Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (23)

18 Mei 2020   11:17 Diperbarui: 19 Mei 2020   16:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Bagaimana pak?" Rainy rupanya melihat perubahan mimik di wajah  Pak Subhan.   

 "Belum bisa dipastikan sepihak. Saya harus persetujuan dengan istri dan anak-anak saya. Sebenarnya ini sesuatu hal menyenangkan dan luar biasa menguntungkan. Tapi menyangkut kehidupan dan nyawa kita," sahut Pak Subhan polos dan terlihat prihatin. 

 "Iya, itu sangat benar. Dan saya, rasanya saya harus membuat selembar surat dulu untuk orang tua dan keluarga saya. Waktu pamit saya memang tak mengatakan sejujurnya tentang pekerjaan ini. Sepertinya mereka pikir saya terlibat dalam sebuah proyek penelitian ilmiah seperti umumnya." Suara Burhan terdengar, seperti baru menyadarkan yang lainnya juga.

 "Iya, itu benar sekali dan kenyataannya bukan hanya kau. Saya juga harus menyurati daddy and mommy... sekarang saya mulai merasa takut," kali ini Danish yang mengaku. Lalu yang lain mulai menggangguk dan mengiyakannya. 

 Melihat beberapa yang ada disitu dilanda keraguan, Daniel angkat bicara.

 "Seharusnya sebelum khalian eee dathang kesini dengan kami, kalian eee, sudah melakukan itu. Kalian harus sudah sangat siap seperti Raiva dan Rainy, juga saya. Waktu saya pikir harus melakukan kerja ini, saya sudah menganggap diri saya ini mati." Danile berujar. Ia yang terlihat kuat, sesungguhnya dalam hati kecilnya juga ada rembetan rasa takut yang sedikit menciutkannya. Ia juga muali membayangkan wajah papa-mama serta saudaranya yang lain. 

 Lalu terdengar Rainy berkata.  "Waktu senang-senang kita dan waktu kebersamaan kita hanya tersisa beberapa jam saja...  Kita tak tahu apa yang akan kita alami di jembatan itu nanti jika kita berhasil masuk ke negeri yang masih belum dapat kita pastikan keamanannya. Siapkah kita?" pertanyaannya tak mengharap jawaban mutlak. Ia berkata seperti itu hanya untuk melontarkan penegasan yang kuat bagi anggota tim lainnya. Ia perlahan memandang raut Raiva. Ada keraguan dalam hatinya. Apakah Raiva sudah mengatakan sejujurnya tentang misi ini kepada orang tuanya? Tentang resiko dan kemungkinan paling buruknya? Karena kalau mau jujur, ia juga belum berkata jujur pada papa dan mama, serta adiknya. Ia lakukan ini antara lupa dan sengaja. Ia takut mereka terluka dan tak mengijinkannya. (Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun