Rasa bersalah sedikit membayang di wajah Daeng. Apalagi Pak Hapri telah banyak membantu keuangan keluarganya. Itu yang menyebabkan ia merasa lalai dan tak tahu balas budi begitu mengetahui bahwa Pak Hapri ternyata pulang kampung.Â
 Sebagaimana pengakuan pak Hapri kepada Daeng dan keluarganya ketika berpamitan, ia akan bekerja disebuah perusahaan perhotelan dan real estate di Jakarta.Â
Pada awal-awalnya Daeng dan para tetangga yang lain sedikit tidak percaya. Setahu mereka Pak Hapri yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli panggul di Pasar Masomba sejak remaja tak pernah sekolah. Apalagi ke Jakarta?Â
Ke kabupaten lain di Sulawesi Tengah sekedar mencari pengalaman kerja, ia belum pernah. Totalnya, ia tak punya pengalaman kerja apa-apa. Bahkan semenjak ayah Pak Hapri mati muda membuat pendidikan Pak Hapri harus berhenti di bangku kelas 2 SMA karena tak ada biaya untuk melanjutkan sekolah.Â
Tambah lagi ia harus membantu ibunya menafkahi hidup ia, ibunya serta dua orang adiknya yang sekrang ikut bersamanya, mengelola sebuah hotel berbintang miliknya, di Jakarta.Â
 "Akh, nda apa-apa Daeng. Nda apa-apa. Biasa saja. Nanti besok pagi saya ke rumah, bertemu dengan mama Ilham dan adik-adik semua, saya sudah mau istirahat lagi karena besok banyak pertemuan dengan orang Daeng. Maaf ya," Jawab Pak Hapri sopan.
 "Ok lah kalau begitu dek Hapri. Nanti saya sampaikan pada mama Ilham. Dia pasti senang, mi. Istirahat sudah kalau begitu. Saya mau lanjut ke warung dulu Assalamualaikum." ujar pak Daeng sambil berlalu dari hadapan pak Hapri yang juga segera berjalan masuk ke dalam rumah. Â
 Tak segera tidur, ketika masuk ke kamarnya Pak Hapri meraih telefon genggam miliknya dari saku celana yang digantung kamar, lalu kembali ke dapur. Sepertinya ia mau menelefon seseorang dan tak ingin kedengaran tetangga. Dapur adalah tempat yang aman karena tak ada rumah di belakang rumahnya.Â
 Belum lagi duduk, ia nampak memencet-mencet tombol handphone-nya. Lalu terdengar bunyi 'tit, tit, tit,' sebagai tanda benda komunikasi itu sedang menghubungi seseorang. Sekitar beberapa detik lalu terdengar suara dari sana.
 "Halo, saya Amelia Urbaningsih,siap melayani anda, bos."Â
 "Baik, terima kasih. Amelia, tolong carikan saya seorang wanita dengan spesialisasi manager dan tawarkan pekerjaan ganda sebagai agen untuk sebuah misi penelitian. Kalau susah ada besok hubungkan saya dengannya lewat telefon kantor." Terdengar Pak Hapri dengan nada memerintah.
 "Baik pak. Mohon maaf sebelumnya. Kebetulan saya punya seorang sahabat yang kosong dan lagi butuh job. Ia sangat berpengalaman dan pernah memanegeri artis dan pejabat negar. Tadi pagi ia mengontak saya minta tolong dicarikan job." Terdengar suara wanita di handphone.
 "Bagus itu. Segera hubungi dia sekarang dan persiapkan untuk wawancara dengan saya via telefon besok. Jangan sampai dia menolak. Segera katakan padanya bahwa upahnya dalam misi ini akan beberapa kali lipat dari nilai kontrak yang pernah dia tanda tangani." Pak Hapri terdengar antusias.  Â
 "Baik Bos. Segera saya hubungi sehabis telefon dengan bapak ini."
 "Oh, iya. Siapa namanya?" kejar Pak Hapri.
 "Eva bos. Lengkapnya Eva Putriani Bahdowi." Sahut suara di henadphone lagi.
 "Ok kalau begitu saya tunggu besok untuk wawancara dengan Ibu Eva. Dan ada lagi satu tugas khusus untuk mu. Secepatnya, segera juga bentuk tim lain sekitar tiga orang termasuk kamu, untuk menjemput tamu dari Jerman bulan depan. Upayakan carilah dari departemen wisata dan imigrasi agar supaya ada akses untuk melacak  daftar tamu dari Jerman namun berkewarganegaraan Belanda. Upayakan besok segera dikonfirmasikan. Jika sudah terbentuk, secepatnya segera aktif melakukan pengecekan daftar tamu asing dari Jerman. Tim yang akan kamu bentuk ini tidak boleh gagal. Harus berhasil. Karena pekerjaan yang saya tugaskan kepada mu ini menyangkut kelangsungan perusahaan ke depan. Tolong upayakan bagaimanapun caranya. Sebagai petunjuknya, saya pastikan kedatangan turis Jerman ini sekitar dua atau tiga minggu lagi, di dalam bulan ini. Ia ditemani seorang wanita WNI." Kali ini pak Hapri menjelaskan dengan panjang. Â
 "Baik pak. Saya siap melakukan perintah bapak." Sahut Amelia di handphone Sony Erickson yang ada dalam genggaman Pak Hapri.Â
 "Baiklah kalau begitu. Saya tunggu besok. Selamat bekerja dan selamat malam." Kata Pak Hapri lagi dan langsung mematikan panggilan. Ia menarik nafasnya agak dalam. Seperti baru melepaskan setumpuk kelelahan.
 Dari atap terdengar suara guyuran hujan. Padahal sejak sore ia turun sebagai rinai saja. Menjelang semakin malam, langit yang kaya seakan sedang menumpahkan isi sebuah Danau ke atas kota Palu yang penat siang tadi.Â
Dari beberapa masjid melantun senandung sembahyang yang menerobos di antara curah hujan. Rasa damai yang indah perlahan menyusupi kalbu setiap orang, seolah menawarkan janji bahwa besok langit akan setia mencurahkan berkat, untuk  menemani hari-hari sukar manusia.
 'Rasa damai yang indah perlahan menyusupi kalbu setiap orang, seolah menawarkan janji bahwa besok langit akan setia mencurahkan berkat, untuk  menemani hari-hari sukar manusia.'
 Tanpa sadar, setetes air mata bergulir lambat dari sepasang mata Pak Hapri. Kalau saja semua ini kumiliki saat mereka masih ada, kata hatinya seraya membayangkan wajah kedua orang tuanya.Â
Tanpa sadar, kekayaannya yang melimpah ruah menyeret perasaannya kepada masa lalu yang getir dan penuh luka. Dan rumah papan tua ini menyimpan semua kisah derita pun kisah bahagia yang nyaris berupa mimpi dalam cerita indah  Karya pendongeng Denmark, Hans Christian Andersen.Â
 Pak Hapri lalu melangkah ke kamarnya, membungkuk kemudian mengangkat sebuah karpet tebal yang digelar di atas lantai, tepat dibawah tempat tidur serta seperangkat perkakas kamar. Dibawah karpet itu ada sebuah ruangan kecil berukuran 2 X 1.5 meter persegi. Semua tetangganya tahu, bahwa ia telah memindahkan kuburan orang tuanya di ruangan kecil itu.Â
Tapi, tak seorangpun tahu bahwa dibawah kotak berisi tulang belulang arwah orang tuanya itu, ada sebuah pintu rahasia menuju ke sebuah bunker tua. Bunker yang ada sejak zaman purbakala dan dibangun oleh orang-orang yang bukan penduduk bumi.Â
Mereka datang lewat alur waktu dari dimensi yang berlainan dengan alam manusia dan peradabannya lebih maju dari manusia purbakala di zaman itu. Merekalah mahluk atau manusia Ventira. namun, apa tujuan mereka menimbun bunker-bunker berisi harta benda bernilai puluhan triliun itu? Mengapa pula mereka meninggalkannya di kehidupan manusia bumi yang merupakan alam lain bagi mereka?Â
                     ****
Bagian Enam : Jika Mendengus, Itu Bukan Cinta
 Rombongan Tim Ekspedisi Ventira hampir tiba dirumah Pak Subhan.  Jalan perkebunan yang menurun dan ada beberapa lokasi dengan keadaannya yang  lumayan terjal membuat Eva dan Baim sempat terperosok. Sementara matahari sedikit bergeser dari atas kepala. Itu tandanya sudah jam satu lewat beberapa menit. Itu dipastikan ketika Burhan melongok kecil kearah jam tangannya.
 Rata-rata kaos mereka basah oleh keringat, kecuali Pak Subhan. Ini jalan sehari-hari baginya. Tapi tokh,  tak urung ia sedikit ngos-ngosan juga. Pria bertutur lembut meski berwajah sangar ini sesekali nampak melihat kea rah beberapa pohon kelapa yang mereka lewati, hingga akhirnya ia bersuara.
 "Jika ada yang ingin minum air kelapa muda, saya akan mengambilkan," tawarnya.
 "Wah, mau! Mau, pak! Pekik Eva dan Raiva kompak.Â
 "Wow... wow...! Wait a minute. Sorry, eee, maksud saya, sebaiknyha kitha sampai dulu di Pak Subhan punya rumah baru kita boleh minum? Bagaimana?" cegah Daniel.
Bersambung...Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H