Mohon tunggu...
Ezra GratyaSiregar
Ezra GratyaSiregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pelanggaran Penggelapan Pajak, Sanksi Berat atau Ringan?

14 Januari 2024   21:32 Diperbarui: 14 Januari 2024   21:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggelapan pajak adalah tindakan melanggar sistem perpajakan dengan melakukan pengurangan jumlah pajak yang harus dibayar  hingga tidak membayar pajak yang harus dibayar melalui cara-cara ilegal. Tindakan ini dapat berupa individu atau perusahaan yang sengaja menyembunyikan, memanupulasi atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayarkan kepada pemerintah. Tindakan ini tentunya akan menyebabkan kerugian kepada negara dan masyarakat secara luas.

Adapun beberapa bentuk penggelapan pajak yang terjadi di Indonesia adalah:

  • Underreporting pendapatan: individu atau perusahaan dengan sengaja melaporkan pendapatannya lebih rendah dari yang sebenarnya agar pajak yang harus dibayar menjadi lebih sedikit atau lebih kecil.
  • Tranfer pricing yang tidak wajar: praktik yang dilakukan perusahaan dengan menentukan harga yang tidak wajar dan lazim dalam transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang memiliki hubungan Istimewa.
  • Overstating biaya: individu tau perusahaan memperbesar biaya operasional dan mengklaim biaya yang sebenarnya tidak relevan dengan tujuan untuk mengurangi pendapatan yang akan dikenakan pajak.
  • Mendirikan perusahaan samaran: mendirikan suatu perusahaan dengan pajak rendah atau bahkan tanpa pajak untuk menyembunyikan aset atau keuntungan yang dimiliki.
  • Menggunakan skema investasi ilegal: terlibat dalam praktik keuangan ilegal untuk menyembunyikan pendapatan dan menghindari pembayaran pajak.

Penggelapan pajak yang terjadi saat ini di Indonesia tentunya merugikan masyarakat dan merugikan negara dengan mengurangi pendapatan negara. Hal ini juga dapat menciptakan keadaan dimana mereka yang tidak terlibat dalam hal penggelapan pajak menjadi menanggung beban pajak yang lebih besar sebagai akibat dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Dalam mengatasi masalah perpajakan ini, diperlukan penegakan hukum dan sistem perpajakan yang transparan agar kewajiban perusahaan dalam menyetorkan pajaknya sesuai dengan kewajiban yang harus dibayarkan atau disetorkan sehingga dapat mengurangi celah yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku penggelapan pajak. Berikut merupakan pasal yang menyatakan bahwa seseorang atau wajib pajak badan melakukan penggelapan pajak, terdapat dalam Pasal 38 Undang-Undang KUP yang berbunyi, Setiap orang yang karena kealpaannya:

  1. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. Menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan tindakan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Sedangkan untuk pasal 39 ayat 1, setiap orang yang dengan sengaja:

  1. Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP);
  2. Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau pengukuhan PKP;
  3. Tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
  4. Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
  5. Menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
  6. Memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya:
  7. Tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
  8. Tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
  9. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang bayar.

Pada Pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa:

Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.

Lalu, pada Pasal 39 ayat 3 dikatakan:

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.

Tindak pidana penggelapan pajak merupakan hal yang sudah tidak jarang lagi di Indonesia bahkan sudah bersifat meluas dan dilakukan oleh beberapa oknum dengan tujuan untuk melepaskan tanggung jawab mereka sendiri dari kewajiban sebagai wajib pajak. Dampak yang dapat ditimbulkan dari kasus penggelapan pajak ini adalah menghambat perkembangan negara yang merugikan pemeritah dan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa pajak adalah sumber penerimaan negara yang digunakan untuk melakukan perkembangan negara. Indonesia sendiri telah menetapkan sistem-sistem yang memudahkan para wajib pajak dalam melakukan pelaporan SPT sendiri, tetapi seperti yang terjadi saat ini masih banyak individu dan perusahaan yang melakukan penggelapan pajak. Maka dari itu seperti yang sudah diatur dalam pasal 1 ayat (1) UU RI no. 19 tahun 1997 dan UU RI no. 19 tahun 2000 yang mengatur penagihan pajak dengan surat paksaan sebagai salah satu cara kepada pelaku tindak pidana agar memberikan efek jera dan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya.

Sebagaimana diketahui bahwa pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang yang berlaku sehingga jika tidak dipatuhi dan dilanggar akan dikenakan sanksi berdasarkan peraturan yang berlaku. Seperti yang tertuang dalam Pasal 38 Undang-Undang KUP, pelanggar akan dikenakan sanksi dalam hal tidak menyampaikan surat pemberitahuan yang telah diatur dalam pasal tersebut. Ditjen pajak yang memiliki peran sebagai otoritas pajak dengan peran salah satunya adalah sebagai penegak hukum. Ditjen pajak melakukan penegakan hukum bagi pelaku yang melanggar hukum pajak penegakan hukum ringan (Soft Law Enforcement) dikenakan atas pelanggaran yang bersifat administrasi, yaitu berupa denda atau bunga (sanksi administrasi umum), misalnya telat lapor SPT tahunan Orang pribadi dikenakan denda Rp.100.000,- penegakkan hukum berat (Hard Law Enforcement) dikenakan atas tindak pidana perpajakan, sanksi yang dikenakan adalah sanksi administrasi khusus dan sanksi pidana. Tetapi, UU KUP juga dapat memberikan peluang kepada pelaku penggelapan pajak agar bebas dari jeratan hukum pidana seperti penghentian penyidikan dapat dilakukan setelah wajib pajak melunasi utang pajak dan dendanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun