Mohon tunggu...
Rininda Mahardika
Rininda Mahardika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi bukanlah jalan untuk memperoleh kesenangan serta mengisi waktu luang belaka. Hobi merupakan ruang untuk menampung segala skill non akademis di setiap insan. Tidak peduli kau suka menulis ataupun menggambar. Semuanya akan menjadikan pundi-pundi uang atau bahkan media pembelajaran bagi siapa saja yang mengasahnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Hujan Berhenti

29 November 2022   08:13 Diperbarui: 29 November 2022   11:20 946
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Sumber Gambar: Wattpad via Pinterest

Setiap kejadian yang datang padamu adalah kali pertama kau mengalaminya. Terluka ke sekian kali, merasakan jatuh cinta, dan semua yang datang adalah hal yang sepenuhnya baru. Tidak pernah ada lubang yang sama. Sebab kau telah merenovasi dirimu, kau tumbuh.

Mataku terpejam merasakan sentuhan lembut yang menggelitik kulit dari alam. Siapa sangka sisa hujan badai tadi pagi begitu menenangkan jiwa. Bibirku tersungging tatkala melihat luasnya dirgantara di atas atap. Rumah-rumah warga berjajar rapi serta jalanan yang mengantarkan manusia hilir mudik menemui tujuan mereka. Baru beberapa jam setelah diterpa badai saja sudah tumpah ruah apalagi kalau bukan musim hujan.

“Apa guna arti kehidupan apabila aku tidak punya tempat untuk pulang?” Aku bergumam.

Tangan kiriku menggenggam perban yang mulai usang dan cutter di tangan kanan. Di atas sini alunan angin merdu begitu menyihir tubuhku dengan sentuhan sejuk yang menggelitik kulit. Wangi darah segar samar-samar terbentuk di dalam hidungku.

Seiring imajinasi yang terus terbayangkan di dalam kepalaku. Mata pisau yang berkilauan seolah berkata bahwa ia lebih bergairah mengiris pergelangan tanganku.

Aku pernah mendengar berita lewat siaran radio entah apa judulnya aku tak iangat. Siaran itu terus memberitakan bunuh diri pada pembukaannya. Kadang aku heran mereka yang sering bunuh diri sebelumnya masih mau melanjutkan hidup kan? Mereka hanya ingin rehat dalam menjalani kehidupannya. Karena bingung harus melakukan apa dan tidak menemukan jalan keluarnya maka mereka lebih memilih mengakhirinya.

"Haru, kamu ngapain di sini?!"

Aku terserentak begitu seseorang menggenggam tanganku erat-erat. Haru nama yang memiliki makna musim semi. Musim yang selalu dinanti-nantikan umat manusia setelah menempuh kedinginan di sepanjang malam. Namun namaku tak seindah maknanya.

"Halo Yuki, bagaimana kamu bisa sampai ke sini?"

Dia melepas genggaman tanganku secara perlahan. Yuki, satu-satunya temanku yang memiliki kharisma bak mentari pagi. Senantiasa menyejukkan bagi siapa saja yang mendekati. Aku terlampau iri bahkan sinarnya mampu menembus hati ketika berinteraksi.

Berbanding terbalik denganku, Yuki yang bermakna musim dingin memiliki kehangatan bagai selimut. Sedangkan Haru sang musim semi malah mempunyai kedinginan yang mampu membungkam manusia dalam diam. Sayangnya dia penyandang disabilitas. Kursi roda selalu menjadi alat geraknya di mana-mana.

"Aku naik lift. Lagian kamu ngapain sih ke tempat seperti ini? Ayo turun!"

Aku merentangkan kedua tangan. "Lihat pemandangan ini Yuki, bukankah itu indah? Kau pasti suka kan?"

Yuki menelengkan kepala heran. "Maaf Haru bukan maksud menghinamu tapi hanya ada pepohonan di sini dan bukannya kamu tidak bisa melihat?"

Jantungku seakan berhenti berdetak. Gigiku berderit, aku berjalan cepat ke arahnya dengan napas memburu lantaran menarik kerah kemejanya dengan kuat. "Apa?! Beraninya kau bicara seperti itu padaku!"

“Ha-Haru tunggu, a-aku hanya—” kata-katanya terputus bertepatan aku melayangkan bogem mentah ke arah pipi kanannya. Suara Yuki terdengar bergetar, kemejanya pun dipenuhi keringat dingin, ia gentar.

Satu pukulan cukup untuk menggulingkan laki-laki itu dari kursi roda. Dia jatuh tersungkur di permukaan lantai sambil memegangi pipinya yang mulai membiru. Aku sama sekali tak merasa bersalah.

Sungguh betapa teririsnya hatiku ketika sahabat sendiri mengatakan hal yang tidak-tidak. Sakit, teramat sakit. Padahal jelas-jelas di sana dirgantara terbentang luas di atas pemukiman warga serta gedung-gedung tinggi pencakar langit menjulang hingga ke awan.

Andai aku dapat terbang, melihat dunia dari ujung cakrawala. Pasti menyenangkan.

Aku menyatukan kedua telapak tangan, memejamkan mata erat-erat, dan memohon kepada Tuhan agar diberikan sepasang sayap yang indah. Tak perlu menunggu lama, impian jadi kenyataan aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Sepasang sayap putih berkilau seperti malaikat dan bulu-bulunya yang lembut.

Ini mustahil! Kukira hanya para malaikat saja yang mendapatkan sayap, ternyata aku salah. Bahkan lebih dari apa yang aku bayangkan. Sontak aku tertawa kegirangan. Aku melangkah mundur, mengambil ancang-ancang sebelum mencoba sayap baruku, lantaran berlari secepat kilat menembus awan.

Tak kupedulikan Yuki yang masih terduduk di sana. Sangat disayangkan padahal Tuhan memberikan anugerah seindah ini pada manusia tapi disia-siakan? Makhluk macam apa dia itu, tidak pandai bersyukur.

“Sekarang aku sadar bahwa Tuhan itu benar-benar ada.”

Tatkala aku melompat, tanpa sengaja gendang telingaku menangkap suara serak Yuki. “Haru! Aku tahu apa yang kau rasakan tapi bisakah kau tinggal lebih lama lagi? Aku ingin mengenalmu lebih dalam!”

Setelah dialog itu usai terucap, keindahan alam yang dipikiranku seketika lenyap. Semuanya berubah menjadi gelap gulita. Kenapa ini? Apakah Tuhan sedang mempermainkanku?

Laki-laki itu benar, aku buta.

Sepanjang malam kesedihan terus-menerus berlarut. Suara berisik kerap kali membangunkanku ketika tengah malam. Aku hanya bisa duduk di pojokan, menutup kedua telinga, memeluk lutut, sambil menangis meraung-raung.

Sekeras apapun aku menangis tidak ada yang memperhatikan. Jangankan memperhatikan peduli pun enggan. Sering aku bertanya-tanya kepada Sang Sutradara, untuk apa manusia diciptakan jika berakhir saling menyakiti? Dan apa gunanya manusia diciptakan jikalau saling menoreh luka satu sama lain?

“Aku ingin istirahat.”

***

Ilustrasi Cerpen Sumber Gambar: Pinterest
Ilustrasi Cerpen Sumber Gambar: Pinterest

Dia satu-satunya perempuan yang mampu menghadapi dunia dengan gagah berani. Pundaknya yang kecil itu bisa menopang beban lebih dari 1000 kilogram. Di tengah-tengah ketidaksempurnaan, ia tak merasa keberatan. Melihatnya tersenyum saja adalah berkah terindah di alam semesta.

Senyumnya begitu menggugah jiwa, menenangkan, bahkan mampu membuat jantung berdesir. Sayangnya sedikit orang memperhatikan padahal jika mereka bisa membuka mata lebih lebar terdapat surga dunia yang tersembunyi di setiap manusia. Terutama Dia.

Kebanyakan orang memanggil gadis itu Haru yang berarti musim semi. Haru adalah gadis terkuat yang pernah ada. Dibalik kekuatan serta ketegarannya ada banyak duri yang menancap bahkan melilitnya hingga sesak napas. Kata mereka bola mata Haru seputih salju, begitu dingin dan menyeramkan sampai yang bertatapan merinding. Oleh karena itu ke mana-mana kau senantiasa mengikatnya dengan kain putih. Supaya tak ada orang yang ketakutan lagi ketika melakukan kontak mata dengamu.

“Mengapa kau tidak duduk? Pelajaran segera dimulai.” Perintah guru di depan sana.

Ketika memasuki ruang kelas, Haru mengurungkan niat untuk menempati bangku. Tangannya terasa basah saat menyentuh kursi. Ia mencium baunya yang menyengat. Sementara di sisi lain saraf otak Haru menangkap aroma serupa di loker sepatunya.

Dia menghela napas.“Maaf tapi aku tidak bisa duduk ada tumpahan lem di kursi.”

“Terserah kau saja, keluar dan besiswamu dicabut atau kelas tidak akan dimulai.”

Dia menjadi pusat perhatian. Berbagai pasang mata hanya terfokus pada Haru. Sontak ia meneguk ludah terdengar pula desas-desus teman sekelasnya dan tak jarang mereka mengeraskan sedikit volume.

Pada akhirnya ia menyerah. Sayang jikalau beasiswa yang Haru dapatkan dicabut hanya karena tempat dudukku penuh lem. Meski basah dan lengket Haru memaksa duduk senyaman mungkin sambil mendengarkan guru berceloteh mengenai sejarah Indonesia.

Tanpa sengaja telinga Haru menangkap desas-desus siswi iseng tak jauh darinya. “Gue sih mending keluar daripada duduk di sana.”

“Ew menjijikkan!”

“Beasiswa kan bisa dicari, iya enggak girls?”

Tangan Haru mengepal kuat di atas meja kasar penuh ukiran kalimat-kalimat buruk. Tanpa berkata-kata dia sudah mengutuk ketiga orang yang mengganggunya semenjak semester pertama.

Pelajaran hari ini berakhir lebih cepat. Tatkala Haru membuka pintu kelas, kakinya tersandung benang hingga jatuh tersungkur. Kemudian disusul dengan guyuran air beserta ember menutupi kepala Haru. Seketika seragam yang dikenakan basah kuyup. Dia menyingkirkan ember itu, mulai meraba-raba mencari alat bantu yang menggelinding tak tahu ke mana.

“Hello Bitches, cari apa hah? Cari tongkat, iya? How cute.”

“Berikan,” pintanya. Namun ucapan Haru bagaikan angin melintas di telinga mereka.

“Oh my gosh what is that, ugh get of my back!”

“Ranting pohon? So silly anyway did you have camping, girls?” Salah satunya membalas.

Ada tiga orang yang sering mengganggunya Theressa, Reyna, dan Olivia dari sassus yang tersebar di penjuru sekolah ketiga orang itu manusia paling ditakuti atau paling berkuasa. Tak ada yang berani menentang ataupun melawan Theressa beserta antek-anteknya. Mereka bagaikan ratu dengan kecantikan tiada tanding dibandingkan yang lain.

Gadis terkuat yang pernah ada itu mencoba bangkit. Ia mengulurkan tangan. “Ah kalian benar, aku tidak punya waktu untuk bermain-main jadi berikan sampah itu.”

Klek!

Tepat sekali alat bantu pengelihatan Haru patah. Siapa lagi kalau bukan ulah Theressa. Sangat disayangkan murid-murid di sini justru memuja-muja Theressa mengingat dia pemilik sekolah yang kaya raya dan masa depannya terjamin gilang gemilang.

“Ups! I’m so sorry Bitches. Gue tahu lo butuh ini tapi udah patah, dibuang aja yah?”

Haru mengangkat sudut bibir, ia menarik kerah kemeja Theressa dengan bengis lalu mendekatkan bibir. “Sayang sekali andai saja aku bisa melihat. Dan matamu sepertinya cocok menjadi penggantinya.”

“Oh my God TBL TBL, takut banget loh. Are you kidding me, Bitches?” Theressa tergelak bersama Reyna dan Olivia.

***

“Aku bersyukur Haru bertemu orang sepertimu Yuki. Kau dengan senang hati menerima segala kekurangannya tanpa mengeluh. Insiden itu tak hanya terjadi di sekolah. Di rumah pun dia tak punya tempat untuk singgah jadi tolong—”

“Siapa kau?! Apa yang sudah kau perbuat pada Haru? Di mana dia?”

“Aku adalah malaikat penjaganya yang meminjamkan sayapku pada Haru dan memberikan pemandangan luar biasa dari atas sini. Tolong relakan kepergian Haru, dia lebih bahagia dari sebelumnya. Jangan bersalah atas rentetan kronologi ini, karena Haru telah memilih ke mana ia akan pergi.”

“PEMBOHONG!!!”

“Lupakanlah Haru, Yuki, aku tahu kau memiliki rasa padanya. Tapi sebisa mungkin akan kusampaikan sepatah dua kata tentangmu pada Haru. Aku berjanji. Nikmatilah hidupmu sekarang sampai tak ada penyesalan. Aku terus mengawasimu hingga waktu pemanggilan tiba.”

“Ta-ta-tapi dia selalu tertawa bersamaku .....”

“Aku tahu Yuki, Haru adalah gadis terkuat yang pernah kutemui. Dia menerima segala kekurangan serta kerasnya dunia. Tetapi tak sekalipun dia mengeluh tentang keluarga, tentang mengapa ia berbeda, dan tentang bagaimana alur kehidupannya. Aku rasa Haru pantas mendapatkan ketenangan ini. Karena menjadi kuat itu tak selamanya hebat. Adios Yuki.”

 

Tidakkah yang mengerti bahwa penderitaan adalah langkah awal menuju kedamaian? Bahwa titik terendah adalah tempat untuk maju dan naik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun