38, Pasal 39 UU 1/2023 tentang KUHP baru, kondisi disabilitas Wayan Agus tidak termasuk kepada alasan pemaaf. Karena dalam peraturan tersebut telah jelas disebutkan siapa yang termasuk kepada alasan pemaaf, yaitu pelaku tindak pidana yang memiliki cacat jiwa, Â menyandang disabilitas mental dan atau disabilitas intelektual. Sementara Wayan Agus yang menyandang disabilitas fisik, sehingga tidak bisa diberlakukan alasan pemaaf. Bagaimanapun juga, masyarakat perlu memahami secara jernih dan objektif dalam menyikapi kasus kekerasan seksual yang dilakukan tersangka Wayan Agus ini.
Nilai yang Penting untuk Dipahami
Kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Agus Buntung memberikan pembelajaran berharga mengenai pentingnya menjaga moralitas serta menghormati hak asasi setiap individu. Tindakan tersebut tidak hanya memberikan dampak negatif secara fisik bagi korban, tetapi juga menimbulkan luka mendalam pada kondisi psikologis dan emosional mereka.
Peristiwa ini semakin menegaskan urgensi edukasi mengenai batasan diri dan norma sosial sejak usia dini. Masyarakat perlu memiliki pemahaman yang jelas tentang perilaku yang tidak dapat ditoleransi serta konsekuensi jangka panjang yang ditimbulkan. Pelecehan seksual bukan hanya melukai korban, tetapi juga berpotensi merusak nama baik pelaku serta menimbulkan stigma sosial yang sulit dihapuskan.
Selain itu, penting untuk ditekankan bahwa setiap tindakan pelecehan seksual harus segera dilaporkan dan ditindaklanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada toleransi terhadap bentuk kekerasan atau pelanggaran hak individu dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam konteks ini, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, aparat penegak hukum, dan institusi pendidikan memegang peranan penting dalam menciptakan lingkungan yang aman serta terbebas dari ancaman pelecehan seksual.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI