Mohon tunggu...
Rezha Nata Suhandi
Rezha Nata Suhandi Mohon Tunggu... Penulis - Rezha

Mencintai senja kala biru, kegaduhan imajinasi lambang superioritas intelektual.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anak Semua Bangsa, Anak Kata-kata

17 Februari 2017   13:32 Diperbarui: 17 Februari 2017   13:44 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara kita, terlalu jauh menghamba dan buram akan kemauan diri untuk bangkit bersaing dengan keunggulan yang dimiliki Eropa, Amerika, Jepang ataupun Cina. Kita sudah menjadi kerdil sejak dalam fikiran, bagi terpelajar apalagi mereka yang tak pernah belajar.

Kembali pada soal penjajahan. Belanda datang ke Indonesia, yang dikenal dengan nama Hindia saat itu untuk tujuan mencari rempah-rempah. Pada fase selanjutnya Belanda mengibarkan perusahaan dagang karena memiliki modal produksi di Hindia, kita kenal dengan nama VOC.

Belanda beralih dari mencari rempah-rempah lantas memutuskan Hindia sebagai ladang perkebunan, gula dan kopi dijadikan komoditas utama, karena memang sedang menjadi primadona saat itu. Kerajaan Belanda rela menggelontorkan modal besar untuk menghidupi VOC dan bisnisnya di Hindia ini. Sementara keuntungan yang didapatdigunakan sebagai penyokong modal perang untuk Belanda kala itu.

Dibangunlah berbagai infrastruktur pendukung untuk mendistribusikan tebu-tebu dari perkebunan hingga sampai ke kapal dagang dan dilayarkan ke Eropa jauh. Membuka perkebunan tentu butuh, pembukaan lahan, jalan aspal sebagai infrastruktur pendukung dokar pengangkut tebu, rel kereta yang membawa tebu dan gula dalam jumlah banyak menuju pelabuhan, sekolah guna menyokong kebutuhan tenaga administrasi untuk perkebunan, rumah sakit dan tenaga medis yang diperuntukkan bagi buruh perkebunan, dan segala macam infrastruktur. Infrastruktur itu dibuat untuk kelangsungan usaha perkebunan, bukan untuk rakyat. Sekali lagi bukan untuk rakyat.

Mungkin ini mirip dengan pola pembangunan yang dilakukan pemerintah suatu daerah. Entah membangun untuk siapa dan dengan cara apa, rakyat kembali harus berkorban, tergusur dan tersingkir. Atas lahannya dibangunlah keindahan yang menyejukkan mata jika dilihat dari apartemen mewah nan menjulang di tengah kota. Pembangunan semu yang hanya mampu menjangkau kemewahan tapi melupakan kemanusiaan.

Dalam melangsungkan usahanya, VOC juga menggunakan kekerasan, intimidasi, bahkan perampasan terhadap lahan yang hendak dijadikan perkebunan. Hal ini mengingatkan saya akan peristiwa petani di Rembang, Jawa Tengah yang diambil paksa hak kepemilikan lahannya guna memuluskan usaha pembuatan pabrik semen disana. Bukan hanya Rembang, barangkali ratusan petani pemilik lahan dan pribumi di bumi Indonesia, masih merasakan pola penjajahan ini berlangsung hingga sekarang, gawatnya itu dilakukan oleh bangsa sendiri.

Memanglah sejarah selalu berulang menurut idiom yang berlaku, kala itu pihak kerajaan penguasa wilayah di Nusantara ini pun mengamini masuknya asing. Bahkan bekerjasama dalam perdagangan. Sementara rakyat lah yang tetap menanggung derita. Kaum priyayi dan bangsawan tak pernah mengenal sejauh apa penderitaan dirasakan. Mereka hanya menghamba pada kekuasaan. Tembok tebal kerajaan juga bagaikan pemisah yang tak pernah roboh, pun kala rakyat berlinangan air mata dan berlumuran darah.

Bangsa ini terlalu naif jika menyadari bahwa kita pernah lepas dari penjajahan, pribumi tetap sebagai pekerja yang mendatangkan berlipat kekayaan sementara bangsa asing yang menguasai lahan dan modal lah pemilik kejayaan. Memang Indonesia tak pernah menjadi negara yang berdaulat, karena sesungguhnya Indonesia hanya didaulat sebagai sebuah negara. Diambil saripatinya, dihisap dalam-dalam, lantas dimuntahkan jika sudah tak menyajikan kenikmatan. Karena dunia internasional telah mengutuk penjajahan, tak boleh ada lagi invasi secara fisik yangmenggelayuti sebuah bangsa, semua merupakan dalih ataskemerdekaan dan kemanusiaan.

Tak boleh ada bukannya tak pernah terjadi. Kita mungkin sedang merasakan itu, dalam kamuflase kemerdekaan dan kebebasan. Bangsa-bangsa asing sudah menjadi srigala sedari lama, Indonesia masih menjadi bayi domba yang hangat mencari susu induknya. Dipermainkan sejak dalam kandungan, diharapkan besar untuk menjadi santapan.

Kembali pada dasar dan melaknati semua kemungkinan gejolak cemoohan asing adalah keniscayaan. Berabad lampau kita selalu ditakuti dan lekat dalam stigma jika Indonesia adalah bangsa kelas ketiga, terbelakang. Dalam ilmu pengetahuan tak ada sejarah keunggulan bangsa ini mengecap pioneer pemikiran dan penemuan. Jikapun ada, sesama bangsa akan mengutuk itu sebagai mitos dari kehidupan. Begitu cara hidup bangsa kita pasca kemerdekaan. Padahal ilmu pengetahuan adalah elemen mendasar manusia mampu membentuk bahkan menjangkau peradaban.

Demikian tulisan ini saya akhiri dengan penuh penyesalan. Indonesia dan manusianya tak pernah berubah bahkan dalam kata-kata. Anak semua bangsa dan anak kata-kata. Menjadi Indonesia adalah jalan memahami cara bangsa sendiri hidup, bukan terhanyut dalam godaan materialism apalagi modernism. Meskipun begitu, jika hendak waktu yang menggeliat mendorong kearah timbunan jerami padi menunjuk kesyukuran, Indonesia akan menjadi mercusuar dunia. Kehendak itu masih ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun