Dengan langkah proaktif dalam menimbang bacaan melalui model literasi kebhinekaan  ini diharapkan mampu mengikis sentimental SARA secara preventif dan solutif. Pelajar tingkat dasar dan menengah terbiasa dengan membaca secara rapih dan cerdas membuat mereka mampu menangkal hoax secara selektif. Hoax bukan lagi menjadi momok,melainkan sebagai sarana diskusi dalam memahami motif dan menyeimbangkan informasi yang kita sebarkan. Hoax tidak lagi menjadi fakta yang tertunda, tetapi pelajaran yang terang-benderang ujungnya.
Dengan langkah-langkah di atas, semoga mampu membentuk pelajar dengan pribadi yang cermat. Membaca bukan lagi asal ngikut, seperti yang telah dialami teman saya (akibat membaca History of God, Karen Amstrong) menjadi atheis tiba-tiba. Menghujat Tuhan, nyinyirdengan teman sekeliling yang beribadah, bahkan menyumpah agama. Ekstrem bukan. Akan tetapi, berkat ngopi (diskusi ala mahasiswa) dan ajaran 4 R di atas, cukup ampuh menyadarkan kelemahan cara baca dan rekonstruksi hasil bacaannya. Jadi, jangan memulai hoax dalam diri apalagi menyebarkan ke orang lain sebelum kita benar-benar cerdas dalam membaca.
Akhirnya, semoga bangsa Indonesia tidak lagi memunculkan Saracen, atau Jonru Ginting anyar. Bahkan sosok Aisha Safira dan Bintang Abadi Siregar yang memperihatinkan. Cukup mereka yang menjadi kaum terpelajar yang sesat sesaat ini. Melalui model literasi kebhinekaan dan stimulus 4 R, mari kita wujudkan generasi bangsa proaktif yang berperan dalam menunggangi informasi ke dalam motivasi positif. Semoga.
    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H