Mohon tunggu...
Fabianus Keane Karnaen
Fabianus Keane Karnaen Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Pelajar SMA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Indonesia Darurat Guru Besar

17 Agustus 2024   09:01 Diperbarui: 17 Agustus 2024   09:01 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Martabat dan pengakuan merupakan hal yang selalu dicari oleh manusia. Sejak kemunculan manusia, selalu terjadi peperangan untuk menaklukan komunitas dan masyarakat lain demi pengakuan tersebut. Awalnya hanya dalam ruang lingkup kecil. Namun, seiring kemajuan teknologi, ruang lingkup konflik yang diciptakan semakin besar. Pada era modern ini, tindakan mencari pengakuan ini telah berkembang menjadi berbagai variasi, dan dapat dilakukan oleh siapapun, bahkan oleh orang yang telah terpandang sekalipun.

Profesor adalah gelar yang diberikan kepada dosen atau pengajar di sebuah lembaga pendidikan tinggi. Sudah semestinya jabatan tersebut didapatkan dan dijalani dengan hormat dan sesuai tujuannya. Namun, pada realitanya, terjadi banyak kasus penyalahgunaan jabatan profesor. Marak terjadi kasus jurnal predator, untuk memudahkan seseorang meraih gelar profesor. Tidak jarang juga guru besar dan profesor terlibat kasus suap dan korupsi, serta tindakan yang tidak bermoral lainnya.

Salah satu contohnya adalah kasus Skandal guru besar Universitas Lambung Mangkurat. Kasus ini dimulai ketika 11 dosen universitas tersebut mengirimkan artikel ilmiah ke jurnal predator. Latar belakang kasus ini adalah ambisi menjadikan Universitas Lambung Mangkurat 100 guru besar untuk mempercepat proses kenaikan pangkat menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH).[1]

Kerjasama ilegal antara calon guru besar dengan lembaga penerbit jurnal ini diperkirakan menelan biaya 70 juta rupiah hingga 135 juta rupiah. Hal ini menjadi pertanda bahwa status guru besar di Indonesia dapat diperoleh dengan cara yang ilegal. Terbukti dari banyaknya guru besar di Indonesia yang ternyata setelah dilakukan uji kualitas, tidak memenuhi standar minimum sebagai guru besar. Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Idhamsyah Eka Putra memaparkan bahwa dari banyaknya sampel guru besar yang diambil, hanya sedikit yang lolos kualifikasi kualitas sebagai guru besar, sisanya memiliki kualitas dibawah rata-rata.[1]

Seperti yang kita ketahui bahwa singa dijuluki sebagai raja hutan. Sementara serigala berada dibawah kekuasaan singa. Namun, kita dapat melihat singa di sirkus, tetapi tidak dengan serigala. Terkadang, orang-orang dengan status tertinggi seperti singa tidak dapat mempertahankan harga diri mereka dalam mencapai pengakuan tersebut, dan akhirnya masuk pada "sirkus". Akan tetapi, orang-orang yang menyerupai serigala, dapat mempertahankan harga dirinya, sekalipun dia tidak mendapatkan pengakuan sebagai raja hutan.

Berangkat dari mirisnya dunia pendidikan tinggi di Indonesia, semoga masih ada harapan yang tumbuh dari dalam. Raihlah pencapaian dengan cara yang bersih, dan pertahankan harga diri Anda. Semoga, di masa yang akan datang, muncul generasi guru besar yang memang kompeten dan berakhlak baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun