Mohon tunggu...
Franklin Towoliu
Franklin Towoliu Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pemerhati masalah kehidupan

Melayani Tuhan, menulis, melukis, perupa. Tak ada tempat seluas dan selebar hati kita.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ekspedisi Ventira, Negeri yang Hilang (10)

20 April 2020   21:58 Diperbarui: 30 Mei 2020   08:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Cerita / ilustrasi : Franklin Towoliu

Baim mengangkat bahunya, merinding. "Hiiyyy...! Bikin ngeri aja pak Hapri!"

 "Lho? Kan sudah aku buatkan ini? Koq di bikin lagi pak?" Tanya Eva soal teh hangatnya.

 "Maaf randa, Tapi kata pak Baim saya suruh buatkan teh dan kopi panas," pak Hapri coba membela diri. Matanya tak berani memandang Eva, melainkan diarahkannya ke pinggir  meja makan, seolah sedang memperhatikan sisi meja itu.  

 "Aduuhhh. Itu kan tadi, pak. Abis pak Hapri kelamaan sih. Jadi aku buat sendiri. Maaf ya pak?" seloroh Eva.

 "Biarin aja deh Mpok. Kan kopinya belon ade? Kali aja neng Rainy ame si abang dan none bule cakep nyang baru datang ini pengen ngopi. Ya pak ya?" ujar Baim sambil membungkuk pada Burhan dan Danish. "Lagian yang ini kan ade pisang  gorengnya yang tadi kan kaga. Tul gak neng?" sambung Baim lagi kali ini mengarah ke Rainy.

 "Iye, iye, pria bawel!" Semprot Eva ketus. "BTW, dari tadi koq Pak Hapri manggil aku dengan sebutan Randa terus? Kan nama saya Eva? Itu nama mantan pacar atau mantan istrinya pak Hapri ya" Tanya Eva mencoba mengalihkan pembahasan agar pak Hapri tak merasa terlalu bersalah.

 "Hahahaaa...!!"  Tawa Burhan tiba-tiba memecah suasana. " sebenarnya Randa itu bahasa orang sini. Suku Kaili. Itu artinya sama dengan Nona, atau neng. Cewek lah begitu," ujar Burhan lagi, menjelaskan.

"Oh, seperti itu ya?" Eva kalem. Tangannya meraih pisang goreng yang adanya di depan dia. "Kok hangus...?" Godanya pada Baim.

"Aduhhh mpok! Bawel ah! Dimakan aja napa emang? Seru Baim kesal diledekin.

Mendadak terdengar bunyi derit kursi. Rupanya Rainy barusan berdiri dengan agak spontan.

 "Eh, ngomong-ngomong aku ke dalam dulu sebentar ya, siapa tahu Raiva sudah bangun biar aku ajak ngumpul-ngumpul disini." Ujarnya.  "Mang, silahkan diteruskan ceritanya. Maaf ya gara-gara aku jadi terputus tadi," Rainy beranjak setelah meneguk teh hangatnya langsung tandas secangkir. Ia pun berlalu dengan meninggalkan suara sandal memukul lantai. Bunyi terdengar keras meninggalkan ruang makan namun terus menempek di telinga hingga ia masuk ke kamar tempat dia dan Raiva tidur.  Ia tersenyum kecil. Dalam hati ia sedikit terusik hati melihat ketampanan Burhan barusan. Jika diingat-ingat sudah lama juga  ia tak pernah serius memperhatikan wajah seorang lelaki. Ia memang sedang malas memendam rasa terhadap lelaki manapun atau siapapun. Soalnya ia sudah janji untuk tidak tergoda pria sebelum Elizabeth adiknya tuntas menyelesaikan kuliah,  Batinnya. 

Waktu memang telah membentuk Rainy menjadi seorang wanita yang kokoh dan  tak mudah luruh hati hanya oleh ketampanan seorang pria. Bahkan ia punya prinsip untuk tidak gampang percaya pada pria berwajah tampan. Ia tak ingin bernasib sama seperti kebanyakan wanita. Mereka  menjadi korban emosi dan keinginan sepihak seorang lelaki yang belum teruji kemurnian cintanya. Keinginan mereka lebih besar daripada logika. Gampang terpikat, gampang jatuh cinta dan gampang dipermainkan. Sebab itu,  tidak sampai mengalami tekanan apalagi patah hati sewaktu hubungannya dengan Marcel Adrianus Sutopo, pengusaha muda, sukses, mapan dan pemelik sebuah wajah coverboy yang digilai bayak wanita.  Marcel adalah tipe orang yang ingin segala keinginnya terpenuhi dengan cepat. Namun selama dua tahun ia berusaha menekan perasaannya itu. Tapi sayang, justru pada saat Rainy mulai percaya dan berharap bahwa Marcel kelak adalah pria yang tepat untuknya, malah kebablasan dan ngotot meminta Rainy mengikuti kemauannya. Yang membuat Rainy perlahan mulai menyukai Marcel adalah karena  Ia ramah, sopan dan tak pernah menjurus kepada nafsu yang bersifat seksual selama dua tahun lebih mereka menjalin hubungan. Tapi rupanya, Marcel yang juga adalah lelaki normal tak bisa lagi bertahan sesuai permintaan Rainy. Ia ingin segera memiliki Rainy seutuhnya. Ia mulai mengutarakan keinginannya untuk segera menikahi Rainy. Awalnya itu permohonan biasa dan tulus dari seorang kekasih. Namun semakin diminta pengertiannya oleh Rainy, semakin ia mendesak Rainy. Sepertinya sifat dan strategi serta petualangan suksesnya sebagai seorang pebisnis handal mulai terbawa dalam hubungannya dengan Rainy.  Dalam semua bisnisnya Marcel memiliki motto; Melihat, menginginkan, merencanakan, memiliki lalu menguasai. Jelas-jelas itu terlalu keliru jika terbawa dalam hal percintaan. Ia tak sabar lagi menunggu Rainy yang terus meminta waktu dan kesabarannya selama beberapa tahun kedepan agar ia dapat berbakti dulu bagi orang tua dan adiknya yang masih SMA. Ia ingin Rainy berhenti berlelah dan berjuang untuk keluarga. Bukankah ia punya  harta yang banyak dan sangat cukup dipakai Rainy buat biaya sekolah Raisa serta biaya masa tua orang tua Rainy? Seperti itu pola pikir Marcel. Selam dua tahun pacaran Marcel tak pernah mengenal Rainy dengan baik. Ia tak pernah mau berusaha lebih keras lagi menerobos masuk lebih dalam lagi pada satu bagian sisi hati Rainy. Sebut saja satu bagian hati yang dalam itu kehormatan untuk dipandang berarti.  Ini suatu sikap yang jarang dimiliki oleh kebanyakan wanita dan  yang selama ini menuntun Rainy untuk terus bergerak dalam suatu keadaan yang namanya proses. Baginya proses hidup yang penuh perjuangan, pengorbanan, keuletan bahkan air mata akan dapat membuat ia merasakan dan memberikan ia arti kehidupan sejati. Ia tak ingin kepribadiannya terjebak pada kemapanan semu bernama kekayaan materi. Dan ia akhirnya paham,  Marcel telah dibutakan oleh kehidupan mapannya. Ia telah menganggap hidupnya selesai dan tak ada perjuangan lagi. Suatu waktu,  setelah selesai makan malam dengan papa, mama dan Raisa, pada kunjungan terakhir Marcel, Rainy menolak tegas keinginan Marcel. "Cinta bukan alasan yang kuat untuk memulai kematian dari suatu kehidupan yang sebenarnya, Celz," ucap Rainy lirih di teras depan rumahnya. 

Tak ada yang salah sengan maksud Marcel. Hanya tanpa sadar -dengan kemapanannya- ia ingin membeli apa yang disebut proses hidup oleh Rainy.  Ia benar-benar salah dan keliru  di mata Rainy. Karena lelaki sebelum dia yang pernah hadir dalam hidup Rainy,  semuanya seperti itu. Ingin Menghentikan Rainy dari kehidupanya.  Mereka adalah pria-pria mapan yang salah menilai sebuah kemurnian, demikian pikir Rainy pada Raiva suatu ketika. Salah menilai harga sebuah permata yang terongok diam dalam realita kehidupan masa kini yang melulu hedonis dan materialistis. Pada saat itulah, rasa suka Rainy pada Marcel yang sesungguhnya mulai mekar dan mulai menumbuhkan kuncup cinta akhirnya layu seketika. Kekecewaan sedikit mendera hatinya sebelum akhirnya ia bangkit dengan oprimis dan menyadari bahwa Marcel tidak sungguh-sungguh mencintainya.

                                          ***

 Sepeninggal Rainy ke kamar, ruang makan kembali lengang. Suara keras baim yang khas tak lagi terdengar. Semua perlahan terpaku pada Didin yang mulai mengisahkan kembali pengalamannya terdampar pada negeri Ventira empat tahun silam.  Baim dan Eva sebenarnya sudah pernah mendengar kisah mendebarkan itu. Tetapi tetap saja cerita itu sangat tertarik untuk di dengar kembali, apalagi oleh orang yang benar-benar mengalaminnya.

 Didin memindahkan gelas kopinya agak ke dalam di atas meja. Ia khawatir jangan sampai rokonya kembali tercelup ke dalam gelas. Burhan dan Danish yang memperhatikan tak urung tersenyum kecil  walau mereka sebenarnya sudah mulai serius untuk melanjutkan penuturan Didin selanjutnya.

 "Saat itu saya sudah tak tahu itu sudah jam berapa," lanjut Didin.

 "Setelah sekian lama saya hanya berdiri terpaku sambil terus mengedarkan pandangan ke kiri kanan akhirnya saya memberanikan diri bergerak.  Selangkah dua langkah kecil saya mulai bergeser ke arah depan. Dimana didepan saya  ada sebuah jalur panjang seperti jalan. Jalan itu begitu rapih dan nyaris sama pinggirannya dengan jalan-jalan di dekat rumah saya di Bandung."

 "Apakah jalan itu terbuat dari aspal atau dari beton begitu?" Tanya Burhan.

 "saya belum bisa memastikan. Karena saya juga belum berpikir bahwa saya ada di dunia nyata atau dimana. Bahkan perasaan saya mengatakan saya telah mati di alam setelah mati untuk selanjutnya dibawa ke neraka atau ke surga."

 Ruang makan kembali mencekam. Desir angin dari jendela ruang makan yang langsung berhadapan dengan pepohonan semakin kuat terdorong ke dalam. Bunga tulip plastic yang agak tebal ditengah meja makan pun tak urung bergoyang.  

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun