Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah
Etnokartunologi.com
      Rintik-rintik hujan turun tanpa ada undangan di depan bangunan baru, tepatnya di desa Kalialang, Semarang. Banyak yang telah mengetahui keberadaan desanya, tetapi sedikit yang mengetahui kontrakanku. Tempat tinggalku di Semarang dekat sekali dengan kandang kambing. Setiap diriku membuka pintu kayu kontrakan, disitu pula terlihat kambing secara jelas.
      Diriku menunggu hujan reda hingga terdengar suara adzan maghrib. Berbincang dengan temanku sangat menyita waktu. Jam berputar begitu cepatnya. Sembari menunggu hujan reda, kita berdialektika.
      Dompetku serasa kering seperti dehidrasi. Tetapi, mungkin masih ada sisa minuman, sedikit. Diriku tidak bisa menjamu temanku dengan kopi ataupun rokok. Diriku hanya bisa menawarkan air tawar yang tersedia di belakang.
      Telepon genggamku berbunyi dengan keras. Memang, tadinya diriku pasang untuk mengingatkan waktu pulang ke rumah. Alarm menunjukkan pukul 08.00 WIB. Diriku minta diri untuk pergi ke rumah asalku, kota Kretek.
      Keramaian jalanan kota ku trobos dengan semangat tinggi karena akan bertemu dengan keluarga. Aku yakin, bensinku masih penuh karena paginya telah ku belikan pertamax dua puluh ribu.
      Ku mengendarai motor batman, supra 125 tahun 2009 dengan knalpot yang cukup berisik. Masker, helm, jaket ku pakai. Diriku memakai masker bukan karena takut tertular corona, tetapi hanya karena  takut terkena debu jalanan.
      Motorku berkendara cepat menyelip kendaraan di jalanan. Aku melewati salah satu kota jika mau sampai ke rumah, yaitu kabupaten Demak.
      Demak merupakan kota yang terkenal dengan Walinya, Sunan Kalijaga. Tetapi, jalan di kota Demak tidak semuanya mulus. Banyak liku-liku karena kendaraan besar dan kecil melewati jalan itu. Banyak juga lampu yang mati di sisi jalan, sehingga jalan tidak terlihat jelas. Apalagi, untuk mata kananku yang silinder dan kananku yang minus.
      Setelah melewati alun-alun kota demak, indikator bensin menunjukkan satu kedip-kedip. Artinya, bensin mau habis. Seharusnya aku bersiap-siap membeli bensin untuk perjalanan pulangku.
      Jalan semakin sepi karena aku melewati jalan tenggang. Suasana mencekam, mengerikan.
      "Bagaimana jika nanti motorku mati di tengah jalan yang sepi ini ya? Bagaimana jika ada begal?" Diriku benar-benar resah dan perasaanku kemana-mana. Aku takut memang. Apalagi perutku lapar karena hanya makan di pagi hari, begipun sedikit.
      Aku tidak hanya takut jika ada begal di jalan, tetapi juga jika menuntun motor di saat lapar dan kepala pusing bisa mengakibatkan pingsan.
      Jalan itu sepi dan aku tidak tahu meminta toolong ke siapa jika ada apa-apa. Aku hanya bisa meminta pertolongan Allah, karena itulah yang ku punya.
      Uang di dompetku sisa sepuluh ribu. Sangat minim untuk membeli bensin hingga bisa sampai ke rumah. Diriku serba bingung tak menentu. Di sisi lain, aku ingin makan pop mie untuk mengganjal perutku, tetapi juga aku harus membeli bensin untuk minum motorku.
      Aku dan motor supraku melaju dengan cepat. Aku tidak fokus dengan jalan, tetapi dengan motorku yang akan kehabisan bensin. Diriku melihat penjual bensin di sebelah kanan jalan, tetapi diriku malas menyebrang dan tetap melanjutkan perjalananku.
      "Ah kenapa tadi aku ndak ke kanan jalan dulu buat beli bensin?" sesalku pada diriku sendiri karena tidak beli bensin di jalan kanan jalan tadi.
      "Bensin dari sini pasti jauh."
      Motorku melaju terus. Mataku tiba-tiba terfokus pada lambang masjid di kiri jalan. Biasanya, itu menandakan pom semakin dekat. Tetapi perkiraanku keliru, itu hanya menandakan bahwa adanya masjid desa.
      Diriku juga melihat lambang kasur dan tanda plus di atasnya. Biasanya, itu menandakan hal yang berbau kesehatan. Pikirku juga sama, pom dekat. Aku salah besar, ternyata itu rumah sakit.
      Aku pasrah dengan mengendarai motorku. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Pikiranku hanya berisi bagaimana harus pulang. Hatiku resah, pikiranku kacau. Di lain sisi, kepalaku juga sangat pusing karena kelaparan.
      Ku mulai berkendara dengan santai sembari berdoa agar ditemukan pom bensin terdekat. Aku memang meminta agar dipertemukan karena butuh. Ah, dia memang bukan teman, tetapi juga bukan musuh. Aku datang karena butuh, dia juga memberi pertolongan dengan meminta uang.
      Kepalaku mengeluarkan keringat. Malam itu tidak lagi hujan, tetapi pori-poriku mengeluarkan air karena ketakutan.
      Di sela-sela ketakutanku, tibalah di kiri jalan ada pom bensin. Aku membelinya dengan uang di dompet, sepuluh ribu. Setelah itu diriku menuju masjid pom untuk sujud syukur. Ku tak menyangka, doaku terijabah secepat itu.
      Sehabis bensin di motor supraku penuh, aku melanjutkan perjalananku dengan tawa bercampur sedih. Memang, tadi merasa resah. Tetapi sekarang sudah bahagia karena pertolongan-NYA. Akhirnya, bensin yang sudah ku beli dapat mengantarkanku ke bangunan yang ku nanti, bangunan yang menurutku indah, tempat yang memiliki kedamaian, yaitu rumahku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H