Saya sedikit khawatir ketika mencoba untuk menuliskan ini kedalam narasi sempit pemikiran saya soal Pilkada Jakarta. Entah tuduhan apa yang akan datang kepada saya karena berbagai alasan dan gejolak fanatisme dari para pendukung. Politik memang demikian, membuyarkan pandangan dan anggapan soal suara yang kita anggap benar.
Tahun 2017 menjadi tahun politik bagi beberapa daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung, tak terkecuali Provinsi DKI Jakarta. Ibukota Indonesia, tempat yang menjanjikan surga pada mata yang mengetahuinya dibatas media cetak maupun televisi. Jauh harapan yang coba diberikan pada manusia-manusia yang menggantungkan mimpi, Jakarta menjadi amatlah kejam tidak hanya kepada pendatang namun juga orang-orang yang sudah lama hidup dari limpahan air dan pijakan tanah Jakarta.
Sebagai ibukota Negara, Jakarta merupakan magnet sekaligus episentrum mengenai segala rupa termasuk dinamika politik nasional. Kini pesta demokrasi di ibukota sesaat lagi menjelang, menyajikan drama panjang dengan akhir cerita yang mungkin sangat dramatis bagi siapapun yang menyaksikannya.
2 tahun lebih ibukota dinakhkodai oleh Basuki Tjhahaja Purnama, yang naik secara otomatis untuk menggantikan posisi Pak Joko Widodo. Joko Widodo atau yang kita kenal secara familiar dengan nama Jokowi telah terpilih sebagai Presiden RI pada pemilu presiden 2014 silam. Alhasil, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Wakil Gubernur menggantikan posisi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Selama 2 tahun lebih memimpin Jakarta, Ahok telah menimbulkan berbagai polemik dari segi kebijakannya sebagai Gubernur. Cukup banyak pemberitaan positif dan negatif memasuki barisan lini massa informasi mengenai sepak terjang Ahok memimpin Jakarta. Publik mengenal Ahok sebagai pejabat yang temperamental dan emosional. Kontradiktif dengan budaya ketimuran yang Indonesia miliki, sopan santun dan lemah lembut.
Tipikal Ahok yang diluar dari kebiasaan orang Indonesia inilah yang banyak menjadi bahan pembicaraan. Tak perduli Ahok marah terhadap sesuatu yang buruk ataupun baik, kemarahannya lah yang menjadi sorotan utama justifikasi publik. Saya mencoba objektif pada tulisan yang menjadi alasan saya enggan mendukung Ahok.
Sebagai orang Indonesia berketurunan Sunda dan Jawa, tipikal pemarah Ahok terasa asing bagi telinga saya. Cara pandang saya pun langsung menghakimi jika kelakuan Ahok tidak layak contoh dan buruk bagi teladan publik. Memang sebagai pejabat Negara, terlebih sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok tak bisa bersembunyi dari penilaian public mengenai perilaku dan kehidupannya sehari-hari. Sebagai pejabat public pula lah, perilaku dan kehidupan sehari-hari seringkali menjadi contoh teladan bagi public. Apalagi jika kita ingat mengenai konsep “Revolusi Mental” yang diusung Presiden Jokowi, konsep ini sangat butuh teladan dari pejabat public agar mampu dicontoh oleh khalayak banyak.
Terlepas dari ras Ahok yang bukan asli bangsa Indonesia ataupun agama Ahok yang non muslim saya tidak ingin membahas hal tersebut. Bagi saya, siapapun dan apapun keyakinannya tentu layak dijadikan teladan sebagai pemimpin jika dapat bersikap baik dan berbudi pekerti luhur.
Ada hal lain yang lebih memprihatinkan mengenai sepak terjang Gubernur Jakarta satu ini, selain perilaku pemarah, Ahok juga mendobrak batas nalar dan nurani saya tentang kemanusiaan di bumi Jakarta. Kemanusiaan yang saya maksud disini adalah perlakuan manusia pribumi dan kelompok rakyat miskin yang tidak diperlakukan sebagaimana manusia mendapatkan hak kemanusiaannya. Berbagai kasus penggusuran yang menggunakan cara-cara kekerasan dan paksaan bagi saya adalah hal yang tidak manusiawi, hal yang jauh dari kata “kebaikan”.
Pak Jokowi sebagai pendahulu Ahok sekaligus orang yang membuat Ahok menjadi Gubernur pun tak pernah menggunakan cara-cara kekerasan, tak manusiawi dan tak beradab seperti sekarang ini. Jokowi pernah mencontohkan, untuk menata suatu daerah dan merelokasinya dibutuhkan pendekatan secara dialogis, kekeluargaan dan dari hati ke hati. Toh yang dipindahkan adalah manusia, bukan binatang yang dapat berpindah hanya dengan sekali cambuk atau teriakan perintah.
Alibi Ahok malah membuat saya semakin miris, Ahok menyediakan rusun bagi warga yang bersedia pindah secara sukarela dari tempat yang akan digusur. Rusun disediakan gratis pada 3 bulan pertama, selanjutnya diwajibkan membayar sebagai ongkos pemeliharaan. Bagi saya ini merupakan wajah Ahok sebagai pengusaha dan pebisnis. Rusun-rusun yang dibuatkan oleh pengembang sebagai kontribusi atas pembangunan di daerah lain ataupun CSR (Corporate Social Responsibility) merupakan bagian dari tukar guling Ahok kepada para pengembang.
Sehingga nantinya, kebijakan-kebijakan yang meminggirkan rakyat miskin kota dapat menjadi pembenaran nisbi seorang pahlawan seperti Ahok terhadap rakyatnya. Ahok telah mentransaksikan manusia-manusia Jakarta kepada para pengembang.
Rusun-rusun dan barisan taman nan elegan di Jakarta merupakan bagian dari kesepakatan kontribusi pembangunan atas reklamasi di teluk utara Jakarta. Maka tak heran jika serapan anggaran Pemprov DKI Jakarta dikatakan rendah. Karena untuk membangun, Ahok tak perlu APBD, dia hanya perlu pengusaha sebagai mitranya membangun Jakarta. Resiko dari hal ini adalah, rakyat miskin yang harus rela nomaden karena tak pernah ada ruang permanen sebagai tempat mereka berlindung.
Memang sudah begitu seharusnya, rakyat miskin tak boleh injakkan kaki di Jakarta. Jakarta hanya boleh dipijak oleh mereka yang memiliki uang dan materi berlimpah, sehingga jangankan tanah, rasa perlawanan terhadap ketidakadilan pun dapat dibeli.
Faktor kemanusiaan dan perilaku tak baik Ahok sebagai seorang pemimpin telah mengguggah nurani saya, dibalik perbedaan prinsipil yang ada menyoal agama dan ras antara Ahok dan mayoritas penduduk Jakarta. Di hati kecil masyarakat Jakarta saya meyakini terbesitnya kekhawatiran atas ketidakadilan seorang pemimpin perlakukan rakyatnya.
Penolakan terhadap Ahok menjadi salah satu buktinya. Pada satu hari ketika Ahok akan meresmikan taman ramah anak di daerah Jakarta Utara, ratusan masyarakat berusaha menghadangnya dengan bersenjatakan batu, kayu dan semangat untuk mengusir pemimpin tersebut dari daerahnya. Hal ini tidak terjadi sekali dua kali namun seringkali begini. Hingga mungkin untuk wacana kampanye saja Ahok urung turun menyambangi masyarakat dengan alibi enggan untuk ambil cuti kampanye. Mungkin khawatir jika hal ini akan berulang.
Bukan tanpa alasan masyarakat dapat bersikap demikian, Ahok telah menabuh genderang perangnya sendiri pada masyarakat miskin ibukota, memperlakukan mereka layaknya bukan manusia. Resiko didapat Ahok terhadap kebencian yang menjalari masyarakat Jakarta terhadap pemimpinnya.
Ahok memang mampu merubah wajah ibukota menjadi lebih baik, kesungguhan kerja dengan modal APBD 70 trilyun yang dimiliki DKI Jakarta harus kita apresiasi. Itu merupakan bagian dari keniscayaan memimpin Jakarta di era globalisasi. Saya rasa bukan hanya Ahok saja yang dapat melakukannya, siapapun yang menjadi pemimpin DKI Jakarta hari ini akan tersudut pada persepsi publik yang akan memaksanya bekerja menampilkan wajah ibukota yang lebih baik. Sebab siapapun dapat mengawasi dan berperan dalam pembangunan,Jakarta dewasa ini, dalam bentuknya memberikan aspirasi, ide juga gagasan.
Apalagi jika mengingat ruang-ruang instrument social public kini tersedia secara bebas dan dapat diakses kapan saja. Media sosial salah satunya. Media sosial sekarang ini bukan hanya berfungsi sebagai penampil pesona diri namun dapat juga menjadi alat mengeskpresikan diri terhadap fenomena social yang terjadi dan dapat disampaikan langsung pada pemangku kebijakan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor, keharusan bekerja seorang pemimpin bagi masyarakat adalah keniscayaan. Jika tidak, public siap menjustifikasi dengan label-label dan cap yang tentu jejak digital akan merekamnya sebagai sejarah buruk seorang abdi rakyat.
Demikianlah apa yang saya tuliskan semoga tidak menjadi polemic di masyarakat, namun dapat menjadi narasi yang mencerahkan mengenai alasan-alasan yang rasional tentang memilih pemimpin saat ini. Ahok sebagai pemimpin dengan perilaku dan nurani kemanusiaannya yang bermasalah tentu bukan contoh yang baik bagi kehidupan berbudaya masyarakat Indonesia. Alasan-alasan untuk memilih dan tidak memilih tentu menjadi hak pribadi dan pertimbangan seseorang dalam membuat keputusan sikap politiknya. Pada titik nadir, kita akan berbicara pada hati nurani kita sendiri yang menjadikan alasan terkuat hal tersebut menjadi pilihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H