Didepannya, waktu terus berlalu, membawa angin malam yang berembus dingin... Â Â Â Menontoni mata redupnya yang mulai kehilangan cahaya... Â Â
Kecuali seraut  wajah bayi mungilnya terus membuat senyum tertahan di bibir manggis yang sarat petualangan...Â
Lalu bayangan pria-pria serakah yang membayar perih lukanya dengan lembaran kertas berbau dosa... Semoga kaum mereka semua positif,,, bisiknya pada lantai trotoar menerima wajah cantiknya yang tergeletak... Â Ia tak perduli...
Di bawah lampu jalan itu... Cahaya semakin hilang dari matanya.... Kaki-kaki, mata-mata dan mulut-mulut diseberang jalan menitikkan air mata... Kasihan,,,ia yang biasa mangkal di persimpangan hidup itu. Jangan mendekat! Bukankah ia masih memiliki seorang bocah? Mengapa tiang lampu besi itu tak menolongnya? Hanya ia yang bisa karna kita semua tidak ber APD, kan?
Lalu suara-suara itu hilang bersama cahaya... Tiang lampu meraung perih. Trenyuh hati ia saksikan manusia terkerangkeng hati dan niat. Setitik cahaya lalu jatuh perlahan ke dalam genggaman perempuan sunyi...Â
Tapi ia tak perduli lagi, karna sudah terlelap dalam limpahan cahaya yang tak pernah berhasil digenggamnya...
@Mdo/DariNegeriSunyi::UntukPerempuanDiBawahLampu@malammubukanmilikmusesungguhnya@FranklinT,CreativeWord/2020@
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H