Dari lereng Gunung Slamet yang dibalut dingin, semalam aku mencoba mengarahkan pandanganku ke bawah. Ada kerlap-kerlip lampu warna-warni di kota Purwokerto yang sedang berpesta menyambut tahun 2010. Sama seperti kota lain, Purwokerto pun tidak mau ketinggalan untuk berpesta. Tetapi, aku tak ingin berada di keramaian pesta yang acapkali menerbitkan tanya : apa yang mereka sambut, dan apa yang mereka lepas ? Sungguh, pertanyaan ini tidak hanya muncul kali ini saja, melainkan selalu datang kepadaku hampir setiap saat, terutama ketika ada peristiwa-peristiwa istimewa seperti tahun baru atau hari ulangtahun.
Isteri dan anak-anakku selalu memberikan hadiah di hari ulangtahunku, walaupun hanya sekedar jabat tangan, cium tangan dan cium pipi, lalu bersama-sama menikmati hidangan mendoan anget, sambel kecap atau cabe rawit -yang ditempatku disebut cengis-. Itu sudah luarbiasa, karena aku merasa mendapatkan yang luarbiasa, yaitu cinta dan kasih sayang dari isteri dan anak-anak.
Sahabat-sahabatku juga yang sering kali menyelenggarakan "pesta" untukku di hari ulangtahun. Mereka datang membawa kue ulangtahun berhias warna-warni dan lilin yang dinyalakan. Aku berkewajiban meniup lilin itu, karena sahabat-sahabatku memerintahkannya : tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Mereka bertepuk tangan, lalu kue pun dipotong dan dibagi rame-rame. Itu sudah sangat istimewa, karena aku merasa mendapatkan berkah persahabatan dari hidup yang dianugerahkan Tuhan kepadaku.
Alhamdulillah. Puji Tuhan.
Biasanya, sahabat-sahabatku meminta supaya aku menyampaikan sesuatu, karena ini hari istimewa, kata mereka. Dan tentu saja, aku tidak mungkin menolak, sehingga meskipun dengan suara yang terbata-bata aku pun berbicara menyampaikan sesuatu yang aku rasakan saat itu. Aku tidak pernah mengatakan sesuatu yang tidak pernah aku alami atau aku rasakan. Aku merasa lebih baik aku berkata jujur menyampaikan apa yang aku alami dan aku rasakan dalam perjalanan hidupku. Aku tidak ingin mengatakan sesuatu dari hasil aku mendengar kata-kata orang lain, atau dari hasil membaca tulisan orang lain, karena aku tidak pernah tahu, pesan sejati apa yang mereka katakan atau yang mereka tuliskan.
Malam menjelang tibanya tahun 2010 ini pun, alhamdulillah, aku kedatangan banyak tamu di rumahku yang sempit di desa kecil di lereng Gunung Slamet ini. Sebenarnya aku sudah hampir tidur, tetapi isteriku memberitahu ada tamu, dan tentu aku harus menyambut mereka dengan suka hati. Tamu selalu aku lihat sebagai rejeki yang dikirimkan Tuhan kepadaku, dan aku akan menyambut mereka dengan cara yang istimewa, menyuguhkan apa yang aku punya. Jika hanya sekedar air putih pun aku suguhkan dengan bangga, karena air putih itu adalah karunia Tuhan juga. Mengapa harus malu menyajikan sesuatu yang diberikan Tuhan kepada kita ?
" Kami ingin menyambut datangnya tahun 2010 di sini," kata salah seorang dari tamu-tamuku. " Maka, kami sengaja datang sudah lewat jam sepuluh malam, supaya nanti pas pergantian tahun, kita bersama dapat melakukan renungan di sini."
Lalu, kami pun ngobrol ke sana ke mari. Obrolan ringan atau guyon maton dalam bahasa lokalku. Artinya meskipun bercanda, tapi ada benang merahnya, ada pesan yang dapat jadi renungan. Tentu saja bagi yang mau merenung. Mengapa aku berkata begitu ? Karena memang sekarang ini ada kecenderungan orang enggan untuk merenung, tafakur, melakukan refleksi diri. Mungkin memang hidup di jaman ini mengharuskan orang terus menerus bergegas bergerak berlomba tiada henti, sehingga tidak ada lagi terminal yang nyaman untuk sekedar melepas lelah. Rumah pun nyaris berubah menjadi sekedar penginapan yang orang-orangnya lalu lalang, datang dan pergi dalam ketergesaan urusan masing-masing.
Hidup menjadi sangat serius dan berat karena sarat beban dan sarat harapan. Itu yang aku katakan ketika jarum jam sudah melewati tengah malam, yang berarti, tahun 2010 sudah tiba, dan tahun 2009 sudah kita tinggalkan. Tahun 2010 yang kita sambut sudah datang, tahun 2009 yang kita lepas sudah pergi. Dan, karena sahabat-sahabatku meminta supaya aku mengisi renungan, maka aku pun memulainya dengan pertanyaan sebenarnya apa yang kita sambut dan apa yang kita lepas sih ?
Wahai sahabatku, coba perhatikan, apa yang beda sekarang ini dengan dua-tiga menit sebelum jam duabelas malam tadi ? Kita tetap berada di sini. Cat rumah ini masih cat yang sama. Pigura yang berisi gambar dan foto yang tergantung di dinding, juga masih pigura yang tadi. Kursi yang kita duduki juga masih kursi yang tadi. Semuanya masih sama. Tidak ada yang berubah. Jadi, sebenarnya kita ini baru menyambut apa dan melepas apa ? Padahal tadi kita bersama-sama melantunkan Auld Lang Syne kan ? Lagu ini seakan-akan menjadi lagu wajib pada saat kita menyambut tahun baru dan melepas tahun lama.
Padahal, cobalah kita renungkan, apanya yang baru, dan mana yang lama ? Jika kita mengatakan ini motor baruku, nanti akan ada orang yang bertanya, lha mana motormu yang lama ? Kita bisa menunjukkan yang baru, dan menunjukkan pula yang lama. Tetapi tahun ? Waktu ? Atau sesuatu yang terus berjalan di alur yang sama, dapatkah kita menunjukkan mana yang lama dan mana yang baru. Rasanya, wahai sahabatku, kita benar-benar perlu merenungkan hal ini, walaupun hanya sebentar, dan kemudian dilupakan lagi. Apalagi jika kita selalu didera oleh kesibukan berangkat pagi - pulang petang, atau sebaliknya ada juga yang berangkat petang - pulang pagi. Alias menjadi pengurus BP3, terus didera oleh kesibukan tiada henti. Renungan yang sebentar ini akan segera dilupakan. Dan itu sifat manusia, mudah melupakan sesuatu yang penting untuk sesuatu yang belum jelas.