Era reformasi adalah era kebebasan pers. Presiden ketiga Indonesia, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, membubarkan Departemen Penerangan, biang pembatasan pers pada orde baru yang dipimpin Harmoko. Surat kabar dan majalah kemudian dibiarkan tumbuh dan menjamur, begitu juga media-media lainnya: televisi dan radio. Tanpa tekanan; tanpa batasan. "Informasi adalah urusan masyarakat," kata Gus Dur.
Kebebasan ini kemudian melahirkan raksasa-raksasa media. Disebut raksasa karena hampir semua lini media digeluti: surat kabar, majalah, televisi, radio, dan website (surat kabar digital). Mereka adalah Kompas (Jacoeb Oetama), Jawa Pos (Dahlan Iskan), Media Indonesia (Surya Paloh), Media Nusantara Citra (Hary Tanusoedibjo), dan Tempo (Goenawan Mohamad). Luar biasanya, media mereka sampai ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.Â
Era Digitalisasi (2000-Sekarang)
Era digitalisasi ditandai dengan berkembang pesatnya internet. Perkembangan internet ditandai dengan lahirnya surat kabar digital melalui media website di internet. Pelopornya adalah detik.com. Tak lama kemudian, lahirlah surat kabar digital lainnya: beritanet.com, kompas.com, tempo.co.id, antara.com, dan lainnya.
Bahkan, orang pribadi pun bisa membuat surat kabar digital sendiri melalui media blogger.com atau wordpress.com. Ada prediksi yang mengatakan bahwa kehadiran surat kabar digital akan menghilangkan surat kabar fisik. Isu efisiensi sumber daya alam mendukung prediksi tersebut. Dan faktanya sudah terjadi di Amerika Serikat, perusahaan media Settle Post menutup operasional surat kabar fisiknya dan lebih memilih beroperasi melalui surat kabar digital.
Ke Mana Arah Surat Kabar di Indonesia?
Saat ini, surat kabar fisik dan surat kabar digital berjalan beriringan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hampir dikatakan tidak ada masalah antara keduanya. Yang masalah sekarang justru pada isi dari surat kabar itu sendiri -tentunya juga isi media-media lain- yang terlalu bebas, tanpa etika.
Saat ini, kebebasan pers telah melahirkan kebablasan pers. Fakta telah bercampur dengan fiksi. Karya jurnalistik yang bersifat objektif telah diracuni oleh sikap subjektif wartawan, demi berita bagus, demi uang. Masyarakat tidak bisa memastikan apakah berita yang tertulis di surat kabar tiap harinya adalah berita benar atau sampah. Sangat berbahaya. Keadaan ini telah menjadi perdebatan oleh dua organisasi wartawan: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Ke mana arah surat kabar Indonesia? Surat kabar di Indonesia harus berkualitas. Menyajikan berita-berita fakta, menarik, membangun, dan memberikan solusi, bukan fiksi, isu, menjatuhkan, menyebar aib, dan provokatif, terlebih dengan kondisi negara kita saat ini yang masih menuju kebaikan.