Mohon tunggu...
Achmad Faizal
Achmad Faizal Mohon Tunggu... Guru - Pengajar di MA Unggulan Nuris dan Ma'had Aly Nurul Islam Jember

pendidik yang masih terus belajar, memahami, bertindak semampu hati, akal, dan tenaga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Model Literasi Kebhinekaan, Langkah Proaktif Berantas Hoaks bagi Pelajar

10 November 2017   23:18 Diperbarui: 10 November 2017   23:22 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemudahan penggunaan dan kecanggihan media dengan satu genggaman. Akses luas dan seolah tidak terbatas oleh ruang dan waktu dengan sentuhan jemari, bukti betapa sebaran informasi sangat cepat. Tanpa tebang pilih, siapa pun dapat mengetahui dengan segera informasi hanya dalam hitungan detik. Namun, sayang kecepatan informasi yang "mengilat" tanpa diimbangi dengan daya tahan pemikiran yang kontekstual dan tekstual secara berimbang. Sepertinya, kemajuan dunia informasi yang terlanjur mengglobal ini tidak diiringi dengan kesiapan khalayak terhadap sisi negatif yang memungkinkan terjadi.

Budaya Model Literasi Kebhinakaan di Kalangan Pelajar

Berdasarkan penggalan peristiwa tersebut, sudah saatnya pengguna media berpegangan tangan dengan tekad yang sama yakni, "Katakan tidak untuk hoax". Redam hoax dengan semboyan, "Kita tidak sama, kita bekerja sama". Hal ini sebagai motivasi mendasar bahwa kita mencintai sesama kita dengan cara tidak menebarkan berita apa pun sebelum memastikan kesahihan data, sumber informasi, atau pun terjun langsung dalam momen yang mungkin kita anggap perlu untuk dinetralisasi.

Jika bangsa Indonesia sudah memperoleh predikat miris dalam hal kemampuan literasi, yakni peringkat kedua dari bawah, survei versi Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2015, kali ini tentu tidak. Terbukti, pengguna media informasi yang semakin mahir memanfaatkan kecanggihan teknologi semakin rajin membaca. Meski hal tersebut, sekadar membaca status, bukan begitu? Tetapi paling tidak, kita sudah berupaya "keras" untuk tetap eksis dengan rutin membaca melalui media maya tersebut.

Yang justru perlu kita benahi adalah kedewasaan dalam membaca. Itu yang penting. Membaca dengan berasaskan kepada heterogenisme kehidupan. Melalui unsur multidimensi yang menghantarkan kita kepada karsa berbatas, cipta terbuka, dan rasa terasah. Sesuai dengan kondisi keindonesiaan yang multikulturalisme. Hali ini, sehingga perlu model literasi kebhinekaan untuk menciptakan suasana informasi yang dinamis, sensitivitas terkontrol, dan kekayaan pengalaman.

Untuk membentuk model literasi kebhinekaan ini tidak serta-merta dapat terealisasi, khususnya di lingkungan pelajar. Metode yang perlu diterapkan dalam menstimulasi model literasi kebhinekaan tersebut adalah dengan melaksanakan rumusan 4 R. Hal ini seperti yang telah dilakukan penulis terhadap siswa di kelas sebagai sample (dipilih secara random). Dengan membentuk kelompok, pelajaran Bahasa Indonesia setiap pembelajaran berbasis teks dan kontekstual terhadap kasus. Contoh teks yang dianalisis adalah materi Teks Cerita Sejarah dan Teks Berita.

Pelaksanaan 4 R ini adalah pembiasaan siswa terhadap bacaan yang mereka hadapi dengan segala jenis sumber. Penulis menyebut istilah lainnya, 4 R adalah langkah membaca cerdas. Sebab, jika hanya membaca untuk dipengaruhi isi bacaan berarti kita menanamkan diri kita sebagai "kerbau". Hakikatnya membaca adalah menambah pengetahuan dan kebijaksanaan melalui hikmah dan telaah terinterpretasikan dalam realitas pembaca. Artinya, kita membaca tetapi juga terlibat dalam keputusan bukan malah larut dalam hegemoni bacaan.

Adapun definisi 4 R tersebut, yang pertama, Reading Analytically atau membaca analisis. Artinya, pengguna media informasi yang budiman harus menganalisis pokok pembahasan melalui berbagai kriteria misalnya, sumber informasi/data, penulis/penerbit, pengalaman/pengetahuan pembaca dan lain indikatornya. Kedua,

Reading Critically (membaca kritis), maksudnya ketika membaca pikiran kita bukan untuk didoktrin, tetapi mempertajam daya tangkap dan penalaran pengetahuan kita. Kita berhak mempercayai atau malah memperdayai isi bacaan tersebut.

Poin ketiga dari 4 R adalah Rewrite The Result of Conclusion, atau yang bermakna menyimpulkan ulang hasil bacaan. Setelah kita menganalisis, mengkritisi bacaan, kita dapat menyimpulkan teks dan kontekstual pokok bacaan secara berimbang dengan berbagai pertimbangan. Kita berupaya mengadili bacaan dengan tegas dan cermat sehingga terangkum isi yang akurat dan tepat. Terakhir yakni, Recapture The Reading atau secara istilah bermakna mendiskusikan hasil simpulan bacaan. 

Budaya diskusi seperti yang telah dilakukan cendikiawan terdahulu (sebelum era media dan digital, sebelum abad X) tak pernah ada matinya untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Melalui diskusi, pemikiran hasil bacaan tidak akan menjadi milik pribadi karena telah melalui silang-pendapat dan kesepakatan. Keputusan diskusi juga telah dimatangkan dengan pertimbangan guru atau Pembina yang biasanya hadir sebagai penengah diskusi. Intinya membaca dan belajar wajib ada gurunya sebelum menyampaikan kepada orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun