Manusia, memang begitu. Berperang akan timbulkan korban memang tak bisa dihindarkan, pencapaian kedamaian dengan memerangi kaum yang dianggap halangan bagi perjuangan menuju visi kebenaran, minimalisir korban, buat semuanya merasa menang. Merasa diberi jalan tanpa harus di bunuh. Tidak ada orang kita, orang dia, atau orang mereka. Semuanya harus dibangun dengan karakter egaliterisme, sifat kenegarawanan. Menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan aku, dia, mereka, kami atau siapapun itu.Â
Tjokroaminoto pernah mengatakan, berkuasa berarti membuka pintu penderitaan. Berkuasa makin "bahagia" mungkin berarti beri derita ke orang lain. Ini yang harus di hindarkan, abdi negara harus melayani, bukan dilayani. Karakter pemimpin ingin dilayani sungguh merusak tatanan sosial. Banyak pemimpin di pusat maupun daerah berkarakter seperti raja-raja dahulu kala. Penguasa fatamorgana, berkuasa tanpa paham kewenangan.
Pemimpin seperti ini sangat menjijikan, membuat gelap tabir harapan kesejahteraan bagi masyarakat. Maka pemimpin harus lahir dari rakyat. Pemimpin yang lahir dari rakyat telah merasakan penderitaan bersama rakyat. Bersama rakyat pun ikut rasakan deritanya, bukan azaz manfaat. Pemimpin dari rakyat namun melakukan pendekatan elitis merupakan bibit pemimpin yang durhaka pada rakyatnya. Rakyat butuh kehormatannya. Bahkan banyak raja-raja dahulu kala pun ingin meruntuhkan tembok istana kerajaan, agar tak berjarak dengan rakyat.
Lantas kenapa harus ada sekat ? Rakyat juga harus tau diri tak selamanya keinginan terpenuhi, pemimpin yang baik membangun harapan soal kebutuhan rakyatnya, bukan keinginan. Tak selamanya pemimpin harus empani rakyatnya, rakyat juga harus berfikir untuk menjaga jiwa kemandiriannya. Kecuali saat terdesak. Selama ini, rakyat tak pernah merasakan kehadiran negara dalam kehidupannya. Rakyat hidup dengan tangannya sendiri. Pantas jika apatis. Jika kecintaan rakyat sudah total terhadap pemimpinnya, maka politik partisipatif akan terwujud, pemimpin pun harus cinta pada rakyatnya, jadilah pemimpin aspiratif.
Politik transaksional tak akan bisa dilawan. Ini perjalanan menuju kedewasaaan dalam berdemokrasi. Politik transaksional bisa dirubah ketika masyarakat sudah temukan titik jenuhnya. Merasa pola transaksi akhirnya merugikan hidup mereka. Tapi untuk itu, butuh generasi yang tersadarkan secara politik dan tercerahkan secara intelektual. Di daerah sangat sulit menerapkan ini. Sulit bukan berarti tidak bisa. Perjuangan yang baik akan selalu di iringi kebaikan-kebaikan lainnya. Sambut pemimpin dari surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H