Mohon tunggu...
Muhammad Farhan Hamami
Muhammad Farhan Hamami Mohon Tunggu... -

Sedang mencoba untuk belajar menulis, menemukan kembali gairah menulis yang pernah hilang..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kapan-kapan Dibungkus Kain Kafan

15 Juli 2010   00:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"We're born, we live, and, when our time comes, we die." (Charlotte's Web) Beberapa bulan yang lalu di dalam bus kota yang penuh sesak, sekelompok pengamen jalanan mendendangkan syair-syair tentang hakikat hidup dan mati; Bahwa hidup di dunia hanyalah persinggahan sesaat untuk mengumpulkan bekal sebanyak-banyaknya sebelum suatu saat kendaraan bernama kemataian akan menjemput dan menghantarkan ke kehidupan lain, dan kita tidak pernah tahu kapan kematian itu akan datang. Yang harusnya dilakukan adalah membekali diri dengan amal kebaikan, jangan menunda-nunda dengan berkata "kapan-kapan" karena kapan-kapan pun kita akan dibungkus kain kafan. Pintu hati saya terketuk, dan layaknya ketika pintu rumah saya diketuk seorang pengamen atau peminta-minta, saya pun enggan mempersilahkan kata-kata pengamen tersebut untuk masuk ke dalam ruang hati untuk saya renungkan. Beberapa hari lalu saya menonton sebuah film tentang seekor laba-laba yang bersahabat dengan seekor babi. Charlotte's Web. Yang menarik adalah kata-kata yang diucapkan Charlotte si laba-laba ketika menghadapi maut, yang saya kutip di awal. "We're born, we live, and, when our time comes, we die." Saya tertegun, memutar ulang kata-kata tersebut dan menghentikannya. Lahir, hidup, dan jika saatnya tiba, mati. Kapan? Tidak ada yang tahu. Pagi ini saya mendengar ungkapan bahwa orang yang pintar adalah orang yang selalu mempersiapkan diri untuk menghadapi kematiannya. Saya telah singgah di dunia selama 25 tahun, dan selama itu pula saya tidak mempersiapkan diri untuk kematian. Saya terlalu menikmati persinggahan saya di dunia. "Hidup kan cuma sekali, pakai buat senang-senang dong." itulah yang salama ini saya pikirkan dan lakukan. Saya telah sering kali mengeluh ketika saya dengan "terpaksa" atau lebih tepatnya "dipaksa" menjalankan ibadah. Sehingga ibadah hanyalah sebatas formalitas, mengikuti kegiatan siraman rohani pun menjadi ajang cari muka karena siraman yang diberikan ternyata tidak mampu membasahi rohani saya yang water proof, mendengarkan khotbah pun hanya menjadi tempat angguk-angguk - geleng-geleng, hampir tidak ada bedanya mendengarkan khotbah dengan mendengarkan musik di night club. Teman saya pernah berkata, "Seandainya saya bisa hidup di dunia dua kali, maka hidup yang pertama akan saya gunakan untuk bersenang-senang dan hidup yang kedua baru akan saya gunakan untuk beribadah. Tapi hidup di dunia hanya sekali, dan justru karena hidup hanya sekali jadi manfaatkanlah untuk beribadah." Sampai detik ini kehidupan dunia saya cukup bahkan sangat menyenangkan (Terimakasih, Tuhan), tapi jika detik berikutnya saya mati, maka hanya sebatas inilah kesenangan yang dapat saya nikmati karena saya tidak memiliki bekal apapun untuk menikmati kehidupan setelah kematian saya. Saya tidak ingin berlama-lama menyesali setiap detik kehidupan saya, karena menyesal pun tidak akan menghasilkan apa-apa. Sekarang yang ingin saya lakukan adalah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menghadapi saat kematian saya sembari berharap kesalahan-kesalahan saya dapat diampuni. Kita lahir, hidup, dan jika saatnya tiba, mati. Kapan? Tidak ada yang tahu, yang pasti cepat atau lambat saat itu akan datang, dan kita akan dibungkus kain kafan. --- Sumber gambar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun