Bagi orang lain, mungkin usia 17 tahun adalah usia yang paling menyenangkan lantaran lingkungan adaptasi mulai meluas. Namun, itu tidak berlaku baginya. Di usia remajanya ini, Ia sudah dituntut menjadi seorang laki-laki dewasa yang harus mengurusi berbagai problematika keluarga. Terutama dalam hal perekonomian.
Dia adalah Julian. Hidupnya begitu malang. Kala Julian duduk di awal bangku sekolah menengah pertama, sang bunda berpulang ke pangkuan Tuhan setelah berhasil melahirkan adik perempuan yang diberi nama Gita. Usai kepergian bunda, Julian dan Gita diasuh oleh sang ayah hingga Julian berumur 16 tahun. Tetapi nahasnya, ayah kebanggan Julian juga turut menyusul sang bunda. Ayahnya mengalami kecelakaan parah ketika bekerja mengemudi taksi. Sejak kematian sang ayah, Julian tak punya keluarga lagi selain adiknya sendiri, Gita.
Bagaimanapun juga, kehidupan Julian harus tetap berjalan ke depan. Rutinitasnya setiap pagi adalah menyiapkan hidangan sarapan untuknya dan juga untuk Gita. Julian tak sendirian mengurusi pekerjaan rumah, adiknya yang sekarang ini menduduki kursi sekolah menengah pertama, juga turut membantu sang kakak.
“Menu pagi ini ayam goreng spesial buatan abang!” kata Julian semangat, sembari menyusun potongan ayam hangat di atas piring.
Seulas senyum tipis terbit di bibir Gita. Gadis itu mematikan kran wastafel usai mencuci piring. “Makasih banyak, Bang.”
“Iya sama-sama.” Jawab Julian. Lalu Ia mengambilkan secentong nasi untuk adiknya
Saat mereka makan, Gita menanyakan sesuatu kepada Julian
“Emm ... Bang?” panggil Gita ragu-ragu.
“Kenapa?”
“Uang buat SPP gimana, Bang? Udah ada?” tanya Gita.
Julian termenung. Bingung harus memberi jawaban apa pada Gita.