Toxic postivity...
Ada yang baru mendengar penggalan kata tersebut? atau memang sudah tau belakangan ini?
Bagi kalian yang menginjak usia 20-an keatas pasti semakin sering mendengar kata-kata berbau "toxic positivity". Seiring berjalannya waktu, usia semakin bertambah, dan tentunya diri ini semakin dituntut untuk dewasa oleh keadaan.Â
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk melihat segala sesuatu dari sisi baik dari kehidupan tanpa mempertimpangkan persaan yang dirasakan. Melihat suatu hal dengan positif memang baik, tapi jika dibarengi dengan menghindari emosi negatif, hal ini justru dapat berdampak buruk bagi kesehatan mental, lho. Toxic positivity umumnya muncul melalui ucapan. Orang yang memiliki pemikiran yang demikian mungkin bisa sering melontarkan petuah yang terkesan positif, tapi sebenarnya merasakan emosi yang negatif.
Kalian mungkin pernah merasakan menjadi korban si toxic yang satu ini. Seperti kalian sedang bercerita tentang keluh kesah kalian kepada orang lain baik itu teman, ataupun keluarga sekalipun. Namun, tidak kalian dapatkan respon sesuai ekspektasi kalian malah terkesan menjatuhkan dan tidak memahami kesedihan yang kalian alami. Misalnya dengan ucapan kalimat-kalimat seperti ini:
"jangan menyerah, begitu saja kok tidak bisa"
"kamu harusnya lebih bersyukur, banyak orang diluar sana ingin berada di posisimu"
"kamu lebih beruntung, masih banyak orang yang lebih menderita dari kamu"
"Coba deh, lihat sisi positifnya. Lagi pula, ini salahmu juga, kan?"
Ada baiknya untuk lebih menunjukkan empati kepada orang lain yang memperdengarkan ceritanya kepada kita. Lebih baik kita terlebih dahulu mengatakan ucapan berikut:
"Dalam keadaan ini, sepertinya sulit ya melihat hal-hal yang baik. Saya mencoba memahami"
"Wajar jika kita merasa kecewa dalam keadaan ini"
"Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini, ya..."
Mungkin, mengucapkan kalimat positif dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau sebagai rasa simpati terhadap masalah yang sedang dialami orang lain. Namun, bukan berarti selalu mengedepankan pemikiran positif sampai mengabaikan emosi negatif.
Di era digitalisasi modern ini, media sosial juga berpengaruh besar yang dapat memicu toxic positivity. Secara tidak sadar, media sosial membuat tiap orang berlomba-lomba untuk menunjukkan sisi terbaik dari kehidupan masing-masing. Ketika melihat orang lain yang hidupnya tampak lebih sempurna, mungkin kita akan menjadi lebih mudah sedih dan terpuruk. Bahkan, ketika sedang merasa sangat sedih sekali pun, sebisa mungkin untuk menutupinya dari media sosial. Hal ini membuat kita menolak segala emosi negatif karena ingin selalu terlihat sempurna, seperti dunia yang ditampakkan di media sosial.
Bagaimana sih cara menghindari toxic positivity?
- Rasakan dan nikmati segala bentuk emosi yang muncul
Cobalah bercerita dan ungkapkan keluh kesahmu pada seseorang yang kamu percaya dan bisa memahami perasaanmu. Bila kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa menuliskannya dalam buku harian.
- Berusaha memahami bukan menghakimi
Belajarlah menjadi pendengar yang baik ketika lawan bicaramu bercerita mengenai permasalahan hidupnya. Memposisikan dirimi sebagai dirinya tentu akan membuatmu memahaminya lebih baik. Usaha dia untuk bercerita kepadamu mengartikan bahwa jawabanmu berarti untuknya atau kamu adalah orang yang bisa dipercaya olehnya. Maka jangan menghakiminya secara langsung.
- Jangan membanding-bandingkan
Tiap insan dibumi diciptakan dengan rintangan yang berbeda. Yang kamu anggap kehidupannya luarbiasa nyatanya menurut dia biasa saja. Hey don't compare yourself with other people, tiap orang pasti ada fasenya untuk bertumbuh dan berproses dengan gaya-nya masing-masing.
- Kurangi sosial media
Ada kalanya kamu harus berpuasa sosial media, menikmati me time mu yang lebih menyenangkan. Tak ayal sosial media memang diciptakan untuk unjuk gigi. Maka, jangan heran ketika kehidupan yang indah dan menyenangkan yang kamu lihat, ya karena itu adalah tujuan sosial media.
Kamu tidak perlu untuk merasa baik tiap waktu. Tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Kamu berharga, jadi jangan sakiti dirimu sendiri :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H