Mohon tunggu...
Fabianus Riyan Adhitama
Fabianus Riyan Adhitama Mohon Tunggu... Penulis -

Penulis Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Politik

Polisi, Antara Ada dan Tiada

11 April 2012   03:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:46 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar kata Polisi yang ada dibenak saya adalah kalimat “Siap Mengayomi dan Melayani Masyarakat”. Namun dari keseharian saya sebagai Warga Negara Indonesia yang saya rasakan agak kurang pas jika Polisi itu disebut sebagai pengayom masyarakat. Polisi dalam arti sebenarnya yang berperan sebagai salah satu penegak hukum adalah istilah umum yang sering diperdengarkan di berbagai kalangan. Namun apakah benar korps POLRI ini mengayomi dan melayani masyarakat? Keberadaan Polisi yang dirasa paling dekat dan kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari tentunya adalah Polisi Lalulintas. Ya, keberadaan mereka dengan mudah dapat kita temui di setiap persimpangan jalan protokol di kota Yogyakarta.

Beberapa peristiwa yang saya alami di Yogyakarta membuat saya kesal dengan keberadaan para Polantas yang katanya mengayomi masyarakat ini. Bagaimana tidak, tindakan mereka seolah tidak berpihak pada masyarakat itu sendiri. Namun justru apa yang mereka kerjakan seolah menguntungkan korps penegak hukum dan keuntungan pribadi masing-masing anggotanya. Jika anda sering melewati pertigaan ring road timur (Maguwoharjo, arah dari Solo) mungkin anda sempat mengalami apa yang terjadi pada saya. Beberapa minggu yang lalu saya hendak menyelesaikan urusan administrasi di kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Ketika akan melewati pertigaan tersebut lampu merah menyala, kemudian saya menghentikan laju sepeda motor saya. Namun yang terjadi selanjutnya mengagetkan saya, mobil dibelakang saya membunyikan klakson seakan saya menghalangi jalur mobil tersebut. Pada saat itu saya tetap pada posisi berhenti karena keyakinan saya jika lampu lalulintas menyala merah berarti saya harus berhenti. Namun mobil tersebut terus membuyikan klakson seakan ingin mempermalukan saya. Beberapa saat kemudian seorang penambal ban meneriaki saya agar saya segera jalan padahal saat itu lampu lalulintas masih menyala merah. Bapak penambal ban tersebut kemudian menunjuk ke arah kiri jalan dan rupanya disana terpampang papan kecil bertuliskan “JALAN TERUS” yang kemungkinan tidak terlihat oleh mata.

Saya masih ragu untuk mengikuti pesan di papan tersebut, tentu saja karena saya sudah dua kali terkena tilang dan tidak ingin terjadi untuk ketiga kalinya. Namun karena mobil yang tepat berada di belakang saya terus saja membunyikan klakson saya putuskan untuk melanjutkan perjalanan saya. Ternyata memang begitu aturannya, kendaraan yang tidak belok diperbolehkan jalan terus. Lalu apa fungsi dari lampu lalulintas yang berdiri tegak dan memakan energi listrik itu? Ketika masyarakat sudah mengetahui peraturan tersebut tentu tidak menjadi masalah, namun tidak bagi saya yang tidak terbiasa dengan peraturan itu. Membuat seorang pengendara motor merasa kikuk di jalan raya tentunya dapat membahayakan keselamatan sang pengendara. Lalu dimana peran Polisi Lalulintas pada saat itu? Tentu saja mereka sedang sibuk bertugas menyaksikan televisi di dalam pos kesayangan mereka.

Di pertigaan Babarsari (arah flyover janti) sering terjadi lampu lalulintas yang tiba-tiba mati dan lalulintas saat itu menjadi semrawut, siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini? Agak miris ketika saya menyaksikan sebuah ambulance dengan sirine menyala kesulitan melaju di jalan raya dikarenakan lalulintas yang macet. Sedangkan tidak ada polisi yang mengawal atau berusaha membukakan jalan bagi ambulance tersebut. Sangat timpang keadaanya ketika giliran rombongan pejabat yang melintas di jalan raya. Dengan sigap para polisi mengawal dan memaksa pengendara kendaraan bermotor yang lain agar menyingkir untuk sekedar melancarkan perjalanan rombongan para pejabat tersebut. Belum lagi ketika konvoi motor gede di tengah kota yang senantiasa dikawal oleh Polisi. Tidak peduli siapa yang sedang di jalan, yang penting rombongan motor gede bisa lewat. Siapa sebenarnya yang diayomi dan dilindungi? Pejabat juga rakyat, tetapi masyarakat kecil yang lain yang turut membayar pajak juga selayaknya mendapat perlakuan yang adil dalam urusan jalan raya.

Berbagai pengalaman diatas hanya segelintir kekecewaan yang saya rasakan, saya yakin masing-masing warga pengendara jalan raya memiliki keluhan mereka masing-masing. Bukan bermaksud untuk menjelek-jelekkan korps kebanggaan Indonesia ini, tetapi saya mengharapkan sikap profesional dari mereka yang menyandang gelar pengayom dan pelindung masyarakat. Jaya Polisi Rebuplik Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun