Mohon tunggu...
Fachry Aziz Sofyan
Fachry Aziz Sofyan Mohon Tunggu... Freelancer - Dreamer

Menuangkan yang terlintas di benak kepala ke dalam rupa tulisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RUU TNI: Mati Suri Era Orde Baru

29 Juli 2024   16:38 Diperbarui: 29 Juli 2024   21:10 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: peloporwiratama.co.id

Poin pertama yang menjadi sorotan dalam RUU TNI ini yaitu mengenai kedudukan TNI. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 3 ayat (1) dan (2), TNI berada di bawah presiden untuk pengerahan kekuatan militer dan di bawah Departemen Pertahanan untuk kebijakan dan strategi pertahanan. Revisi UU TNI mengusulkan agar TNI menjadi alat negara dalam bidang pertahanan dan keamanan di bawah presiden. Sementara itu, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menetapkan Polri sebagai alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum. 

Selanjutnya, dalam RUU TNI ini terdapat permasalahan mengenai prajurit aktif TNI yang diperbolehkan menduduki jabatan sipil. Dalam draf revisi UU TNI, disebutkan bahwa prajurit TNI aktif dapat menduduki posisi di sepuluh lembaga atau kementerian sesuai kebutuhan. Penempatan ini harus berdasarkan permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintah nondepartemen, serta mengikuti ketentuan administrasi yang berlaku. Sebelumnya, prajurit hanya bisa menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militer.

 Sepuluh lembaga tersebut termasuk Kantor Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Badan Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung. Kini, penempatan prajurit TNI tidak lagi terbatas pada sepuluh lembaga tersebut. 

Selain poin-poin di atas, terdapat hal yang patut disoroti dari RUU TNI ini yaitu mengenai masa jabatan anggota TNI yang sebelumnya diatur dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal tersebut menyatakan bahwa Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun bagi perwira, dan 53 (lima puluh tiga) tahun bagi bintara dan tamtama. Sedangkan dalam draft RUU TNI memperpanjang usia pensiun tersebut menjadi 60 tahun bagi Perwira, 58 tahun bagi Bintara dan Tamtama.

Potensi Dampak RUU TNI terhadap Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia

RUU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di berbagai lembaga dan kementerian, yang menimbulkan kekhawatiran atas dampaknya terhadap demokrasi dan HAM di Indonesia. Sejarah, terutama selama era Orde Baru, menunjukkan bahwa militer memiliki peran dominan dalam politik dan pemerintahan, seringkali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. 

Pada era Orde Baru, militer memiliki peran signifikan dalam pemerintahan, yang dikenal dengan doktrin "dwifungsi ABRI" (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). Doktrin ini memberikan militer wewenang untuk tidak hanya bertugas dalam bidang pertahanan, tetapi juga terlibat dalam pemerintahan sipil. Hal ini menyebabkan militer memiliki kekuasaan yang besar dan tidak seimbang, mengurangi ruang bagi demokrasi dan mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM.

Keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil di masa Orde Baru sering dikaitkan dengan berbagai pelanggaran HAM, seperti penindasan terhadap aktivis politik, pelanggaran hak kebebasan berpendapat, dan tindakan represif terhadap oposisi. RUU TNI memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil, sehingga RUU ini dapat menandai kembalinya praktik-praktik tersebut karena sejarah kelam tersebut.

Dalam sistem demokrasi, terdapat prinsip-prinsip yang harus dijaga: akuntabilitas dan transparansi. Keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil dapat membaurkan fungsi militer dengan sipil, mengurangi transparansi pengambilan keputusan, serta akuntabilitas pejabat publik. Pengalaman Orde Baru menunjukkan bagaimana dominasi militer dalam pemerintahan mengurangi partisipasi publik dan menghambat proses demokratisasi.

Perlindungan supremasi hukum dalam demokrasi sehat ditandai oleh supremasi hukum, di mana semua pihak, termasuk militer, tunduk pada hukum yang berlaku. RUU TNI berpotensi mengancam supremasi hukum dengan memberikan wewenang berlebihan kepada militer dalam pemerintahan sipil. Hal ini dapat menciptakan situasi di mana militer berada di atas hukum, mengingat sejarah era Orde Baru ketika militer seringkali tidak tersentuh oleh hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun