Mohon tunggu...
Ezza Wahyu Dian Cantika
Ezza Wahyu Dian Cantika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Surabaya

Mahasiswa jurusan Bimbingan dan Konseling

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Gangguan Kepribadian Dependen Menurut Teori Perkembangan Psikososial (Erik Erikson)

21 Desember 2022   13:09 Diperbarui: 21 Desember 2022   13:15 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepribadian adalah suatu karakteristik yang melekat pada diri individu secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama. Kepribadian dapat dideskripsikan sebagai satu kesatuan utuh dari ciri ciri yang menonjol pada diri individu, yang dapat membedakan nya dari individu yang lain. Kepribadian dapat menggambarkan jati diri individu secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan kepribadian dapat mencerminkan pola pikir, persepsi, emosi, tingkah laku, sifat dan lain sebagainya.

Lalu, apakah kepribadian bisa diubah ? Kepribadian pada dasarnya merupakan salah satu aspek internal yang melekat erat pada diri individu. Secara teoritis, seharusnya kepribadian bersifat paten dan permanen. Namun berdasarkan realita yang ada, aspek eksternal seperti lingkungan juga berperan penting dalam pembentukan kepribadian. Sehingga kepribadian mungkin saja bisa berubah karena perkembangan nya dipengaruhi oleh lingkungan individu.

Pernyataan tersebut sejalan dengan teori perkembangan psikososial yang dicetuskan oleh Erik Erikson dalam bukunya "Childhood and Society" pada kisaran tahun 1950 an. Psikososial dapat diartikan sebagai suatu korelasi atau hubungan antara struktur mental individu dengan kontribusi individu dalam lingkungan sosialnya. Menurut Erikson (dalam Danuwijaya et al., 2022) pembentukan kepribadian individu secara integral bergantung kepada proses interaksinya dengan lingkungan terdekatnya baik secara fisik maupun psikologis. 

Artinya, setiap kepribadian individu muncul sebagai akibat dari pertimbangan kebutuhan individu dengan tuntutan sosial yang muncul. Pemenuhan tuntutan sosial ini berkaitan dengan adanya ego sebagai poros kepribadian. Ego merupakan gambaran sosok yang menggambarkan identitas individu serta muncul dari unsur sadar maupun ketidaksadaran dalam diri individu (Fatwikiningsih & Psi, 2020). Terdapat 3 jenis ego yang dikemukakan oleh Erik Erikson, diantaranya sebagai berikut :

  • Ego Tubuh : Merupakan sosok yang muncul dari dorongan biologis pada diri individu. Sosok ini didasarkan pada pengalaman fisik individu yang melibatkan anggota badan maupun panca indra.
  • Ego Ideal : Merupakan sosok yang muncul sebagai hasil pencampuran dari siapa diri individu sebenarnya dan siapa diri yang diinginkan nya. Secara ringkas, ego ideal merupakan suatu sosok yang terbentuk dari kombinasi jati diri dan harapan.
  • Identitas Ego : Merupakan sosok yang muncul sebagai pencerminan diri individu yang sebenarnya. Identitas ego berkaitan dengan bagaimana individu memandang dirinya serta bagaimana individu melakukan peran sosialnya secara murni.

Ego bertugas untuk mengatur id (kebutuhan) dan superego (realita). Ego lebih didominasi oleh respon terhadap apa yang terjadi pada lingkungan sosial individu. Ego individu saat ini dapat dikonseptualisasikan dengan siapa diri individu di masa lalu (ego di masa lalu). Hal ini berkaitan dengan dinamika ego, id dan superego dalam menyelesaikan krisis pada tiap fase perkembangan individu. Terkait dengan hal ini, Erik erikson dalam (Nursalim et al., 2019) mengemukakan bahwa perkembangan psikososial manusia terdiri dari 8 tahap, diantaranya yaitu :

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
  • Kepercayaan vs ketidakpercayaan (0-1 tahun)

Di tahap ini, tugas perkembangan individu adalah memupuk rasa percaya pada lingkungan sekitarnya. Lingkungan terdekat individu pada tahap ini adalah orang tua. Apabila orang tua berhasil memenuhi kebutuhan individu, maka akan muncul rasa aman dan kepercayaan pada diri individu. Namun apabila pemenuhan kebutuhan individu pada masa ini terhambat, kemungkinan individu akan berkembang menjadi seseorang yang penuh kecurigaan dan ketidakpercayaan.  

  • Otonomi vs Perasaan Malu (2-3 tahun)

Pada tahap ini, tugas perkembangan individu adalah mengembangkan kemandirian dalam berperilaku. Misal seperti belajar berjalan atau makan sendiri. Apabila tugas perkembangan dalam tahap ini berhasil maka individu bisa menjadi seseorang yang tegas pada keinginan nya. 

Sedangkan apabila tidak terpenuhi maka individu akan cenderung kurang mandiri, penakut / pemalu, kurang percaya diri serta seringkali mengalami keraguan dan kebingungan dalam mengambil sebuah keputusan terkait keinginan nya.

  • Inisiatif vs Perasaan bersalah (4-5 tahun)

Tugas individu dalam tahap ini adalah mengembangkan caranya sendiri dalam melakukan segala sesuatu. Jika individu berhasil maka ia akan menjadi pribadi yang mandiri. Sedangkan jika tidak berhasil, maka kemungkinan ia akan berkembang menjadi seseorang yang cenderung pasif dan bergantung kepada orang lain.

  • Usaha vs Inferioritas (6-11 tahun)

Tugas individu pada tahap ini adalah mengembangkan usaha dalam mengatasi hambatan / masalah. Apabila individu berhasil melalui tahap ini maka ia akan cenderung kompeten dan memiliki self esteem yang tinggi. Sedangkan apabila individu gagal, ia akan menjadi seseorang yang rendah diri dan kurang bisa menghargai dirinya sendiri.

  • Identitas vs Kekacauan identitas (12-20 tahun)

Pada tahap ini, individu memiliki tugas untuk mengenali dirinya. Hal hal yang perlu diketahui misalnya seperti minat, bakat, kelebihan, kekurangan dan lain sebagainya. Apabila individu berhasil, maka ia bisa mempertahankan identitasnya. Namun apabila ia gagal, maka ia akan mengalami krisis identitas sehingga mudah dipengaruhi oleh orang lain dan   pada umumnya berujung pada kenakalan remaja.

  • Keintiman vs Isolasi (21-40 tahun)

Pada tahap ini, individu perlu mengembangkan sebuah hubungan sosial secara intim. Misalnya seperti bersahabat, pacarana, menikah dan berkeluarga. Apabila hubungan tersebut berjalan dengan sehat maka ia dapat menghargai sebuah afeksi. Namun apabila hubungan tersebut berjalan tidak sehat atau bahkan tidak berjalan sama sekali, maka individu akan cenderung mengisolasi dirinya dan menghindar dari individu lain.

  • Generativitas vs Stagnansi (41-65 tahun)

Tugas pada tahap ini adalah berperan secara sosial bagi generasi selanjutnya. Apabila berhasil, individu akan merasa berguna. Namun jika tidak berhasil maka ia akan merasa tidak berguna dan kurang produktif.

  • Integritas vs Keputusasaan (diatas 65 tahun)

Tugas pada tahap ini adalah melakukan refleksi terkait apa yang telah dilakukan selama hidup. Jika refleksi bersifat positif maka individu akan menjadi bijaksana. Jika refleksi bersifat negatif maka individu cenderung merasakan putus asa dan penyesalan yang mendalam

Disamping teori psikososial dari Erik Erikson yang telah dipaparkan. Pada artikel ini juga akan membahas terkait dengan gangguan kepribadian dependen. Apa sih gangguan kepribadian dependen itu ? Gangguan kepribadian dependen merupakan suatu gangguan psikologis dimana individu memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain (Larasati & Nafisah, 2022). Karena terlalu bergantung pada orang lain, individu dengan gangguan kepribadian dependen ini akan menunjukkan gejala - gejala sebagai berikut :

  • Merasa takut ditinggalkan / selalu berusaha terikat dengan orang lain
  • Memiliki rasa percaya diri yang rendah
  • Bersifat Posesif (rasa kepemilikan yang tinggi)
  • Merasa selalu membutuhkan orang lain
  • Sulit mengambil keputusan tanpa masukan dari orang lain
  • Merasa tidak nyaman ketika melakukan sesuatu sendirian
  • Bersifat pasif, dll

Lalu apa hubungan nya dengan Teori psikososial erikson ?

Gangguan kepribadian dependen dapat dikonseptualisasikan melalui teori psikososial Erik Erikson. Berdasarkan gejala yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa gangguan kepribadian dependen berkaitan erat dengan beberapa poin pada tahap psikososial Erikson. 

Tahap yang dimaksudkan adalah tahap Otonomi vs Perasaan Malu (2-3 tahun) dan tahap Inisiatif vs Perasaan bersalah (4-5 tahun). Terlihat bahwa gejala yang telah disebutkan relevan dengan dampak yang terjadi apabila tahap tahap tersebut tidak terpenuhi. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa salah satu latar belakang munculnya gangguan kepribadian dependen adalah kegagalan dalam kedua tahap tersebut.

Kok bisa ?

Saat melalui tahap otonomi vs perasaan malu, seharusnya individu mulai belajar mandiri. Sedangkan dalam kasus gangguan kepribadian dependen, kemungkinan individu tidak diajarkan mandiri seperti individu masih disuapi, dituntun saat berjalan, terlalu sering digendong dan lain sebagainya. 

Akibatnya, seperti yang telah disebutkan tadi yaitu individu menjadi kurang percaya pada kemampuan nya sendiri, tidak tegas terhadap apa yang diinginkan sehingga ia secara tidak langsung juga kesulitan mengambil keputusan. Hal inilah yang membuat individu selalu bergantung kepada orang lain. Ia bahkan takut ditinggalkan oleh orang lain dan menjadi sosok yang posesif karena ia tidak percaya bahwa ia bisa sendirian

Lalu terkait dengan tahap Inisiatif vs Perasaan bersalah, seharusnya individu dibiarkan untuk mulai mengeksplor dunianya sendiri. Misalnya bermain diluar rumah, mengerjakan tugas sendiri, menentukan sendiri kapan ia ingin tidur dan bermain serta lain sebagainya. Sedangkan dalam kasus gangguan kepribadian dependen, kemungkinan orang tua / lingkungan sekitar terlalu memberikan peraturan yang kaku dan bersifat overprotektif terhadap individu. 

Kalimat yang sering muncul biasanya seperti "Eh gak boleh gitu", "Awas nanti jatuh", "Jangan main kotor kotor, banyak kuman", "Jangan main hujan hujan nanti sakit", "Ayo sudah jam segini waktunya pulang / tidur", dan lain sebagainya. Intinya pada tahap ini kehidupan individu dipenuhi oleh larangan dan aturan. 

Selain itu, biasanya orang tua akan membantu mengerjakan tugas yang seharusnya tugas tersebut dikerjakan individu untuk merangsang kognitif dan motoriknya. Akibatnya, individu berkembang menjadi seseorang yang pasif yang dimana berkemungkinan pula mengakibatkan individu bergantung pada orang lain untuk melakukan segala sesuatu.

Referensi

Danuwijaya, C., Maki, A., & Husna, N. (2022). Peran Guru Pendidikan Agama Islam Dalam Implementasi Psikososial Erikson Di Sekolah. Al-Afkar, Journal for Islamic Studies, 41--55.

Fatwikiningsih, N., & Psi, S. (2020). Teori Psikologi Kepribadian Manusia. Penerbit Andi.

Larasati, K., & Nafisah, F. I. (2022). Pengaruh Rehabilitasi Untuk Mengatasi Gangguan Kepribadian Dependen. International Conference on Islamic Guidance and Counseling, 2, 199--207.

Nursalim, M., Laksmiwati, H., Budiani, M. ., Khoirunnisa, R. ., Syafiq, M., Savira, S. ., & Satwika, Y. . (2019). Psikologi Pendidikan. PT. Remaja Rosdakarya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun