Pengantar
Kemajuan teknologi dan informasi tidak dapat dielakkan dalam kehidupan khalayak kekinian. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi ini menandai perubahan peradaban manusia yang semakin cepat dalam mengakses informasi dan membangun ruang komunikasi "imajiner" sekali pun. Bentuk dari kecanggihan teknologi dan informasi sangat variatif dan menuntut manusia untuk ikut-andil dalam "genggaman" media yang tak terbatas.
Seperti mata uang logam, kemajuan teknologi dan informasi terdapat dua sisi. Ada pun dua sisi teknologi dan informasi tersebut yang dapat ditinjau dari dua aspek, yakni kemanfaatan dan kemudaratan. Dikatakan aspek kemanfaatan berarti teknologi dan informasi mampu memberikan kebaikan dan keuntungan tertentu bagi khalayak. Sementara itu, teknologi dan informasi ternyata juga tidak bisa lepas dari aspek kemudaratan yang berarti mampu berpotensi memberikan keburukan dan kerugian.
Berdasar pada kedua aspek teknologi dan informasi tersebut, membuat pengguna teknologi dan informasi---disebut media---harus memiliki kapabilitas dalam menghadapi "gempuran" informasi yang seolah terbit secepat kedipan mata. Konten informasi yang variatif, gaya penggunaan media yang tak terbatas, dan penguasaan bahasa dapat menjadi faktor indikasi sejauh apa manusia mampu mengambil peran media secara positif.
Tentu kehadiran revolusi teknologi dan informasi yang menjagat ini, kita berharap kepada kecenderungan kemanfaatannya kepada manusia. Terutama untuk pelajar tingkat dasar dan menengah. Mengapa terkhusus pelajar tingkat dasar dan menengah? Sebab, mereka adalah generasi penerus pembangunan bangsa yang paling diharapkan memutus mata rantai perselisihan dan kebencian yang saat ini gencar dibangun melalui media. Lalu langkah apa yang dapat guru ajarkan agar memiliki kemantapan menangkal hoax? Memahamkan pelajar terhadap efek berita secara berimbang? Dan terlebih bagaimana mengenalkan pola model literasi kebhinekaan sebagai simulasi bijak dengan media?
Jika kita mau melihat secara bijak, berita soal kasus Kelompok Saracen yang sempat ramai diberitakan sebagai provokator kebencian berunsur SARA (Suku, Agama, dan Ras) (lihat news.liputan6.com) sangat meresahkan. Ada pula, kasus yang menimpa Jonru Ginting sebagai tersangka kasus hate speech. Dia dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan ancaman maksimal hukuman 6 tahun penjara.
Ada pula kasus hate speech terkini yang menjerat Aisha Safira, dan Bintang Abadi Siregar (lihat, www.muslimoderat.net/2017/11). Mereka yang notabeneadalah mahasiswa perguruan tinggi kenamaan yang aktif dan terpelajar justru terjerumus kasus hoax dan penebar kebencian. Betapa lemahnya kemampuan analisis baca dan kritisisasi serta budaya diskusi yang mereka miliki. Informasi yang sepotong-sepotong tanpa berupaya mengeroscek ulang dan mencari situs lain membuat mereka silap dan asal berkomentar. Padahal saat itu sedang hangat-hangatnya informasi tentang pembatalan pengajian oleh Ustad Felix Siauw. Sungguh ini generasi pelajar yang belum sukses dalam pencairannya terhadap pengetahuan secara bijak dan sujana. Memperihatinkan.
Sungguh tidak bisa dibayangkan, jika pesatnya media dimanfaatkan sebagai sarana perselisihan, menebar kebencian, menghasut dengan menebar berita fitnah, bahkan mengakomodasi suatu kelompok berbuat onar. Kemajuan media informasi bukan sekadar memanjakan khalayak dalam mengakses kabar teraktual yang dapat dijadikan pijakan keputusan, hiburan dan inspirasi, wawasan dan pengetahuan, serta referensi pembelajaran, melainkan menjadi sesuatu yang memperihatinkan yakni, hoax. Apa itu hoax? Ya, kabar palsu.
Istilah yang lumrah dalam jurnalistik ini menjadi momok media informasi terkini. Bagaimana tidak, hakikat jurnalisme yang luhur dan diusung oleh etika dan kemanfaatan kemajuan teknologi seharusnya memberikan pencerahan kepada pembaca. Namun, hal ini dapat berbalik menjadi bom waktu yang dapat merugikan orang banyak yang sebenarnya barangkali tidak berkepentingan.
Betapa kejamnya hoax di masa kini jika dibiarkan merasuk tanpa langkah proaktif khalayak secara masif dalam mencegah dampaknya. Benar, jika hoax tidak dapat ditolak, atau bahkan dilenyapkan dari peradaban jurnalisme, tetapi paling tidak kita dapat mengumpamakan bahwa hoax adalah fakta yang tertunda. Artinya, kita tidak "sadis" melesapkan hoax dalam rentetan informasi, tetapi perlu menganalisisnya, mengkritisi, mendiskusikan, menulis ulang hasil diskusi, lalu---tersenyum simpul---menyebarkan kebenaran informasi.
Ragam informasi berupa hoax yang---mungkin---disengaja tersebar juga variatif dengan berbagai konten. Motif penyebaran hoax oleh oknum tertentu pun sangat cerdik dalam memperburuk citra persona, peristiwa, atau pun institusi. Bangun bahasa berita hoax sengaja dibentuk sangat provokatif dan mencolok serta penuh dengan propaganda. Hoax dalam media informasi tidak hanya berupa tulisan, bisa pula berwujud gambar/foto, atau video. Kemutakhiran teknologi semakin membabi buta dalam bayang layar dan sangat mengkhawatirkan. Sebut saja media yang rentan terhadap penyalahgunaan fungsi sebagai hoax seperti, facebook, twitter, instagram, whats app, line, google plus dan lain-lain. Bukan media sosial tersebut yang bermasalah, melainkan penggunanya yang menempatkan media tersebut ke dalam fungsi yang salah sasaran.