Di era digital yang terus berkembang, keamanan data pribadi makin menjadi prioritas utama. Apalagi, di tengah maraknya kasus penyalahgunaan data oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab, mulai dari penjualan data pribadi hingga peretasan akun media sosial. Dalam menghadapi tantangan ini, teknologi keamanan terus berevolusi, dan salah satunya adalah melalui penerapan sistem biometrik. Teknologi biometrik adalah teknologi yang menggunakan data biologis unik individu untuk melakukan proses autentikasi. Biometrik, berasal dari kata 'bio' yang berarti hidup dan 'metrik' yang berarti ukuran, adalah teknologi yang menggunakan data biologis unik individu untuk autentikasi. Data ini dapat berupa ciri fisik seperti sidik jari, iris mata, wajah, dan suara, atau perilaku seperti ketukan keyboard dan pola gerakan.
Salahsatu dari teknologi biometrik adalah teknologi pengenalan wajah. Biometrik Wajah adalah cara untuk mengautentikasi identitas pengguna berdasarkan pengukuran dan analisis fitur wajah, termasuk: Ukuran dan bentuk mata. Jarak antar mata. Lebar dan kelengkungan mulut. Pengenalan wajah adalah sistem verifikasi yang cepat dan efisien. Lebih cepat dan lebih nyaman dibandingkan dengan teknologi biometrik lain seperti pemindai sidik jari atau retina. Pengenalan wajah juga menggunakan titik sentuh yang lebih sedikit dibandingkan dengan memasukkan kata sandi atau PIN.
Dibalik majunya perkembangan teknologi biometrik, khususnya teknologi pengenalan wajah. Teknologi pengenalan wajah memiliki masalah bias yang signifikan, terutama dari segi ras dan gender. Teknologi pengenalan wajah ini akan lebih akurat ketika digunakan untuk menguji ras dan gender tertentu, di mana sistem akan lebih akurat jika digunakan untuk ras berkulit putih dan bergender pria dibandingkan dengan ras berkulit hitam dan bergender wanita.
Salah satu contoh nyata bias dalam pengenalan wajah bisa dilihat dari penelitian MIT Media Lab yang menemukan sistem pengenalan wajah dari Amazon, Microsoft, dan IBM lebih sering salah mengenali orang berkulit gelap, khususnya wanita kulit hitam. Tingkat kesalahannya bisa sampai 35% untuk wanita kulit hitam, sementara untuk pria berkulit putih hanya sekitar 1%. Di Amerika Serikat, teknologi ini juga beberapa kali salah mengidentifikasi orang kulit hitam sebagai pelaku kejahatan, padahal mereka tidak bersalah. Hal ini menunjukkan bahwa bias dalam data yang melatih sistem tersebut bisa menyebabkan ketidakadilan, terutama untuk kelompok minoritas.
Akibat dari seluruh masalah bias yang ada, adalah adanya diskriminasi kepada beberapa ras tertentu, terutama jika teknologi ini digunakan dalam penegakan hukum, yang dapat mengarah pada kesalahan identifikasi dan tindakan tidak adil terhadap kelompok tertentu. Kurangnya transparansi dalam pengembangan algoritme memperburuk masalah ini, sehingga penting untuk memastikan teknologi ini diuji dan dilatih dengan data yang beragam agar tidak merugikan kelompok tertentu.
Apa yang menyebabkan masalah bias pada teknologi pengenalan wajah ini bisa terjasi?. Masalah bias dalam teknologi pengenalan wajah bisa muncul karena beberapa hal, kurangnya data beragam yang digunakan saat Latihan system, pelatihan system teknologi oengenalan wajah ini seharusnya menggunakan lebih banyak data yang beragam agar meminimalisir masalah bias yang terjadi. bias dalam pengumpulan data, serta algoritma yang memperkuat bias yang ada. Dataset yang digunakan sering kali kurang mencerminkan keragaman ras, warna kulit, gender, dan usia, sehingga sistem lebih akurat mengenali kelompok yang lebih terwakili, seperti orang berkulit terang atau pria.
Untuk mengatasi bias dalam teknologi pengenalan wajah, beberapa solusi dapat diterapkan. Pertama, pengumpulan data yang lebih beragam sangat penting agar algoritme dapat dilatih untuk mengenali wajah dari berbagai ras, gender, dan usia, seperti yang diungkapkan oleh Buolamwini dan Gebru dalam penelitian mereka (2018). Selain itu, pengujian dan validasi yang lebih ketat harus dilakukan pada berbagai kelompok demografis untuk memastikan akurasi yang konsisten, yang ditekankan dalam penelitian oleh Raji dan Buolamwini (2019). Transparansi dan akuntabilitas dalam pengembangan juga perlu ditingkatkan, termasuk berbagi informasi tentang metodologi pengumpulan data dan pengujian, seperti yang disarankan oleh inisiatif "AI Ethics Guidelines" dari IEEE. Meningkatkan kesadaran tentang bias di kalangan pengembang melalui program pelatihan dapat membantu mengurangi dampak bias, sebagaimana disarankan oleh AI Now Institute (2018). Terakhir, keterlibatan komunitas dan pemangku kepentingan dalam proses pengembangan teknologi pengenalan wajah akan menciptakan solusi yang lebih inklusif dan adil, seperti yang diungkapkan dalam penelitian oleh Data & Society (2019).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H