Mohon tunggu...
Fachrul Khairuddin
Fachrul Khairuddin Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Terus Menulis!!!

Selanjutnya

Tutup

Money

60 Tahun Kalla Group: Mengenal Hadji Kalla dan Athirah

1 Januari 2012   06:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:30 6772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2012 adalah tahun dimana Kalla Group, kelompok perusahaan milik Hadji Kalla dan keturunannya, genap berusia 60 tahun. Untuk itu, penulis akan menyajikan tulisan-tulisan dan foto-foto perihal Kalla Group sedetil mungkin. Hanya untuk Kompasiana. Sebagai tulisan pertama, penulis menyajikan profil Hadji Kalla dan Athirah, suami-istri yang merintis Kalla Group 18 Oktober 1952 silam. Selamat membaca, semoga bermanfaat! [caption id="attachment_152548" align="alignleft" width="169" caption="Hadji Kalla"][/caption] Hadji Kalla Kalla lahir tahun 1920 di kampung Nipa, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Sejak umur tiga tahun, dia sudah hidup meyatim karena ayahnya meninggal dunia. Keadaan itu membuatnya tumbuh sebagai laki-laki mandiri dan berjiwa usaha. Motivasi untuk menggantikan peran ayah bergejolak di dalam jiwanya. Kemandirian dan jiwa usaha Kalla dibuktikan dengan ikut-ikutan berdagang bersama temannya. Karena rajin dan ulet, dia pun memperoleh hasilnya pada usia 15 tahun dengan memiliki kios sendiri di pasar Bajoe di Watampone, ibukota Kabupaten Bone. Sebagai pedagang, Kalla sangat hemat dan rajin menabung. Uang hasil berdagang ditabungnya sedikit demi sedikit. Hingga pada 1936, dia bersama rombongan keluarganya menunaikan ibadah haji ke Mekkah mengunakan kapal penumpang milik pemerintah Belanda. Sepulang dari tanah suci, Kalla memperbaiki tampilan kiosnya dan mengembangkan usaha dagangnya. Dia juga akrab dipanggil Hadji Kalla oleh teman-temannya. Panggilan itu pun melekat pada namanya dan menjadi identitas dirinya. [caption id="attachment_152549" align="alignleft" width="190" caption="Athirah"]

13254003141393871778
13254003141393871778
[/caption] Athirah Athirah lahir tahun 1924 di kampung Bukaka, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ayahnya Muhammad adalah Kepala Kampung dan mantan penasehat Kerajaan Bone. Ibunya Hj. Kerra adalah seorang pedagang kecil-kecilan sekaligus ibu rumah tangga. Athirah hidup sederhana dalam keluarga yang ekonominya pas-pasan. Karena pas-pasan itu, Athirah hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SD.  Sehari-hari, Athirah bekerja membantu ibunya berdagang dan melakukan pekerjaan rumah tangga: menyapu, mencuci, dan menyiapkan makanan di dapur. Perjodohan Hadji Kalla-Athirah Madeng, kakek Hadji Kalla, bersahabat baik dengan Muhammad, ayah Athirah. Keduanya pun memrakarsai perjodohan antara Hadji Kalla dengan Athirah. Hadji Kalla setuju dengan hal tersebut; Athirah sendiri hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Tuhan semoga dia diberi suami yang saleh, bertaqwa, dan bertanggungjawab kepada keluarga. Pada 1937, di umurnya yang ke-17 tahun, Hadji Kalla menikah dengan Athirah yang baru  berumur 13 tahun. Nikah muda memang menjadi kebiasaan orang-orang di kampung jaman dulu. Menjalankan Usaha Bersama Selanjutnya, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Hadji Kalla dan Athirah menjalankan usaha bersama dengan mengembangkan kios mereka di Pasar Bajoe. Jiwa dagang Athirah yang diwarisi dari ibunya sangat membantu Hadji Kalla. Pada 1950, seiring kemajuan usaha, Hadji Kalla dan Athirah membuka Toko Sederhana di Jalan Wajo, Watampone. Toko tersebut menjual barang kebutuhan pokok dan pakaian: baju, celana, sarung, dan lainnya. Kesibukan keduanya pun bertambah karena di sisi lain juga harus merawat dan menjaga tiga anak mereka yang masih kecil: Nuraini Kalla, Muhammad Jusuf Kalla, dan Zohrah Kalla. Merantau ke Makassar Sukses berdagang di kampung, Hadji Kalla dan Athirah memberanikan diri merantau dan berdagang ke Makassar membawa tiga anak mereka. Masa awal di Makassar, keduanya menginap di Hotel Capitol di jalan Riburane, samping stasiun RRI Makassar. Keputusan merantau ke Makassar dirasa sangat tepat karena pada masa itu terjadi gerakan nasionalisasi perusahaan Belanda. Hadji Kalla pun tidak mau ketinggalan, dia juga membeli tujuh Firma warisan Belanda. Pada 18 Oktober 1952, Hadji Kalla mendirikan perusahaan bernama NV Hadji Kalla Trading Company. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan, tekstil, ekspor-impor, dan jasa transportasi. Dia mengembangkan usaha tersebut dibantu teman-temannya, diantaranya Hadji Saebe. Lama kemudian, setelah perusahaan maju, Hadji Kalla membeli satu petak rumah toko (ruko) di jalan Pelabuhan (sekarang jalan Martadinata). Ruko itu kemudian berfungsi sebagai kantor NV Hadji Kalla Trading Company sekaligus rumah tinggal Hadji Kalla dan keluarganya di Makassar. Hasil usaha yang maju juga dipakai Hadji Kalla untuk berinvestasi. Investasi andalannya adalah membeli tanah di beberapa daerah di Makassar, seperti di jalan Andalas, di daerah Bulorokeng, Sudiang, dan beberapa daerah lainnya. Sang istri Athirah juga tidak mau ketinggalan. Jiwa dagang membuatnya turut menjalankan usaha sendiri. Jual beli sarung sutra dan perhiasan menjadi pilihannya. Rumah di jalan Andalas dijadikannya sebagai toko. Selain itu, dia juga menjalankan usaha rental mobil. Pada 1960-an, ketika Indonesia mengalami krisis, bisnis Hadji Kalla turut mengalami krisis dan bahkan tidak berjalan sama sekali. Di saat sulit seperti itu, usaha dari istrinya Athirah menjadi penopang hidup keluarga. Di Makassar pula, delapan anak Hadji Kalla dan Athirah lahir, melengkapi tiga anak yang sebelumnya lahir di Watampone sehingga semuanya berjumlah 10 orang: Nuraini Kalla, Muhammad Jusuf Kalla, Zohrah Kalla, Salman Kalla, Achmad Kalla, Suhaely Kalla, Ramlah Kalla, Halim Kalla, Faridah Kalla, dan Fatimah Kalla. Gaya Hadji Kalla sebagai Pengusaha dan Pedagang Hadji Kalla sangat menekankan kejujuran dan keberagamaan dalam berdagang. Hal itu juga diterapkan kepada karyawannya. Baginya, karyawan harus jujur dan rajin menunaikan ibadah shalat lima waktu. Dengan begitu, karyawan bisa terdidik untuk menjadi terpercaya. Hadji Kalla sangat memperhatikan kesejahteran karyawannya. Dalam keadaaan apapun, gaji karyawan harus dibayar sebelum tanggal satu. Bahkan terkadang dia harus memakai uang dapur istrinya Athirah untuk menutupi gaji. Selain itu, dia juga membangunkan 120 rumah yang kemudian dihibahkan kepada karyawan. Hadji Kalla juga merupakan orang yang hemat, dia mengajarkan anak-anaknya untuk berhemat sejak dari kecil. Namun hemat bukan berarti tidak membayar pajak dan zakat. Pajak dan zakat selalu dikeluarkan oleh perusahaannya. Gaya Athirah sebagai Pengusaha dan Pedagang Athirah sangat menghargai pelanggan yang datang ke galerinya di jalan Andalas. Dia melayani tamunya dengan ramah dan telaten, bahkan selalu dijamu dengan menyediakan makanan dan minuman. Pelanggan Athirah datang dari Makassar dan bahkan dari Jakarta. Athirah juga sangat memperhatikan urusan penghitungan dan pembukuan. Dia bahkan mencatat pembukuannya dalam dua huruf: Indonesia dan Lontara Bugis. Beliau menghitung hasil penjualannya setiap hari menjelang tidur dan kemudian dimasukkan ke dalam brankas (peti uang) dan dikelolanya sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain termasuk Hadji Kalla dan anak-anaknya. Catatan pembukuan dilakukannya setelah shalat Shubuh. Athirah mampu menabung sebagian keuntungan yang didapatkannya. Tabungannya inilah yang beberapa kali menjadi penopang di saat perusahaan suaminya mengalami persoalan keuangan. Suatu ketika, sebagai contoh, perusahaan Hadji Kalla sudah harus membayar ratusan buruh yang bekerja di proyek. Namun, saat itu perusahaan belum memiliki dana cukup karena menunggu dari pihak ketiga. Hadji Kalla kemudian menelepon istrinya. Mendapat kabar tersebut, Athirah langsung menyediakan uang pribadinya untuk menalangi pembayaran gaji para buruh tersebut. “Di saat bisnis menurun, usaha ibulah yang menopang hidup kami,” kata Jusuf. Sebagai pengusaha, usaha yang dilakukan Athirah tidak selamanya berlangsung mulus, namun dia berusaha untuk tetap tekun dan tegar. Beberapa kali dia terkena tipu oleh konsumen yang mengambil barang dengan perjanjian kredit tetapi kemudian tidak membayar. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan semangatnya untuk terus menekuni bisnisnya. Hal itu disimpannya sendiri dan tidak diungkapkannya kepada Hadji Kalla dan anak-anaknya. “Ibu tetap saja menjalankan bisnisnya seperti biasa dan optimistis bisa mendapatkan hasil yang lebih baik. Sayangnya, tidak ada anak-anaknya yang melanjutkan bisnis ibu,” ujar Halim. Beberapa anak perempuan Athirah mencoba mewariskan usahanya. Namun hasilnya tidak menggembirakan. “Tidak ada yang bisa meniru sentuhan pribadi yang biasa dilakukan ibu dalam berhubungan dagang,” ujar Jusuf. Hadji Kalla dan Athirah sebagai Orang Tua Dalam mendidik anak, Hadji Kalla sangat menekankan pendidikan agama. Kebiasaan sholat lima waktu dan mengaji ditanamkannya kepada anak-anaknya. Dia bahkan bercita-cita kelak ada anaknya yang menjadi lulusan Universitas Al Azhar Mesir. Kepada Jusuf, Hadji Kalla menginginkannya untuk menjadi ustad atau kiai. Jusuf pun dimasukkannya ke sekolah pendidikan Islam Datumusseng Makassar. Namun kemudian, Jusuf lebih tertarik belajar di bidang bisnis dan ekonomi. Jusuf menyelesaikan S1 ekonominya di Universitas Hasanuddin Makassar. Salman juga diminta Hadji Kalla untuk masuk IAIN agar bisa mengabdi untuk kepentingan orang banyak di bidang agama. Namun Salman lebih memilih untuk menjadi dokter. Dia menyelesaikan sekolah kedokterannya di Universitas Hasanuddin Makassar. Achmad tidak diarahkan oleh ayahnya ke sekolah pendidikan agama karena sejak kecil dia sudah suka membongkar-bongkar sepeda dan sepeda motor. Dia pun disekolahkan ke jurusan teknik di Institut Teknologi Bandung. Harapan muncul pada Suhaely. Begitu tamat Sekolah Dasar, dia dimasukkan ke pesantren di Sengkang. Selanjutnya, dia dibawa ke Pesantren Gontor Ponorogo hingga menamatkan tingkat Aliah di sana. Dia diharapkan meneruskan belajar ke Universitas Al-Azhar di Mesir. Untuk itu, Suhaely harus melakukan persiapan dengan kuliah dulu di IAIN Makassar. Namun, setelah pindah ke Jakarta, Suhaely memilih sekolah bisnis dan ekonomi di sebuah perguruan tinggi swasta. Halim, sama seperti Achmad, tidak diarahkan ke sekolah agama. Dia pun lebih memilih menyelesaikan pendidikannya di sekolah bisnis dan ekonomi di Buffalo University, Amerika Serikat. Akhirnya, tidak ada satu pun anak laki-laki Hadji Kalla yang lulus di perguruan tinggi bidang agama. Keinginannya untuk memiliki anak tamatan Universitas Al-Azhar Mesir pun tidak kesampaian. Hampir semua anak Hadji Kalla menamatkan pendidikannya di tingkat Universitas, hanya Zohrah dan Siti Ramlah yang tidak menyelesaikan kuliah. Zohrah berhenti di tengah jalan; Ramlah putus karena menikah dengan Aksa Mahmud, teman Jusuf. Sementara yang lain berhasil menamatkan sekolah mereka: Zohrah meraih Sarjana Ekonomi, Faridah meraih Sarjana Teknik Elektro, dan Fatimah meraih Sarjana Farmasi. Beda dengan Hadji Kalla, Athirah memiliki jiwa keibuan yang kuat dalam mendidik anak-anak. Dia selalu berusaha memastikan agar kebutuhan anak-anaknya terpenuhi. Dia juga selalu mendoakan anak-anaknya dalam setiap sholatnya. Salah satu kisah menarik adalah ketika anaknya Salman akan berangkat mengikuti ujian dokter. Salman mendatangi ibunya untuk berpamitan pergi ujian. Begitu Salman berangkat, ibunya pergi shalat dan dilanjutkan dengan berdoa. Hal ini dilakukannya sampai Salman pulang ujian dan memberitahu bahwa dia lulus menjadi dokter. Sikap keibuan juga diberikan Athirah terhadap teman-teman anaknya. Ketika Jusuf menjadi aktivis mahasiswa, misalnya, banyak sekali temannya yang sering datang ke rumahnya. Bagian belakang rumah ibarat menjadi posko bagi para mahasiswa. Terkadang datang juga aktivis mahasiswa dari Jakarta seperti Mar’ie Muhammad dan Nurcholis Madjid. Athirah memerhatikan kebutuhan mereka, makanan dan minuman. “Rumahnya seperti kantor bagi aktivis mahasiswa dan buka terus selama 24 jam,” kata Alwi Hamu, sahabat Jusuf sejak masih mahasiswa. Hal ini juga diamini oleh teman-temannya yang lain seperti Herman dan Anwar Guricci. Teman-teman Jusuf ‘tak pernah mendengar Athirah mengeluh apalagi mengeluarkan kata-kata kasar. Hadji Kalla, Athirah dan Organisasi Hadji Kalla tidak pernah masuk dalam organisasi besar, dia cuma mengurusi masjid dan agama. Di kampung, dia menjadi bendahara Mesjid Raya Watampone. Pindah ke Makassar, dari tahun 1953 sampai meninggal, dia menjadi bendahara Masjid Raya Makassar. Dia juga membentuk pengkaderan ulama: sarjana dari IAIN Makassar direkrut dan dididik untuk menjadi ulama, pesertanya diberikan sejumlah fasilitas. Beda dengan Hadji Kalla, Athirah justru aktif di organisasi besar. Dalam bidang sosial, Athirah aktif dalam kegiatan Aisyiyah (organisasi perempuan Muhammadiyah) Cabang Makassar. Sejak tahun 1960, dia telah aktif mengikuti pengajian tafsir Al-Qur’an dan hadits di bawah bimbingan Dra. Hj. Hadrah Makmur Ali di komplek perguruan Muhammadiyah Cabang Makassar. Pada tahun 1965, Athirah menjadi pengurus Tabligh Aisyiyah Cabang Makassar. Tahun 1966, Athirah mengikuti program sukawati (sukarelawati) Aisyiyah yang diadakan pimpinan wilayah Sulselra di PHI Jalan Laiya Makassar. Sukawati dibentuk untuk menghadapi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang dibentuk Partai Komunis Indonesia (PKI). Dalam kegiatan ini, Athirah berlatih militer, diantaranya bongkar pasang senjata api dengan mata tertutup. Sebagai pengurus Aisyiyah, Athirah sangat disiplin waktu dan tidak pernah menolak atau berkomentar kalau diberi tugas. Biasanya dia bertugas sebagai bendahara. Banyak sumbangan yang diberikan Athirah kepada Aisyiyah. Yang paling berkesan adalah pemberian tanah wakaf di Kelurahan Bulorokeng, Kecamatan Biringkanaya, Makassar. Di atas tanah wakaf seluas kurang lebih dua hektar itu kini berdiri kokoh Pondok Pesantren Puteri Ummul Mukminin yang meliputi asrama, masjid, aula, laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, dan kantor. Masjid di komplek tersebut diberi nama sesuai dengan namanya, Masjid Athirah. Hadji Kalla dan Athirah Wafat Athirah wafat tanggal 19 Januari 1982 karena sakit dan dimakamkan di pemakaman Arab daerah Bontoala Makassar. Sebagai tanda hormat dan cinta keturunannya, nama Athirah diabadikan sebagai nama lembaga pendidikan yang didirikan Kalla Group, yaitu Sekolah Islam Athirah. Nama kampungnya Bukaka juga dijadikan nama perusahaan di Jakarta, Bukaka Group, yang kini dikelola oleh Achmad dan Suhaely. Sekira 86 hari kemudian setelah wafatnya Athirah, tepatnya pada tanggal 15 April 1982, Hadji Kalla juga menghembuskan nafas terakhirnya. Ribuan orang mengiringi jenazah Hadji Kalla menuju pemakaman.[] Referensi: Media Kalla; Wikipedia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun