Kita patut bersyukur karena bumi khatulistiwa adalah lahan yang paling cocok untuk kebun sawit yang bernilai tinggi antara lain karena iklim dan curah hujan yang memadahi. Rencana larangan penggunaan crude palm oil (CPO) di Uni Eropa makin menegaskan keunggulan CPO dalam hal efisiensi dan produktivitas dibanding minyak nabati lain sehingga peredarannya perlu ditangkal antara lain dengan menggunakan isu lingkungan dan isu sosial.
Tentu kita patut menghargai upaya Pemerintah untuk meloby berbagai pihak agar membatalkan rencana pelarangan tersebut. Tapi yang perlu dipikirkan secara jangka panjang adalah mengurangi ketergantungan pada pasar ekspor melalui hilirisasi CPO.Â
Ada puluhan produk dengan nilai tambah berkali lipat CPO yang seharusnya bisa dibangun di Indonesia. Produk hilir CPO antara lain berkaitan dengan pangan, kosmetik, kesehatan dan juga energi. Kita jauh tertinggal dengan Malaysia yang punya produk kosmetik berbasis CPO yang sudah mendunia.
Terkait energi Pemerintah sudah mencanangkan kewajiban penggunaan biodisel (salah satu produk hilir CPO) dengan komposisi 10%. Potensinya sebetulnya jauh lebih besar karena dimungkinkan penggunaan biodisel 100%. Apabila secara ekonomis dan teknis dapat berjalan, bisa jadi berapapun produk CPO akan terserap oleh konsumsi biodisel dalam negeri. Hal ini sekaligus selaras dengan upaya melestarikan lingkungan karena menggunakan renewable resources yang ramah lingkungan.
Akan tetapi yang perlu dipikirkan secara mendalam adalah bagaimana agar kebun sawit dapat memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat indonesia, bukan pada segelintir konglomerat yang karena memiliki dana besar dapat memiliki konsesi lahan ribuan hektar. Karena berdasarkan konstitusi kita, tanah seharusnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk kemakmuran seluruh rakyat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sektor swasta baik asing maupun nasional yang melakukan investasi kebun sawit di indonesia telah memberi kontribusi yang positif bagi perekonomian indonesia. Yaitu berupa penyerapan tenaga kerja, pendapatan negara dari pajak serta meningkatnya devisa atas eksport CPO. Namun adilkah kalau 6,2 juta Ha kebun sawit dimiliki oleh segelintir konglomerat, sementara kebun rakyat yang mewakili jutaan rakyat indonesia luasannya hanya 4,8 juta ha saja.
Moratorium sawit seharusnya digunakan untuk mencapai rasio yang lebih adil. Kebun rakyatlah yang harus diperbesar luasannya. Baik dengan bersinergi dengan Korporasi (melalui kebun plasma) maupun secara mandiri. TIdak terlalu sulit untuk mencari keseimbangan yang lebih berkeadilan. Hanya diperlukan goodwill dan pengaturan yang winwin solution agar investor tetap tertarik dan secara bertahap penguasaan lahan beralih pada rakyat. Saat ini
sudah ada regulasi yaitu Undang Undang Perkebunan No.18 tahun 2004 yang mengatur bahwa pekebun besar harus membina kebun plasma milik masyarakat minimal 20% dari total kebun yang dimiliki. Pengaturan ini mungkin bisa ditambahkan lagi misalnya dalam waktu 10-15 tahun komposisi antara kebun plasma dan inti menjadi terbalik yaitu (misalnya) 80% kebun plasma yang dimiliki masyarakat dan 20 % inti yang dimiliki investor.Â
Hal ini cukup realistis, karena bagi investor yang lebih penting adalah kepastian suplai tandan buah segar untuk bahan baku pabrik CPO nya dan sumbernya tidak harus dari kebun sendiri (inti). Terbukti dii Bengkulu ada perusahaan sawit swasta nasional yang kebun plasmanya justru lebih besar dari intinya.
Bila hal diterapkan maka seorang kepala daerah tidak serta merta memberikan seluruh potensi lahan di daerah tersebut kepada investor melainkan menyisakan sebagian besarnya untuk nantinya dikembangkan dan menjadi milik warganya.
Hal lain yang bisa diprogramkan adalah mendorong agar kebun sawit rakyat mandiri lebih berdaya guna melalui koperasi. Targetnya dengan gotong royong bisa dibangun pabrik CPO sendiri sehingga tidak tergantung pada pekebun besar. Teknologi yang diaplikasinya bisa jadi berbeda dengan mainstream pabrik CPO modal besar. Prinsipnya adalah bagaimana yang kecil tapi banyak itu menjadi lebih berdaya dan mampu bersaing dengan yang besar tapi sedikit. Untuk itu mungkin diperlukan penelitian yang berpihak pada rakyat. Disinilah peran pemerintah/negara diperlukan. Small is beautifull kata Schumacher.