Mohon tunggu...
Eko Efendi
Eko Efendi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karena kita tahu bahwa kita selalu ingin dan ingin tahu...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Neng... Pulang, ya..."

20 Februari 2012   05:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329715583725145030

Setelah sekian lama menderu, akhirnya berhenti juga suara putaran mesin UDRC di ruang ini. Sepintas kulirik jam di dinding ruang kerjaku, terlihat sudah menunjukan pukul setengah tiga pagi. Ya... saatnya pulang, kerjaan selesai walau harus overtime setengah jam. Shift malam memang sangat melelahkan. Selain harus menahan rasa kantuk, hawa dingin dari ac ruangan serta beberapa job yang terkadang bermasalah menjadi santapan tiap hari. Belum lagi di tambah komplain dari rekan divisi yang harus terselesaikan malam itu juga, semua menjadi tambah runyam bila diambah dengan permasalahan lain seperti troubel unit dan sebagainya. Untung saja masih ada sedikit yang bisa dijadikan hiburan tiap malamnya. Siaran televisi, musik, dan koneksi internet yang super cepat selalu menjadi hiburan tersendiri untuk mengurangi kepenatan. Namun semua itu sudah tak terpikirkan lagi. Yang kupikir saat ini adalah agar bisa cepet sampai di rumah untuk beristirahat.

Segera ku lajukan motorku, menempuh jalan alternatif yang biasa kulewati tiap pulang kerja. Walau terkadang timbul rasa ragu untuk melewati jalan ini, namun aku berusaha tetap melewatinya dari pada harus memutar lewat jalan kota yang jarak tempuhnya dua kali lebih jauh untuk sampai kerumah dibandingkan dengan melewati jalan alternatif ini. Maklum, konon katanya jalan ini banyak begalnya dan terkenal angker karena arwah-arwah orang yang mati di beberapa tempat sepanjang jalan ini. Tapi tak apalah, selama hampir satu tahun aku lewat disini gak ada hal-hal menakutkan seperti cerita kebanyakan orang yang pernah mengalami hal buruk di jalan ini.

Dengan perlahan aku terus menelusuri jalan ini. Aku pikir memang sebenarnya aman-aman saja lewat jalan ini, tapi kenapa kebanyakan orang mengatakan lain. Perjalanan ku terhenti ketika sampai di sebuah jembatan di jalan ini. Sebuah truk tangki dan beberapa sepeda motor tampak berhenti di tepi jalan pada jembatan. Dengan rasa ragu aku pun menghentikan laju motor dan mendekati kerumunan orang yang tak jauh di sebelahnya. Di situ aku lihat seorang ibu yang dari dandanannya hendak ke pasar, serta empat orang bapak-bapak. Aku bertanya kepada salah seorang dari bapak tadi,

“ada apa pak?” tanyaku

“itu mas, ada mba’-mba’ mau bunuh diri” kata bapak itu sambil menunjukan tangannya ke arah pilar yang berdiri tegak di samping jembatan. Seorang bapak mencoba menasehati wanita tadi, namun sang wanita tersebut tetap tidak menghiraukan kata-kata bapak itu. Wanita muda itu hanya berkata dan terus berkata

“semua ini berakhir.... dasar pengecut....” sambil meremas sebuah kertas di tangannya.

Aku mencoba lebih mendekat agar bisa melihat wajahnya, namun seorang bapak menghentikan ku, “jangan mas, klo ada yang mendekat dia mau lompat kesungai katanya...”

“wah.. klo gitu kita tinggal aja pak, klo gak ada yang mendekat kan dia gak jadi bunuh diri” kataku iseng.

“hus... sampean ki guyonan wae” kata seorang bapak lain yang dari tadi terus menasehati wanita yang mau bunuh diri tadi.

“he.... iya pak, maaf” kataku.

Namun alangkah terkejutnya aku, ketika wanita tadi melirik kearahku.

“Neng....” kataku kepadanya

“kamu Neng kan...”

Dia tetap diam, namun aku yakin dia adalah Neng teman sekampusku.

“ayolah Neng... kenapa kamu jadi begini?”

“turunlah, klo ada masalah kita selesaikan bersama.”

“ayolah....kita temen kan...” aku terus merayunya sambil mengulurkan tanganku agar ia turun ke jembatan. Tak berselang lama akhirnya diapun mau turun dari pilar jembatan itu. Di bantu bapak-bapak tadi aku membantunya turun.

“sampean temen e to mas?” kata salah seorang bapak

“iya pak” jawabku.

Setelah berhasil turun, dia langsung memeluk aku dengan erat. Seumur hidup baru kali ini aku mendapat pelukan seerat ini. Sambil terus menangis, dia terus memeluk aku. Tak peduli dengan bapak-bapak yang dari tadi memperhatikan kami.

“mas...” katanya lirih

“sudahlah Neng... jangan nangis lagi ya...” aku mencoba menenangkannya. Ku seka air matanya yang terus mengalir dengan sapu tangan yang ku selipkan di kantung jaket ku. Aku pegang tangannya yang begitu dingin. Aku lepas juga jaketku dan ku pakaikan kepadanya. Aku berfikir bagaimana dia bisa sampai disini padahal rumahnya jauh dari sini, bahkan setahuku dia juga gak pernah tahu daerah ini. Aku terus berusaha menenangkan dia sembari mendudukannya di jok motorku yang distandar samping, namun dia tetap menyembunyikan mukanya di dadaku. Akhirnya seorang bapaak dan ibu yang hendak ke pasar tadi melanjutkan perjalanannya. Begitu pula supir truk tangki beserta kernetnya.

“Sudahlah de’... pulang ya, kasihan orang tuamu...” kata seorang bapak yang masih menemani kami.

“iya pak... setelah ini akan saya antar pulang” sahutku.

Getaran dan deringan hp ku mengagetkan pelukannya. Ku ambil hp dari saku celana, dan ku lihat ternyata cuma alarm yang ku aktifkan untuk sahur puasa senin kamis. Ku tunjukan pada Neng, dan dia sudah bisa sedikit tersenyum. Kami akhirnya berkendara, tujuanku adalah mengartar dia pulang. Namun di tengah perjalanan dia bertanya pada ku

“mas, kita mau kemana?” tanyanya

“kerumahmu kan, katanya pengen pulang” jawabku

“enggak mas... aku gak ingin pulang. Please, aku ikut kerumahmu aja mas...” pintanya.

Sejenak ku hentikan motorku. Aku mencoba memberi nasehat agar dia mau pulang, namun dia tetap tidak mau. Matanya menatap tajam ke arahku, mencoba tuk meyakinkan aku agar aku bisa mengerti apa yang dirasakannya. Dan akhirnya akupun mengalah. Ku ajak dia pulang kerumah ku.

Sesampainya di rumahku, tak banyak kata yang bisa ia katakan. Sepertinya dia masih tertekan dengan masalah yang dihadapinya. Semua yang terjadi pagi ini aku ceritakan semua kepada keluargaku, dan mereka mau menerima Neng untuk tinggal sementara di rumahku. Saat ini dia masih tertidur dengan pulasnya di kamarku. Aku tak tega untuk membangunkannya. Mungkin setengah jam lagi saat waktunya shalat dzuhur tiba, aku akan membangunkannya dan semoga dia mau ku antar pulang.

20/02/201212:11

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun