Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Islam Itu Kondisi Spiritual

12 Desember 2009   22:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:58 1480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Firman Allah :

“ Dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia seorang yang berbuat baik, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali Allah yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala sesuatu.” ( QS 31 : 22 ).

Dalam ayat tersebut, Allah menyebut tiga hal, yaitu : (1) yuslim atau menyerahkan diri kepada Allah, (2) muhsin atau berbuat baik, dan (3) istamsaka bil’urwatil wusqo atau berpegang pada buhul tali yang kokoh.

Mari kita coba menyelisik tiga hal tersebut.

Pertama, Allah menyebut “wa man-yuslim wajhahu ilallohi” – dan barangsiapa menyerahkan dirinya kepada Allah – sebagai pembuka ayat ini mengajak kita untuk mencari pemahaman dan pengertian tentang yuslim, muslim dan islam. Kata yuslim yang oleh para mufassir diterjemahkan menjadi menyerahkan diri, secara kebahasaan mengandung pengertian proses, dan orang yang menjalani proses itu disebut muslim yakni orang yang pasrah total kepada Allah, sehingga dia disebut sebagai orang islam, yakni orang yang telah selamat berada dalam haribaan Allah. Sehingga sekarang kita mendapat pengertian bahwa islam bukanlah nama agama, melainkan sebuah kondisi spiritual seseorang yang telah mengalami proses penyerahan diri secara total kepada Allah.

Maka, untuk menjadi islam, seseorang harus mengalami sebuah proses, yaitu (a) mengenali diri sendiri, sadar bahwa dirinya adalah mahluk ciptaan Allah yang terdiri dari unsur jasad dan unsur roh. Diri sejati manusia itu adalah unsur roh yang berasal dari tiupan Sang Maha Roh, yaitu Allah SWT. (b) Mengenali siapa Tuhannya, yaitu Sang Maha Pencipta, atau al-Khaliq, sehingga akhirnya dia (c) yuslim, menyerahkan dirinya kepada Allah. Jadi di sini ada dua pihak, yaitu pihak mahluk (manusia) yang secara aktif menyerahkan diri dan pihak Khaliq (Tuhan/Allah) yang secara aktif menerima penyerahan diri mahlukNya. Proses ini harus terjadi pada seseorang yang ingin menjadi islam, atau orang yang telah selamat berada dalam haribaan Allah.

Tahulah kita sekarang bahwa Islam itu bukan sekedar pengakuan, melainkan sebuah proses yang didahului dengan transaksi jual beli antara yang menyerahkan dirinya (mahluk/manusia) dan yang menerima penyerahan diri (khaliq/Tuhan/Allah). Barangsiapa belum menjalani proses ini, maka dia baru mengaku sebagai islam tetapi belum diakui keislamannya oleh Allah.

Kedua, Allah melanjutkan “wa huwa muhsin” – dan dia orang yang berbuat baik – sebagai sebuah pernyataan spesifik dari Allah sesudah terjadinya "transaksi jual beli" antara dirinya dengan Allah. Orang yang berbuat baik, adalah dia yang telah mengetahui sejatinya amal saleh dan selalu mengerjakan amal saleh. Artinya, dia selalu berkomunikasi dengan Allah, secara lahiriah dia melaksanakan syariat Allah, dan secara rohaniah dia dapat merasakan hakikat kehadiran Allah ketika ia melaksanakan syariat.

Haruslah diingat bahwa Allah menciptakan segala sesuatu berpasangan. Pasangan syariat adalah hakikat. Buya Hamka menyatakan : syariat tanpa hakekat adalah bangkai tak bernyawa, hakikat tanpa syariat adalah roh tak berjasad. Maka, tidak bisa tidak, keduanya harus menjadi perilaku bagi para muhsinin, orang-orang yang gemar berbuat baik.

Ketiga, Allah melanjutkan “faqodistamsaka bil’urwatil wusqo” – maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh – dalam perjalanan hidupnya. Buhul tali yang kokoh itulah yang disebut aqidah. Kata aqidah, mempunyai akar kata aqad, yang sering digunakan untuk menggambarkan peristiwa aqad-nikah, yakni perjanjian yang kuat, atau tali ikatan yang kuat antara dua pihak. Tali yang harus selalu dipegang teguh, tidak boleh dilepaskan barang sedetik pun.

Dari ayat yang singkat ini, kita diberitahu oleh Allah tentang hal yang amat besar dan penting, bahkan hal yang paling fundamental dalam hidup kita. Bahwa ternyata, islam itu bukan sekedar pengakuan, melainkan harus melalui sebuah proses yang membutuhkan aktivitas pencarian dan penyerahan diri. Bahwa ternyata, perbuatan baik itu hanya mungkin dilakukan oleh orang-orang yang sudah benar-benar pasrah total pada Allah, dan bahwa buhul tali yang kokoh itu hanya mungkin dipegang teguh oleh orang-orang yang sudah mendapatkan pencerahan islam dan ihsan.

Wallohua’lam.[*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun