Adam masih tersenyum. Barangkali dia melihat wajahku tampak lucu ketika menunggu jawabanya. Orang-orang dekatku sering menyindir aku dengan kata-kata bayem, untuk memerintahkan aku supaya menutup mulut yang seringkali melongo ketika mendengarkan pembicaraan orang.
” Karena Tuhan telah meniupkan RuhNya kepadaku, maka Dia memerintahkan Malaikat supaya menghormati aku” sahut Adam. ” Itu yang menyebabkan aku jadi mulia. Ada roh Tuhan di dalam diriku.”
” Tetapi karena kamu melalaikan larangan Tuhan, maka kemuliaan itu diambil kembali oleh Tuhan, dan kamu harus menjalani kehidupan di dunia ?” tanyaku.
Adam – sekali lagi – tersenyum. Agaknya ia sudah mulai kembali mencium adanya pertanyaan bodoh yang meluncur dari mulutku.
” Sama sekali tidak,” katanya masih sambil tersenyum. ” Aku sekedar menjalani takdirku saja. Lagi pula, Tuhan menciptakan aku memang untuk tinggal di bumi. Dia sendiri yang menyatakan kepada para Malaikat, Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi (QS 2:30). Artinya memang takdirku adalah tinggal di bumi.”
” Bukan di sorga ?”
” Sorga lagi ... sorga lagi ...” Adam menyindirku. Aku cuma meringis. Malu pada pertanyaan bodoh itu.
” Tuhan sudah menciptakan semuanya, langit, bumi, matahari, bulan, bintang, tetumbuhan, binatang dan segalanya. Semua ciptaanNya menjalani takdirnya sendiri dan harus berada di tempat yang telah ditakdirkan, menjalankan pekerjaan yang sudah ditakdirkan tanpa melakukan protes. Tetaplah berada di dalam takdir itu, dan kerjakanlah bagian yang memang menjadi pekerjaanmu. Jangan melebihi dan jangan mengurangi. Jika melebihi, artinya kamu telah memasuki wilayah yang bukan wilayahmu”.
Aku merasa pening mendengarkan kata-kata Adam yang terakhir ini. Maka aku coba untuk menghilangkan rasa pening itu dengan memijat-mijat keningku.
” Kenapa kamu, Nak,” bisik Guru Sejatiku.
” Ucapan Adam membuat aku pening, Guru,” sahutku terus terang, Dia sendiri sebenarnya sudah tahu.
” Makanya, Nak, jangan pernah meninggalkan dirimu,” kata Guru Sejatiku.
Aku tercenung. Meninggalkan diriku sendiri ? Ah, ini sungguh sebuah teguran yang sangat halus. Meskipun demikian aku merasakannya sebagai tamparan yang keras, karena Guru Sejatiku mengingatkan aku untuk tetap senantiasa berada dalam kesadaran diri. Aku tidak boleh meninggalkan diriku untuk menjadi orang lain dan bersama orang lain.
” Jika kamu meninggalkan dirimu, Nak, ” kata Guru Sejatiku lagi, ” kamu akan kehilangan banyak hal. Kamu tidak dapat memahami kata-kata Adam, karena kamu tidak menempatkan dirimu sebagai kamu. Jika kamu tetap ditempatmu maka kamu akan mengerti, ada wilayah yang menjadi wilayahmu, dan ada wilayah yang bukan menjadi wilayahmu. Tetaplah berada di wilayahmu, artinya tetaplah menjadi dirimu sendiri. Menjadi manusia yang memikul amanah Tuhan.”
Aku mengangguk. Kalau saja Guru Sejatiku tidak selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi, barangkali aku hanya terdiam bingung. Tetapi pada saat-saat seperti itu, dia – Guru Sejatiku – selalu datang dan membantuku. Begitu pun ketika dia menyuruhku menemui dan belajar dari Adam, dia tidak benar-benar melepaskanku sendiri. Dia selalu ada bersamaku ketika aku berbicara dengan Adam.
” Baiklah,” kataku kemudian. ” Aku paham dengan maksudmu.”
” Yang mana yang sudah kamu pahami ?” tanya Adam.
” Bahwa takdirmu memang untuk tinggal di bumi.”
Adam tertawa kecil. ” Jadi kamu sudah tahu, aku berada di bumi ini bukan karena Tuhan mengutuk aku ?”
” Ya, aku tahu. Kamu berada di bumi, karena memang Tuhan menciptakan kamu untuk hidup di bumi, untuk menjaga bumi, dan untuk memakmurkan bumi. Bumi adalah wilayah kekuasaanmu.”
Adam masih tertawa. Kali ini agak lebih keras dari sebelumnya.
” Tetapi sayang,” kataku kemudian.
Adam berhenti tertawa. Memandangku dengan dahi berkerut.
” Kenapa heran ?” sekarang gantian aku yang ngerjain Adam. ” Kamu dan Tuhan itu sama-sama egois.”
Adam terkesiap.” Beraninya kamu berkata begitu ?”
” Ya berani saja,” kataku lagi. ” Benar kan kamu egois karena hanya kamu sendiri yang mendapatkan kemuliaan dari Tuhan ? Mentang-mentang Tuhan memberikan kemuliaan padamu, kamu merasa tidak butuh sorga. Kamu merasa lebih pantas untuk selalu bersama-sama Tuhan, sehingga ketika kamu disuruh Tuhan untuk tinggal di bumi, kamu merasa sedih. Betul kan ?”
Kini Adam yang tertawa. Kali ini jelas dia menertawakan aku.
” Dengar, anak bebal,” kata Adam. Kali ini sangat serius.” Aku tidak perlu berbagi kemuliaan dengan siapa pun.”
” Nah kan ? Kamu egois kan ?”
” Tidak. Karena Tuhan sudah memberitahukan kepadaku ”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”. (QS 17:70). Dengar itu, anak bebal ?”
Aku tertegun kehilangan kata-kata.
” Makanya, Nak, kalau mau bicara dipikir dulu,” kata Guru Sejatiku. ” Karena kamu tergoda oleh nafsu untuk mempermalukan Adam, maka kamu sendiri yang sekarang jadi malu.”
” Ya, Guru,” kataku sambil menunduk.
” Aturlah pembicaraanmu, kendalikan lisanmu. Mulut kamu harimau kamu, Nak. Jika tidak hati-hati, ucapanmu akan menerkam dirimu sendiri.”
” Baik, Guru,” sahutku sambil membungkuk.
” Tidak usah membungkuk-bungkuk begitu,” ujar Adam. ” Menghormati sesama memang penting, tapi tidak perlu sampai segitunya.”
” Capek, deh,” kataku sampil meletakkan telapak tanganku di dahi. ” Aku membungkuk karena aku bersyukur, ternyata Tuhan pun telah memuliakan aku.”
” Jangan terlalu bangga dengan kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan,” kata Adam.
” Kenapa?”
” Kebanggaan yang berlebihan akan menyebabkan kamu lupa, seperti dulu aku lupa pada perintah Tuhan. Kebanggaan yang berlebihan juga menyebabkan kemauanmu untuk berjihad jadi lemah.”
” Tuhan memberitahukan itu kepadamu ?”
” Ya. Dia memberitahukan ” dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka ia lupa, dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS 20:115). Aku lupa karena aku amat bangga dengan kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepadaku. Siapa yang tidak bangga, bahkan Malaikat pun disuruhNya menghormatiku. Kebanggaan itu juga menyebabkan aku jadi tidak memiliki kemauan yang kuat untuk mempertahankan nikmat Tuhan.”
Aku tidak menyahut. Kali ini aku ingin memberi kesempatan pada Adam untuk berkata sebanyak yang dia butuhkan. Tetapi sebenarnya – yang terutama – adalah untuk memberi kesempatan pada diriku sendiri, memperoleh pelajaran berharga dari Adam.
” Maka,” kata Adam lagi, ” aku minta kepadamu, jangan terlalu bangga dengan kedudukanmu sebagai khalifah di bumi Tuhan. Kebanggaan yang berlebihan benar-benar membutakan mata hati. Aku sudah mengalaminya, dan aku tidak ingin anak keturunanku melakukan kesalahan yang sama.”
” Kesalahan yang sama ?”*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H