Mohon tunggu...
Faamma
Faamma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Final year students

Bertumbuh 🌱 Penulis ulung di https://faamma.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toxic Positivity, Si Positif yang Tak Melulu Positif

14 Agustus 2021   04:44 Diperbarui: 14 Agustus 2021   05:45 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wajar jika kita merasa kecewa dalam keadaan ini"

"Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini, ya..."

Mungkin, mengucapkan kalimat positif dimaksudkan untuk menguatkan diri sendiri atau sebagai rasa simpati terhadap masalah yang sedang dialami orang lain. Namun, bukan berarti selalu mengedepankan pemikiran positif sampai mengabaikan emosi negatif.

Di era digitalisasi modern ini, media sosial juga berpengaruh besar yang dapat memicu toxic positivity. Secara tidak sadar, media sosial membuat tiap orang berlomba-lomba untuk menunjukkan sisi terbaik dari kehidupan masing-masing. Ketika melihat orang lain yang hidupnya tampak lebih sempurna, mungkin kita akan menjadi lebih mudah sedih dan terpuruk. Bahkan, ketika sedang merasa sangat sedih sekali pun, sebisa mungkin untuk menutupinya dari media sosial. Hal ini membuat kita menolak segala emosi negatif karena ingin selalu terlihat sempurna, seperti dunia yang ditampakkan di media sosial.

Bagaimana sih cara menghindari toxic positivity?

  • Rasakan dan nikmati segala bentuk emosi yang muncul

Cobalah bercerita dan ungkapkan keluh kesahmu pada seseorang yang kamu percaya dan bisa memahami perasaanmu. Bila kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa menuliskannya dalam buku harian.

  • Berusaha memahami bukan menghakimi

Belajarlah menjadi pendengar yang baik ketika lawan bicaramu bercerita mengenai permasalahan hidupnya. Memposisikan dirimi sebagai dirinya tentu akan membuatmu memahaminya lebih baik. Usaha dia untuk bercerita kepadamu mengartikan bahwa jawabanmu berarti untuknya atau kamu adalah orang yang bisa dipercaya olehnya. Maka jangan menghakiminya secara langsung.

  • Jangan membanding-bandingkan

Tiap insan dibumi diciptakan dengan rintangan yang berbeda. Yang kamu anggap kehidupannya luarbiasa nyatanya menurut dia biasa saja. Hey don't compare yourself with other people, tiap orang pasti ada fasenya untuk bertumbuh dan berproses dengan gaya-nya masing-masing.

  • Kurangi sosial media

Ada kalanya kamu harus berpuasa sosial media, menikmati me time mu yang lebih menyenangkan. Tak ayal sosial media memang diciptakan untuk unjuk gigi. Maka, jangan heran ketika kehidupan yang indah dan menyenangkan yang kamu lihat, ya karena itu adalah tujuan sosial media.

Kamu tidak perlu untuk merasa baik tiap waktu. Tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Kamu berharga, jadi jangan sakiti dirimu sendiri :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun