Masih lekat dalam ingatan saya, sekitar 12 tahun yang lalu, setiap malam jumat sehabis sholat magrib, saya dan beberapa kawan pondok bergegas pergi ke masjid yang terletak di pinggiran kota. Dengan memakai kemeja rapi, berpeci dan bersarung, kami berjalan kaki beriringan sambil tangan kanan menggenggam sebuah kitab tebal. "Assalamualikum kang" itulah ucapan yang kami keluarkan ketika berpapasan dengan santri lain, sebuah ucapan keserdehanaan yang bisa menumbuhkan rasa kehangatan dan kebersamaan. Pada waktu itu, tak ada namanya rasa malu ketika berjalan di keramaian dengan menggunakan atribut santri. Yang ada hanyalah rasa bangga, karena kami bisa memperkenalkan identitas asli kami sebagai penghuni penjara suci.
Sesampainya di masjid, kami duduk bersila dengan rapi menunggu sang kyai datang. Sesaat kemudian, pak yai pun datang dan langsung membuka ngaji kitab kuning "Riyadhus Shalihin" karangan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi atau lebih dikenal dengan Imam Nawawi. Kitab tersebut berisi kumpulan hadits-hadits shahih Nabi Muhammad SAW yang dikelompokkan dalam bab-bab utama seperti tentang Akhlak dan Adab atau sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, pak yai membaca kitab dengan dengan disertai penjelasannya dan tugas kami adalah menyimak sambil memberi makna dengan huruf arab pegon disetiap kalimat yang dibaca oleh pak yai.
![Photo by nu.or.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/1373697705-5a2bd22fab12ae407f29b873.jpg?t=o&v=770)
Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu semenjak saya menjadi santri di sebuah pondok pesantren hingga sekarang menjadi pribadi yang tumbuh di tengah-tengah gencatan modernisasi, saya merasa sudah lepas tangan akan keberadaan kitab kuning dan melupakan akan nilai-nilai yang pernah di ajarkannya. Kitab-kitab kuning yang pernah saya kaji dulu di pesantren, kini hanya berjejer manis di almari rumah orang tua. Ingin rasannya menggapainya, tapi apa daya tak sampai karena jiwa ini masih terpaku jauh di tanah perantauan.
Hingga suatu hari di akhir pekan, sabtu (02/12/2017) sebuah perjalanan telah membawa saya untuk merajut kembali memori tentang kitab kuning yang telah lama saya tinggalkan. Kompasiana berbaik hati bersedia mengajak 20 kompasianer termasuk saya untuk bersama-bersama menyaksikan sebuah perhelatan akbar tingkat nasional, yaitu Musabaqoh Qira'atil Kutub (MQK) nasional ke VI tahun 2017. Kegiatan ini berlangsung mulai dari tanggal 29 november sampai 7 desember 2017 dan bertempat di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang, Desa Gemiring Lor, Kec. Nalumsari, Kab. Jepara, Jawa Tengah.
Kembali ke Jepara tentu adalah kebahagiaan tersendiri karena disanalah tanah kelahiran saya, terlebih bisa mengunjugi salah satu pondok pesantren yang katanya tertua dan terbesar di kabupaten jepara. Meeting point untuk mengawali perjalanan ini adalah di semarang, saya yang sejak jam 5 pagi berangkat dari Jogja dengan naik motor Alhamdulillah sampai di semarang tepat pada waktunya. Jam 9.20, Bus yang kami tumpangi dari depan Hotel Holiday Inn akhirnya bergerak dan melaju menuju Jepara.
Titik kemacetan mulai terasa ketika bus melewati jalan kaligawe, genangan air akibat dari banjir rob membuat laju kendaraan tidak bisa berjalan lancar. Jalan yang kami lewati ini memang selalu jadi langganan banjir, belum ditambah semrawutnya kendaraan yang keluar masuk dari terminal terboyo yang semakin menambah tingginya volume kemacetan.
Walaupun perjalanan ke jepara masih cukup jauh, semarak perhelatan MQK sudah mulai terasa dari jalan ini. Di kiri-kanan jalan yang juga tidak luput dari genangan air, terlihat berdiri tegak spanduk-spanduk ucapan selamat datang dari para pejabat dan tokoh nasional kepada para kafilah (partisipan MQK) yang datang dari beberapa daerah di Indonesia. Senyuman manis para pejabat dan tokoh dalam spanduk tersebut seolah bisa meyakinkan para peserta untuk tetap semangat dalam mengikuti MQK meskipun banyak halangan dan rintangan yang menghadang, ya seperti banjir ini, hehehe...
Sekitar pukul 12 siang, bus yang kami tumpangi akhirnya masuk wilayah kabupaten jepara. Sempat berhenti sebentar di pasar mayong untuk menjemput teman-teman kompasianer yang dari kudus dan jepara, bus akhirnya melanjutkan sisa sedikit perjalanan untuk menuju Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin. Deretan perkebunan tebu dan hamparan sawah yang hijau langsung menyambut kami ketika sudah memasuki gerbang pesantren yang cukup megah. Suasana khas pedesaan sangat terasa, dan saya tidak menyangka di pelosok desa ini terdapat sebuah pondok pesantren tertua dan terbesar di Jepara.
Sesampainya di area Pondok Pesantren Raoudlotul Mubtadiin Balekambang, para rombongan kompasianer yang siang itu memakai kaos putih lengan panjang langsung bergerak jalan kaki menuju gedung media center. Disana kami disambut dengan hangat oleh Bapak Muhtadin, S.Ag selaku Kordinator Bidang Publikasi dan Media Center MQK 2017. Setelah melaksanakan ibadah shalat dhuhur, kami berkumpul kembali di ruang utama media center untuk berdiskusi dengan bapak muhtadin tentang pelaksanaan MQK VI 2017.
![Bapak Muhtadin ketika berdiskusi dengan para kompasianer (Dok.Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-132247-5a2bd35616835f3b5b199a72.jpg?t=o&v=770)
Dalam tradisi pesantren, kitab kuning merupakan ciri dan identitas yang tidak bisa dilepaskan. Bisa dikatakan kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. Karena itu, lewat MQK inilah kitab kuning dikenalkan sebagai ciri khas pembelajaran dan pengkajian di seluruh pesantren. Dalam perjalananya, kitab kuning tidak hanya mendominasi studi keislaman pesantren, tetapi juga telah mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.
Bapak Muhtadin menambahkan bahwa MQK ke-VI tahun 2017 kali ini diikuti sebanyak 2.466 kafilah dari 34 provinsi di Indonesia. Satu provinsi mengirimkan 1 kafilah maksimal sebanyak 103 orang, terdiri dari 50 peserta majelis kitab kuning, 12 orang peserta debat, 10 orang peserta eksibisi, 3 orang panitia dan 28 orang pembina.
Jenis kegiatan yang diselenggarakan dalam MQK tahun ini dibagi dalam 2 kelompok:
Pertama, kegiatan yang dilombakan yaitu "Lomba membaca, menerjemahkan, dan memahami kitab kuning, lomba debat bahasa arab dan inggris, eksibisi (pertunjukan atraktif tentang nazham kitab populer di pondok pesantren)".
Kedua, kegiatan penunjang yang berupa "Halaqah pimpinan pondok pesantren, sarasehan dan musyawarah MQK, Bazar dan pameran pondok pesantren, diskusi kepesantrenan dan pentas seni".
Untuk peserta MQK yang mengikuti lomba, dalam tiap marhalah (tingkatan) harus memenuhi syarat dalam hal usia. Diantaranya yaitu:Peserta Marhalah Ula: usia maksimal 14 tahun 11 bulan, peserta Marhalah Wustha: usia maksimal 17 tahun 11 bulan, peserta marhalah ulya: usia maksimal 20 tahun 11 bulan. Sedangkan peserta debat bahasa arab, bahasa inggris dan eksibisi, usia maksimal 20 tahun 11 bulan.
Setelah puas berdiskusi dan mendengarkan penjelasan dari Bapak Muhtadin, para kawan-kawan kompasianer tidak hanya berdiam diri di tempat, tapi langsung bergerak dan mengexplore setiap sudut arena kegiatan MQK 2017. Siang itu saya seperti merasakan dejavu, masa-masa dahulu ketika nyantri seketika teringat saat melihat beberapa santri yang berjalan beriringan sambil mendekap sebuah kitab. penampilan mereka sederhana, tapi dibalik itu semua, tersimpan mutiara kelimuan yang sangat berharga.
Untuk tempat pelaksanaan lomba, beberapa tenda outdoor yang didalamnya terdapat panggung sederhana terpasang di beberapa titik di sekitar area pesantren. Lomba dilaksanakan secara terbuka dan bisa disaksikan langsung oleh masyarakat umum. Saya pun mencoba melihat lebih jauh berlangsungnya setiap lomba dalam MQK, dan yang saya jumpa pertama kali adalah lomba debat bahasa inggris.
![Lomba debat bahasa inggris (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-143137-5a2bd655f133443dc2009e82.jpg?t=o&v=770)
Karena terbatasnya waktu dan tidak mungkin saya jangkau semua, saya hanya bisa menyaksikan 4 lomba dalam setiap marhalah. Diantaranya adalah di tingkat ulya saya menyaksikan perlombaan dalam bidang Nahwu dengan menggunakan kitab Syarh Ibn Aqil ala Alfiyah Ibn Malik, di marhalah wustha ada bidang Fiqh dengan kitab Fath al-Qarib al-Mujib dan bidang nahwu dengan kitab Nazhm al-Jurumiyah (al-imrithi), terakhir yang saya saksikan adalah marhalah ula untuk bidang akhlaq dengan kitab Washaya al-Aba li al-Abna.
![Marhalah Ulya bidang Nahwu (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-143943-5a2bd741caf7db3f41338a82.jpg?t=o&v=770)
![Marhalah Ula bidang Akhlaq (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-151006-5a2bd7d6bde5753fef1ce0b3.jpg?t=o&v=770)
![Aneka cinderemata MQK (Dokumentasi pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-144909-5a2bd8b25e137335294ecae2.jpg?t=o&v=770)
![Pasar murah (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-152649-5a2bd8f55e13733e32660fd2.jpg?t=o&v=770)
Beliau menjelaskan bahwa pada zaman sekarang, santri setidaknya harus mempunyai dua kecakapan. Yaitu kecakapan memiliki pengetahuan keislaman klasik dan kecakapan dalam menerapkan keislaman dalam konteks keindonesiaan. Selain itu, cukup banyak hal yang diungkapkan oleh Bapak Moqsit kepada kami, dari mulai keberadaan kitab kuning saat ini yang bisa menjadi secercah harapan bagi umat islam di masa yang akan datang hingga membahas kader-kader ulama perempuan potensial yang lahir dari penyelenggaraan MQK kali ini.
![Dr. Abdul Moqsit Ghazali (Dokumentasi Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2017/12/09/img-20171202-170412-5a2bd9e1cf01b439536c4423.jpg?t=o&v=770)
WASSALAM
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI