Mohon tunggu...
Fatchurrachman Soehari
Fatchurrachman Soehari Mohon Tunggu... -

Fatchurrachman, lahir di Purwokerto 16 Februari 1950, aktif menulis terutama tentang spiritual dan humanisme setelah pensiun tahun 2006, setelah aktif selama 36 tahun di RRI. Selain menulis di blog pribadinya http://fatchurrachman.blogspot.com dan blog berbahasa Banyumasan http://blangkon.kecut.blog.plasa.com, aktif berceramah tentang spiritualisme, humanisme dan kesetaraan. Tinggal di desa Purwosari, Kecamatan Baturaden, Banyumas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kang Doko Mencari Tuhan (1)

2 November 2009   01:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 1017
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lepas salat Isya’ Kang Doko berkunjung ke rumahku. Agak mengejutkan juga, karena aku tidak bertemu dia di masjid desaku saat salat maghrib maupun isya. Semula kukira dia pergi menengok cucu seperti kebiasaannya, sehingga aku tidak menanyakan kepada jamaah lain, kenapa Kang Doko tidak kelihatan salat berjamaah di Masjid yang diberi nama ”Nurussalam”.

Tetapi belum lagi aku melepas kopiah sesampai di rumah, aku mendengar ada orang mengetuk pintu seraya berseru, ”Assalamu’alaikum”.

” Wa’alaikumsalam,” sahutku sambil menghampiri pintu. Ketika pintu kubuka, ternyata Kang Doko.

” Eh, Kang Doko,” kataku sambil mempersilakan masuk,” ayo duduk, Kang. Dari mana saja ini tadi nggak kelihatan di Masjid?”

” Aku lagi penasaran, Kajine”, seru Kang Doko yang selalu memanggil aku dengan sebutan kajine atau Ji, sebutan orang desaku bagi orang-orang yang sudah pergi haji.

” Penasaran apa lagi ?” tanyaku.

Lalu, Kang Doko menceritakan rasa penasaran yang dibawanya ke rumahku malam ini setelah dua hari yang lalu kami berdua membicarakan pengertian tamu Allah sepulang dari pengajian walimatussafar lil-hajj. Merasa tidak puas dengan penjelasanku, rupanya Kang Doko menanyakan kepada para ustad tentang pengertian tamu. Menurut para ustad yang ditemuinya, istilah tamu Allah itu digunakan Nabi Muhammad saw untuk menggembirakan (bahasa daerah Banyumasan disebut mbombongi) orang yang mau pergi haji.

” Hanya kamu yang lain, Ji,” kata Kang Doko. ” Kamu kan bilang, orang yang disebut tamu adalah yang bertemu dengan tuan rumahnya. Kalau nggak ketemu, mana bisa dia disebut tamu ?”

Aku tersenyum. ” Sekarang ini, Kang Doko di rumahku lagi ngapain ?” tanyaku kemudian.

” Lagi mertamu,” jawabnya.

” Artinya ?”

” Ya tentu saja aku menjadi tamumu, Ji,” sahutnya cepat.

” Ketemu nggak sama aku ?”

” Ya ketemu lah.”

” Nah, itu baru tamu yang benar, Kang, karena sampeyan datang ke rumahku dan bertemu aku. Tapi kalau sampeyan cuma berjalan lewat di depan rumahku, apakah sampeyan disebut tamu ?”

Kang Doko ternganga mulutnya memandang aku. Sejurus kemudian ia menggeleng.

” Itu pengertian tamu, Kang,” kataku memberi penekanan pada kata tamu.

” Tapi,” seru Kang Doko. ” Kamu dan aku kan sama-sama manusia, jadi bisa bertemu seperti ini. Tuhan kan tidak sama dengan kita. Mana bisa kita duduk berdua seperti ini?”

” Bagus.”

” Koq bagus ?”

” Ya baguslah, karena Kang Doko masih berfikir sebagai manusia normal. Artinya, Kang Doko tidak sembarang menerima informasi tanpa mengolahnya. Dan itu sangat diperlukan untuk setiap orang yang ingin beragama dengan benar. Bukan hanya sekedar mendengarkan, manggut-manggut lalu percaya begitu saja. Apalagi kan biasanya orang-orang pada berkata, kalau tidak percaya sama kata-kata ustad, kyai, ulama maka kepada siapa lagi kita akan percaya ?”

Kang Doko tampak senang karena aku tidak menyalahkan dia. Memang tidak seharusnya dia disalahkan, karena dia adalah orang yang sedang digerakkan hatinya oleh Allah untuk memulai perjalanannya. Yang aku maksud adalah mulai menempuh perjalanan spiritual. Setiap penempuh jalan spiritual atau jalan rohani, mereka akan selalu memulainya dari sebuah gugatan karena ketidakpuasan rohaninya atas pemahaman yang itu-itu saja. Mereka minta lebih dari sekedar sorga dan neraka, pahala dan dosa. Menurut para penempuh jalan rohani, sorga dan neraka, pahala dan dosa, tidak cukup menjadi pemuas dahaganya.

Mereka selalu bertanya, jika Allah tidak membuat sorga atau neraka, apakah kita masih mau menyembah Dia ? Jika Allah tidak menyediakan pahala, apakah kita masih mau menyembah Dia, masih mau berpuasa, masih mau membayar zakat, masih mau pergi haji dan masih mau melakukan berbagai macam kebaikan ? Untuk apa melakukan semua itu, toh tidak ada upahnya, tidak ada ganjarannya ?

Aku memberitahukan kepada Kang Doko, untuk tidak berhenti mencari ilmu, karena ibadah yang tidak dilandasi ilmu akan sia-sia. Hanya saja, banyak manusia yang tertipu dengan istilah ilmu yang dimaksudkan oleh Allah dan RasulNya. Padahal, yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu yang sangat halus/tersimpan rapi, seperti yang diisyaratkan oleh Rasulullah saw, dengan sabdanya ”sesungguhnya ilmu itu laksana barang berharga yang tersimpan rapi. Tidak ada yang dapat memahaminya kecuali golongan ulama makrifat atau ArifBillah. Bila mereka bicara tentang ilmu itu tidak ada yang menyepelekannya, kecuali golongan ightirar yaitu orang-orang yang berhati lalai”.

Seorang ulama makrifat Imam at-Tusturi menegaskan ”ilmu terbagi dalam tiga golongan, yaitu (1) ilmu zahir (lahir) seyogyanya ilmu ini disampaikan kepada umum; (2) ilmu batin, tidak seharusnya disampaikan secara luas kecuali kepada ahlinya (yaitu orang-orang yang memang mencari) dan (3) ilmu antara dia dengan Allah, ilmu ini tidak selayaknya disampaikan kepada siapa pun”.

Kang Doko aku beritahu, ilmu lahir itu ilmu yang berkaitan dengan urusan dunia atau syariat. Misalnya nahwu-sharaf, telaah hadis, ilmu hukum (fiqh), atau yang di kalangan pesantren disebut ilmu alat. Ilmu ini harus disebarluaskan kepada masyarakat umum, karena semua orang berkepentingan dengan ilmu tersebut. Tetapi ilmu yang kedua yang disebut ilmu batin, sering disebut dalam kitab-kitab tasawuf adalah ilmu yang membekali orang untuk melakukan perjalanan rohani. Ilmu ini hanya boleh disampaikan kepada ahlinya, yaitu orang-orang yang memang memiliki minat untuk menggapai dan mengamalkannya. Sedangkan perjalanan rohani itu dimaksudkan untuk menemukan metode atau cara bagaimana seseorang dapat menggapai jenis ilmu yang ketiga, yakni ilmu antara si penemu dengan Allah sendiri.

” Jangan-jangan para kyai, para ustad yang aku temui itu baru mengetahui ilmu lahir saja ya Ji ?” ujar Kang Doko.

” Ya jangan keburu menyimpulkan begitu, Kang,” kataku. ” Mereka kan baru kenal Kang Doko, sehingga mereka baru menyampaikannya secara umum. Mereka mungkin khawatir, Kang Doko bukan termasuk orang yang memang sedang mencari. Itu adalah kehati-hatian para Kyai, para ustad untuk tidak sembarang memberitahukan ilmu yang sangat halus ini kepada sembarang orang.”

” Tetapi kenapa kamu berani menyampaikannya padaku ?”

” Jangan salah, Kang. Aku hanya memberitahu adanya tiga jenis ilmu saja, supaya sampeyan tahu, ilmu mana yang sampeyan butuhkan. Untuk selanjutnya, terserah Kang Doko kepada siapa dan ke mana sampeyan akan mencari ilmu itu.”

Kang Doko memandang aku sejenak. Lalu menghela nafas dalam-dalam. Tampaknya ada sesuatu yang memang mengganjal di dadanya. Aku dapat mengerti itu, karena aku pernah berada di posisi Kang Doko. Dada rasanya sempit, nafas terasa sesak dan hidup selalu dipenuhi kekhawatiran.

” Sebenarnya,” kata Kang Doko, ” aku mau kamu menemani aku mencari jawaban atas keresahanku, Ji. Kamu tidak keberatan kan ?”

Kini, akulah yang tercenung. Memandang Kang Doko.*****

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun