Mohon tunggu...
Faberian Diantama
Faberian Diantama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknik Biomedis Universitas Airlangga

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Kasus Penolakan Pembayar Kerap Terjadi, Apakah Sistem COD Perlu Dihapus?

26 Juni 2023   13:33 Diperbarui: 26 Juni 2023   13:35 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi belanja online. Kredit foto: Pexels

Sebuah video kembali viral di media sosial. Dalam video tersebut menunjukkan ibu-ibu pembeli barang online via COD yang marah tak mau membayar pesanannya yang sudah diunboxing. Video tersebut diunggah oleh akun @espocimanis di akun tiktoknya pada Jumat, 3 Maret lalu.

Tak hanya itu, di Banyuasin Sumatra Selatan terjadi kasus serupa. Bahkan kurir mendapat tikaman dari pelaku yang merupakan konsumen COD. Kasus ini terjadi pada 28 Januari 2023.

Ilustrasi kurir mengantar paket. Kredit foto: Pexels
Ilustrasi kurir mengantar paket. Kredit foto: Pexels

Dalam era perdagangan elektronik yang semakin berkembang, banyak metode pembayaran yang bisa diterapkan dan salah satu yang popular adalah COD. Sistem COD atau Cash on Delivery adalah metode pembayaran yang dilakukan secara langsung oleh pembeli pada saat menerima paket yang diantar oleh kurir.

Di Indonesia sendiri sudah banyak aplikasi belanja online yang menyediakan fitur COD. Fitur ini cenderung lebih diminati karena beberapa alasan, seperti tidak semua orang memiliki rekening bank, lebih aman dari tindakan penipuan, dan tentunya lebih mudah. Meskipun sistem ini menjadi salah satu metode pembayaran yang paling populer di negara-negara berkembang, namun sistem ini juga kerap menimbulkan berbagai masalah bagi penjual, pembeli, maupun pengantar.

Ilustrasi belanja online. Kredit foto: Pexels
Ilustrasi belanja online. Kredit foto: Pexels

Salah satu permasalahan yang tak berhenti bermunculan adalah pembeli yang tak mau menerima dan menolak untuk membayar barang pesanannya. Sudah banyak berita yang beredar mengenai permasalahan tersebut. Para kurir yang notabene hanya sebagai pengantar barang mendapat makian, ancaman, bahkan kekerasan dari para pembeli yang tak bertanggung jawab. Seperti tidak ada yang mau menyadarkan dirinya bahwa hal tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Lantas mengapa hal ini terjadi?

Berdasarkan beberapa berita yang viral, subjek yang melakukan penolakan merupakan orang berusia paruh baya. Kebanyakan dalam usia tersebut kurang berpengalaman untuk mengoperasikan teknologi modern. Mereka masih merasa khawatir dan tidak percaya dengan sistem pembayaran online, terutama jika mereka tidak memahami cara kerja sistem tersebut. Mereka lebih memilih membayar langsung saat barang diterima untuk menghindari penipuan atau kesalahan pembayaran, tetapi pada saat menerima barang dan barang tersebut tidak seperti yang diekspektasikan, mereka menolak untuk membayar.

Alasan lain yang lebih spesisfik yaitu dalam usia paruh baya rawan terjadinya krisis paruh baya. Krisis yang dimaksud merupakan tekanan - tekanan yang diterima saat berusia paruh baya, tekanan tersebut bisa berasal dari tuntutan sehari - hari mereka, entah itu masalah pekerjaan, keuangan, kesehatan, dll. Hal tersebut menjadi guncangan yang berdampak pada pikiran dan emosi mereka. Jika dikaitkan dengan kasus penolakan barang belanja online, ketika mereka menerima paket yang tidak sesuai ekspektasi, mereka akan cenderung meluapkan emosi kepada kurir. Padahal jika memang dirasa barang tidak sesuai, mereka bisa melakukan pengajuan pengembalian barang.

Tetapi emosi yang ditimbulkan para konsumen ini bukanlah tanpa alasan. Emosi mereka timbul ketika menerima paket yang tidak sesuai dengan apa yang mereka pesan. Adanya perbedaan ekspektasi dengan realita dapat memicu emosi konsumen. Masih banyak toko online yang melakukan penipuan dengan mengirimkan barang yang tidak sesuai dengan apa yang ditampilkan pada aplikasi belanja online. Belanja online memang memiliki resiko penipuan yang lebih tinggi karena para konsumen tidak bisa melihat barang secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun