Mohon tunggu...
Fabian Satya Rabani
Fabian Satya Rabani Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar, model, dan atlet

Hobi bermain musik, membaca, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Live In: Belajar Menghidupi Gaya Hidup Berkelanjutan

27 Februari 2024   12:59 Diperbarui: 27 Februari 2024   13:01 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pos Ronda, menjaga silaturahmi dan keamanan/Foto: Dok.panitia

    Gaya hidup berkelanjutan adalah gaya hidup yang memiliki tujuan dalam menyeimbangkan antara manusia dan lingkungan sebagai tempat dan sarana hidupnya. Gaya hidup ini  berfokus pada penggunaan sumber daya alam secara efektif,  efisien, dan bertanggung jawab. Selain itu, dalam gaya hidup ini ada upaya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Gaya hidup berkelanjutan ini mencakup cara hidup, perilaku, dan pilihan sosial, yang meminimalkan degradasi. 

Gaya hidup berkelanjutan mendukung pembangunan sosial-ekonomi yang adil dan kualitas hidup yang lebih baik bagi semua dan bagi generasi yang akan datang. Konsep gaya hidup berkelanjutan atau sustainable lifestyle ini menjadi salah satu fokus Kurikulum Merdeka dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). 

Dalam projek bertema gaya hidup berkelanjutan tersebut, SMA Talenta Bandung mengadakan kegitan Live In. Kegiatan ini diperuntukkan bagi siswa kelas 10 semester genap. Live in adalah kegiatan yang mengajak siswa hidup dalam masyarakat yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, bahasa daerah, dan bahkan secara geografis. Pada live in yang diselenggarakan pada 28 Januari sampai 02 Februari 2024  ini, kami tinggal di Desa Banjarasri, Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sana,  kami satu angkatan dibagi dalam empat pedukuhan, yaitu kelompok yang tinggal di Pedukuhan Tirip,  Kalisoka, Jurugan, dan Tosari.

Di tempat ini, kami berdua-berdua tinggal dalam sebuah keluarga yang merupakan orang tua asuh. Dalam keluarga ini, kami mengikuti beberapa  aktvititas yang dilkakukan oleh keluarga misalnya memasak, ikut ke kebun, memberi makan ternak, dan ke pasar. Kami juga terlibat dalam kegiatan masyarakat kampung, misalnya kerja bakti, ikut dalam pertemuan warga, dan dalam kegiatan ronda.

Pada kegiatan live in ini, banyak nilai positif yang mengesan dan memberikan pembelajaran yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa fakta menonjol yang terjadi di  masyarakat  Desa Banjarasri terkait dengan nilai gaya hidup berkelanjutan yang cukup inspiratif adalah sebagai berikut ini.


1.Menanam pohon untuk anak cucu
Saat kami memasuki Desa Banjarasri, terlihat suasana alam yang asri dan hijau. Banyak pohon besar dan kecil tumbuh subur di tanah desa. Ada pohon jati, sono, mangga, kelapa, dan banyak jenis lain. Pohon-pohon itu ada yang bisa dimanfaatkan kayunya untuk bahan bangunan, daun, buah, dan bijinya untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pak Panut, kepala keluarga yang rumahnya penulis tinggali, mengatakan bahwa pohon-pohon mangga, kelapa, dan kayu jati yang berada di sekitar rumahnya itu ada yang sudah berumur puluhan tahun. Pohon-pohon besar itu ditanam oleh ayah atau kakeknya dulu. Dengan demikian, sekarang Pak Panut tinggal memanfaatkannya.
Ketika menjual atau menebang pohon miliknya, Pak Panut merasa mempunyai tanggung jawab untuk menanam bibit yang baru lagi. Pak Panut menanam pohon-pohon serupa untuk menjaga kesetabilan tanah, menjaga ketersediaan mata air, dan lingkungan rumah tetap asri. Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah adanya harapan agar bibit-bibit pohon yang ditanamnya itu, kelak bisa dimanfaatkan  juga oleh anak cucunya.

Mengikuti kerja bakti/Foto.dok.panitia
Mengikuti kerja bakti/Foto.dok.panitia
2.Mengolah dan mengonsumsi makanan lokal
     Makanan lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal di Desa Banjarasri. Bahan dasar makanan lokal yang dihasilkan oleh masyarakat adalah hasil pertanian berupa palawija, yakni padi dan ketan, jagung, singkong, serta ubi jalar. Hasil pertanian ini bisa untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, hasil pertanian juga diolah menjadi produksi aneka jenis makanan yang bernilai komersial yang bisa dijual untuk memenuhi kebutuhan lain. Singkong misalnya, oleh masyarakat Desa Banjarasri bisa diolah menjadi keripik, slondok/lanting, dan lain-lain yang dengan mudah bisa kita temui di pasar tradisonal atau di warung-warung di Desa Banjarasri. Bahkan jenis makanan hasil olahan singkong dan ketan dipasok juga ke kota Yogyakarta sebagai makan khas daerah untuk oleh-oleh wisatawan.


     Masyarakat Desa Banjarasri banyak juga yang melihara sapi, kambing, dan unggas.   Hewan peliharaan ini bisa menjalin siklus/rantai makanan yang membuat keseimbangan ekosistem. Hal ini terjadi karena limbah pangan manusia bisa diberikan untuk binatang (unggas), katoran binantang untuk pupuk alami, dan daun-daun tanaman pertanian misalnya daun singkong, daun ubi jalar, pohon jagung bisa menjadi makanan kambing dan sapi. Hasil ternak ini bisa memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat desa dan juga dijual untuk mencukupi kebutuhan lain misalnya pendidikan, perumahan, dan kepentingan sosial.
Konsistensi dan kreativitas masyarakat dalam mengolah dan mengonsumsi makanan lokal ini tentu sangat penting untuk kita apresiasi dan refleksikan. Budaya mengolah dan mengonsumsi makanan lokal ini sangat mendukung  sustainable lifestyle sehingga bisa menjadi inspirasi dan bahan pembelajaran yang autentik.

Memarut kelapa/Foto:dok.panitia
Memarut kelapa/Foto:dok.panitia
3. Hidup hemat dan sederhana

Terlihat dari sandang, papan, pangan, alat transportasi dan gaya hidup kesehariannya, masyarakat Desa Banjarasri menerapkan hidup hemat dan sederhana. Gaya hidup ini diterapkan bukan karena mereka berkekurangan atau miskin, tetapi hal ini telah menjadi budaya turun temurun. Budaya hidup hemat dan sederhana inilah  yang mendukung pembangunan sosial-ekonomi yang adil dan kualitas hidup yang baik bagi semua warga masyarakat Desa Banjarasri dan bagi generasi yang akan datang.


Dari pakaian yang digunakan, mereka memakai pakaian yang biasa-biasa saja baik model maupun harga. Jumlah pakaian yang dimilikinya pun tidak berlebihan. Prinsip yang mereka pakai adalah 'yang penting bersih dan layak pakai'. Rumah yang dimilikinya pun pada umumnya sederhana dengan ukuran dan fasilitas yang secukupnya. Peralatan dapur dan alat-alat rumah tangga yang lain menggunakan alat-alat yang sederhana dan bisa digunakan berulang-ulang.  Perkakas yang dibeli adalah perkakas yang memang dibutuhkan, bukan sekadar untuk pajangan. Hal ini tidak hanya menghemat uang, tetapi juga mengurangi limbah yang tidak ramah lingkungan. Masyarakat di sini memasak atau membeli makanan sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan. Kebiasaan ini tentu mengurangi pemborosan. Dengan pengurangan pemborosan pangan ini, masyarakat Desa Banjarasri telah berperan dalam mengurangi tekanan sumber daya alam dan mengurangi kelaparan global.

Alat trasportasi yang digunakan masyarakat Desa Banjarasri secara umum adalah sepeda motor. Namun, karena mobilitas yang tidak terlalu tinggi, mereka banyak yang berjalan kaki untuk mencapai tempat tujuan seperti di ladang dan kebun. Saat bepergian keluar daerah, mereka kebanyakan menggunakan moda transportasi publik seperti bus dan kereta api. Situasi ini membuat Desa Banjarasri memang asri jauh dari polusi, baik polusi udara, tanah, maupun suara.

Pos Ronda, menjaga silaturahmi dan keamanan/Foto: Dok.panitia
Pos Ronda, menjaga silaturahmi dan keamanan/Foto: Dok.panitia
4.Menjadi desa wisata

Dalam http://eprints.undip.ac.id dijelaskan bahwa sejarah Desa Banjarasri dibagi dalam empat masa yaitu Masa Kehadiran Romo Prennthaler, Masa Revolusi, Masa Pasca Revolusi, dan Masa Pembangunan Desa Wisata. Pada masa kehadiran Romo Prennthaler diawali kehadiran seorang misionaris Austria yang di Desa Banjarasri. Pada tahun 1948, Desa Banjarasri dijadikan Markas Besar Komando Jawa, pada saat Agresi Milter II. Peristiwa ini tergambar dalam Masa Revolusi. Seusai Agresi Militer II (Pasca Revolusi), pembangunan desa diarahkan pada pembangunan pertanian dan pendidikan. Hingga pada tahun 2009 Desa Banjarasri ditetapkan menjadi desa wisata.
     

Foto:bajarasri-kulonprogo.desa.id
Foto:bajarasri-kulonprogo.desa.id
Menghadapi ketatnya persaingan antardaerah dalam menarik wisatawan dimasa mendatang, terhadap pengembangan objek wisata yang selama ini banyak dikunjungi wisatawan antara lain makam Romo Prennthaler, Goa Maria, Monumen MBKD, dan lain-lain, maka tim pengelola Desa Wisata Banjarasri yang awalnya diprakarsai oleh Kepala Desa dan perangkat desa serta didukung beberapa tokoh masyarakat memberanikan diri untuk mengambil peluang yang ditawarkan oleh Dinas Pariwisata Kulon Progo dan DIY untuk menambah pengembangan pariwisata alternatif berupa pariwisata pedesaan. Keberadaan Desa Wisata Banjarasri meliputi : Desa Wisata Flora dan Fauna, Desa Wisata Kerajinan, Desa Wisata Sejarah, Desa Wisata Religius/Legenda, Desa Wisata Kuliner, dan Desa Wisata Alam.     

Keberadaan Desa Banjarasri sebagai desa wisata ini jelas mendukung dan menghidupi gaya hidup berkelanjutan. Selain mengupayakan eksistensi masyarakat sekarang, mereka telah menjangkau ke depan yaitu menjaga dan menyiapkan keberlangsungan hidup bagi genarasi yang akan datang.


                                                                                                                                            Fabian Satya Rabani, siswa kelas 10 SMA Talenta Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun