Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (23)

18 Mei 2020   11:17 Diperbarui: 19 Mei 2020   16:56 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 "Sekedar menguatkan dan memotivasi kalian, terutama buat yang baru gabung.  Saya mengerti ada begitu banyak pertanyaan dan keraguan di hati kalian saat ini. Karena memang misi kita ini adalah misi yang tidak masuk akal dan jika dinilai dari logika hampir dipastikan akan gagal total."Raiva sesaat menegakkan duduknya lalu melanjutkan.

Pertama kali Saya diajak untuk mengerjakan proyek ini oleh Daniel saya tak berbeda dengan kalian. Tak percaya dan menganggap ini tak mungkin, bahkan mengira Daniel adalah sarjana sinting yang kehabisan ide."

"What!? Saya sinting dan habis ide. Ap artinya itu? Kenapa eee kamu tidak membilangnya dahulu sewaktu di Jerman? Das ist zu viel. Das mag ich nicht..." mendadak Daniel berekspresi atas kata sarjana sinting yang baru diucapkan Raiva.

"Also willst du sauer auf mich sein?" Raiva menoleh dengan wajah menantang.

"Oh... Tidak. Makhsud saya eee khalau itu bukhan khamu yang bhilang, saya pasti marah sekali. Silahkan diteruskan bicharanya," Daniel mengelak. 

Raiva oun melanjutkan. "Butuh 2 bulan lamanya  bagi saya untuk berpikir serta melakukan pengkajian mengenai seberapa besar  kemungkinan berhasil atau tidaknya  proyek ini. Dan akhirnya hari saat ini saya duduk disini sebagai leader bersama Daniel dan Rainy. Artinya, saya dulunya bergabung dalam tim karena kontrak, sebelum total atau full heart seperti sekarang."  Raiva berhenti sebentar.

 "Meeeooonggg...!" 

 Suara kucing belang hitam tadi kembali mengusik mereka. Kucing itu kini berada di bawah meja. Raiva lalu membungkukan sedikit tubuhnya, melongok ke bawah meja agar dapat memastikan keberadaan kucing itu. Tatapan matanya beradu dengan kaki berbulu Daniel yang kebetahan bersandar di kakinya sejak tadi. Ia tak menggubrisnya. Sesaat ia bergerak meraih 2 potong pisang goreng di meja lalu memberikannya kepada kucing yang sepertinya sedang kelaparan itu. 

 Setelah urusan beri makan kucing selesai, Raiva kembali melanjutkan. "Bagi banyak orang tentu saja apa yang akan kita lakukan  ini adalah pekerjaan gila. Sebab itu kita berupaya menutupi misi ini agar tak diketahui orang lain terutama public dan pemerintah. Kalau itu terjadi, maka kacaulah misi ini dan... end," ia memiringkan tangannya di leher lalu melakukan gerakan seperti memotong leher tapi dengan tangan.  "sekarang saya duduk disini dengan kalian sebagai salah satu leader dan tentu saja dengan dedikasi kuat untuk menyelesaikan misi ini. Sikap ini yang ingin saya tekankan agar kalian tanamkan lebih dalam di pikiran kalin mulai detik ini. Karena setelah ini kita tak bisa bersikap lain selain mengikuti apa yang ada dan akan terjadi setelah prosesi nanti malam di jembatan. Focus dan kemurnian hati kalian merupakan salah satu syarat utama kita untuk masuk ke Negeri Ventira ini. Kalau ada seorang di antara kita dilanda keraguan, ketakutan atau tidak fokus pada saat prosesi sedang di adakan... itu akan menggagalkan ekspedisi ini...  Jadi sekarang aku mau dengar langsung dari kalian. Maukah kalian memurnikan hati kalian? Jika seandainya ada kesangsian atau tidak bisa fokus, maka sebaiknya mundur dari sekarang. Jadi, apakah kalian bulat niatnya untuk berangkat ke Ventira nanti malam?"  Kalimat-kalimat terakhir yang diutarakan Raiva terdengar tegas dan tak main-main. Tatapannya tajam dan sarat makna. 

 Sekian saat tak ada suara atau sahutan. Bahkan suara celoteh orang-orang di luar atau kesibukkan di warung makan ini nyaris tak terdengar oleh mereka, digantikan oleh detak jam dinding yang ada di sudut ruangan. Raiva lalu mengartikannya sebagai suatu sikap setuju atau paham akan apa yang diungkap dan ditanyakannya tadi. 

 Pak Subhan rupanya merokok juga. Hembusan pertama asap rokoknya sesaat setelah di sulut agak mengganggu Burhan. Ia menepis-nepiskan tangan berupaya menghalau asap itu. Menyadari itu Pak Subhan lalu memutar posisi duduk. Pikirannya mumet oleh pertimbangan keselamatannya. Jika terjadi apa-apa, itu berarti istri dan anak-anaknya akan kehilangan dia, juga sebaliknya. Tapi dengan uang sebanyak 350 juta ia berpikiran bahwa itu akan sangat cukup untuk modal keluarganya ke depan. Bukankah untuk mengumpulkan uang sebanyak itu perlu waktu yang lama? Kalaupun ia dapat mengunpukan lebih banyak dari jumlah yang ditawarkan oleh tim ini dalam kurun waktu 20 tahunan,  uang itu hanya akan habis oleh biaya sehari-hari. Bulatnya, sangat sulit mencari uang sebanyak itu. Hanya saja, apakah istrinya akan mengijinkannya? Dan kalaupun iya, apakah ia benar-benar sudah siap? Siap kehilangan dan tak bertemu dengan keluarganya lagi? Pikiran itu berseliweran di dalam otaknya. Perlahan ketakjubannya akan 350 juta tadi mulai berganti rasa cemas yang kuat. Tanpa sadar matanya panas dan memerah. Wajah murung istri dan anak-anaknya membayang di mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun