Mohon tunggu...
Fachrudin Alfian Liulinnuha
Fachrudin Alfian Liulinnuha Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya sekedar freelance

Hanya ingin sekedar berbagi, bukan menggurui....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MQK 2017 dan Sebuah Catatan Perjalanan Merajut Memori

9 Desember 2017   19:54 Diperbarui: 9 Desember 2017   20:40 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasar murah (Dokumentasi Pribadi)

Masih lekat dalam ingatan saya, sekitar 12 tahun yang lalu, setiap malam jumat sehabis sholat magrib, saya dan beberapa kawan pondok bergegas pergi ke masjid yang terletak di pinggiran kota. Dengan memakai kemeja rapi, berpeci dan bersarung, kami berjalan kaki beriringan sambil tangan kanan menggenggam sebuah kitab tebal. "Assalamualikum kang" itulah ucapan yang kami keluarkan ketika berpapasan dengan santri lain, sebuah ucapan keserdehanaan yang bisa menumbuhkan rasa kehangatan dan kebersamaan. Pada waktu itu, tak ada namanya rasa malu ketika berjalan di keramaian dengan menggunakan atribut santri. Yang ada hanyalah rasa bangga, karena kami bisa memperkenalkan identitas asli kami sebagai penghuni penjara suci.

Sesampainya di masjid, kami duduk bersila dengan rapi menunggu sang kyai datang. Sesaat kemudian, pak yai pun datang dan langsung membuka ngaji kitab kuning "Riyadhus Shalihin" karangan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi atau lebih dikenal dengan Imam Nawawi. Kitab tersebut berisi kumpulan hadits-hadits shahih Nabi Muhammad SAW yang dikelompokkan dalam bab-bab utama seperti tentang Akhlak dan Adab atau sopan santun dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, pak yai membaca kitab dengan dengan disertai penjelasannya dan tugas kami adalah menyimak sambil memberi makna dengan huruf arab pegon disetiap kalimat yang dibaca oleh pak yai.

Photo by nu.or.id
Photo by nu.or.id
Itulah sepenggal kenangan ketika saya pernah mencicipi kehidupan sebagai seorang santri, berbagai memori yang terekam selama nyantri di pesantren akan selalu melekat di ingatan dan tidak akan terlupakan. Salah satu memori itu adalah tentang kitab kuning, sebuah kitab yang keberadaannya tidak akan pernah dilepaskan dalam khazanah dunia pesantren. Terkhusus pesantren tempat saya nyantri dulu, pendalaman atau kajian kitab kuning masih digunakan dan dilestarikan.

Setelah berpuluh-puluh tahun berlalu semenjak saya menjadi santri di sebuah pondok pesantren hingga sekarang menjadi pribadi yang tumbuh di tengah-tengah gencatan modernisasi, saya merasa sudah lepas tangan akan keberadaan kitab kuning dan melupakan akan nilai-nilai yang pernah di ajarkannya. Kitab-kitab kuning yang pernah saya kaji dulu di pesantren, kini hanya berjejer manis di almari rumah orang tua. Ingin rasannya menggapainya, tapi apa daya tak sampai karena jiwa ini masih terpaku jauh di tanah perantauan.

Hingga suatu hari di akhir pekan, sabtu (02/12/2017) sebuah perjalanan telah membawa saya untuk merajut kembali memori tentang kitab kuning yang telah lama saya tinggalkan. Kompasiana berbaik hati bersedia mengajak 20 kompasianer termasuk saya untuk bersama-bersama menyaksikan sebuah perhelatan akbar tingkat nasional, yaitu Musabaqoh Qira'atil Kutub (MQK) nasional ke VI tahun 2017. Kegiatan ini berlangsung mulai dari tanggal 29 november sampai 7 desember 2017 dan bertempat di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang, Desa Gemiring Lor, Kec. Nalumsari, Kab. Jepara, Jawa Tengah.

Kembali ke Jepara tentu adalah kebahagiaan tersendiri karena disanalah tanah kelahiran saya, terlebih bisa mengunjugi salah satu pondok pesantren yang katanya tertua dan terbesar di kabupaten jepara. Meeting point untuk mengawali perjalanan ini adalah di semarang, saya yang sejak jam 5 pagi berangkat dari Jogja dengan naik motor Alhamdulillah sampai di semarang tepat pada waktunya. Jam 9.20, Bus yang kami tumpangi dari depan Hotel Holiday Inn akhirnya bergerak dan melaju menuju Jepara.

Titik kemacetan mulai terasa ketika bus melewati jalan kaligawe, genangan air akibat dari banjir rob membuat laju kendaraan tidak bisa berjalan lancar. Jalan yang kami lewati ini memang selalu jadi langganan banjir, belum ditambah semrawutnya kendaraan yang keluar masuk dari terminal terboyo yang semakin menambah tingginya volume kemacetan.

Walaupun perjalanan ke jepara masih cukup jauh, semarak perhelatan MQK sudah mulai terasa dari jalan ini. Di kiri-kanan jalan yang juga tidak luput dari genangan air, terlihat berdiri tegak spanduk-spanduk ucapan selamat datang dari para pejabat dan tokoh nasional kepada para kafilah (partisipan MQK) yang datang dari beberapa daerah di Indonesia. Senyuman manis para pejabat dan tokoh dalam spanduk tersebut seolah bisa meyakinkan para peserta untuk tetap semangat dalam mengikuti MQK meskipun banyak halangan dan rintangan yang menghadang, ya seperti banjir ini, hehehe...

Sekitar pukul 12 siang, bus yang kami tumpangi akhirnya masuk wilayah kabupaten jepara. Sempat berhenti sebentar di pasar mayong untuk menjemput teman-teman kompasianer yang dari kudus dan jepara, bus akhirnya melanjutkan sisa sedikit perjalanan untuk menuju Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin. Deretan perkebunan tebu dan hamparan sawah yang hijau langsung menyambut kami ketika sudah memasuki gerbang pesantren yang cukup megah. Suasana khas pedesaan sangat terasa, dan saya tidak menyangka di pelosok desa ini terdapat sebuah pondok pesantren tertua dan terbesar di Jepara.

Sesampainya di area Pondok Pesantren Raoudlotul Mubtadiin Balekambang, para rombongan kompasianer yang siang itu memakai kaos putih lengan panjang langsung bergerak jalan kaki menuju gedung media center. Disana kami disambut dengan hangat oleh Bapak Muhtadin, S.Ag selaku Kordinator Bidang Publikasi dan Media Center MQK 2017. Setelah melaksanakan ibadah shalat dhuhur, kami berkumpul kembali di ruang utama media center untuk berdiskusi dengan bapak muhtadin tentang pelaksanaan MQK VI 2017.

Bapak Muhtadin ketika berdiskusi dengan para kompasianer (Dok.Pribadi)
Bapak Muhtadin ketika berdiskusi dengan para kompasianer (Dok.Pribadi)
"Ada khazanah kuat dalam tradisi islam yang bisa menjadi sumber rujukan, yaitu kitab kuning" ungkap bapak muhtadin ketika membuka pengantar diskusi pada siang hari itu. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa MQK 2017 bisa dijadikan sebagai ajang pengenalan kitab kuning kepada para santri, khususnya kepada masyarakat agar keberadaannya tetap di lestarikan di tengah derasnya arus modernisasi dalam dunia pendidikan islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun