Mohon tunggu...
Mochamad
Mochamad Mohon Tunggu... -

alumnus jurusan Hubungan Internasional Universitas Prof.Dr. Moestopo peminat studi politik dan kajian Rusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Partai Oposisi; Do Not Just Oppose the Other Side!

16 Juli 2009   01:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:56 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan presiden dan wakil presiden lalu, menurut perhitungan quick count menasbihkan pasangan SBY-Budiono sebagai pemenang pemilu capres dan cawapres dengan kemenangan lebih dari 50% suara, hal ini berarti persis seperti yang kerap dikumandangkan oleh pasangan pemenang perihal pemilu satu kali putaran. Pembahasan ini bukan menyangkut persoalan berapa putaran pemilu lebih baik dilaksanakan, persoalan DPT, kecurangan pemilu atau lain-lain, namun pembahasan ini lebih didasarkan pada, akan kemana arah peta pertarungan para elit nanti, seandainya pasangan pemenang versi QuickCount menjadi presiden dan wakil presiden terpilih setelah adanya pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendatang serta ketika pemerintahan presiden terpilih 2009-2014 mulai menjalankan pemerintahannya kelak dengan kabinet baru serta partner anggota-anggota DPR kelak.

Partai Demokrat yang mengusung pasangan SBY-Budiono menang dengan perolehan suara kurang lebih 20% suara dan berkoalisi dengan 18 partai yang hitung-hitungannya meperoleh kursi di DPR sekitar 314 kursi, sedangkan pasangan Mega-Prabowo ditambah dengan koalisinya memiliki sekitar 120an kursi, dan pasangan dari Golkar JK-Win dan partai pendukung juga memiliki kursi sekitar 115an di DPR. Wacana Straight Ticket, memilih partai dan capres yang sama saat pemilu legislatif dan presiden kemarin nampaknya mampu menjadikan Demokrat merajai parlemen dan eksekutif pada pemilihan umum kali ini.

Kegagalan PDI-P untuk menggondol kekuasaan dari Demokrat dan kegagalan Golkar mempertahankan posisi di pemerintahan menjadikan dua kubu ini sesegera mungkin menentukan posisinya diluar pemerintahan, PDI-P dengan tradisi barunya sebagai oposisi sejak pemilu 2004 kemarin tampaknya akan kembali melanjutkan tradisinya tersebut, sedangkan Golkar yang memiliki tradisi kuat sebagai partai pemerintah kali ini absen dalam meneruskan tradisinya.

Derasnya sebagian opini masyarakat akan kekhawatiran akan munculnya pemerintahan yg otoriter akibat penguasaan partai pemerintah di parlemen membuat, sebagian elite dari partai non pemerintah untuk memperkuat barisan oposisi untuk mengimbangi kekuatan pemerintah. PDI-P yang saat ini boleh saja mencap dirinya sebagai spesialis oposisi, karena baru PDI-P yang sepanjang berjalannya perpolitikan bangsa ini dengan berani berdiri sebagai oposisi. Namun, jika hanya PDI-P saja sejak jauh-jauh hari ini menetapkan dirinya sebagai oposisi, fungsi oposisi tersebut di parlemen akan kurang begitu kuat dibandingkan periode sebelumnya dimana partai pemerintah hanya menguasai 7% parlemen.

Posisi sebagai oposisi oleh siapapun nanti, baik PDI-P atau partai-partai lainnya diharapkan mampu menjadi oposisi yang sehat dalam sistem atau kerangka check and balance, dimaksud sehat dalam penjelasan diatas adalah oposisi yang tercipta harus berdasarkan pada kepentingan nasional, tujuan konstitusi dan nilai bangsa, buka oposisi berdasarkan kepentingan golongan,tujuan partai dan nilai partai itu sendiri. Sehingga diharapkan jika oposisi sebagai pendidikan demokrasi kepada rakyat agar rakyat mampu memilih di pemilihan periode kelak mana yang dianggap paling baik sekiranya oposisi yang tercipta nanti, selain sehat juga harus menjadi oposisi yang fair, yaitu oposisi yang mampu memberikan stick/ hukuman di saat kebijakan pemerintah gagal atau keluar dari tujuan nasional namun ketika kebijakan pemerintah dirasa berhasil atau sesuai dengan kepentingan nasional, pihak oposisi seharusnya mampu memberikan carrot/penghargaan, sebagai wujud kehidupan yang demokratis dan jangan malah mencari-cari kesalahan.

Sikap oposisi itulah yang sebenarnya di butuhkan oleh masyarakat, karena jika bukan bangsa sendiri yang mengkoreksi kesalahan pemerintahnya, siapa yang akan mengkoreksinya, bangsa lain kah? dan jangan berharap pemerintahan suatu negara akan dipuji dan dihormati jika rakyatnya sendiri tidak mau memberikan pujian dan penghormatan atas prestasi yang diraih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun