Mohon tunggu...
Tri bowo
Tri bowo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terenggut Sang Waktu

2 Oktober 2015   23:15 Diperbarui: 3 Oktober 2015   00:44 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan memang penuh misteri, angin yang tak terlihat namun dapat di rasakan, nyawa yang tak tahu dimana namun membuat setiap mahluk menjadi hidup serta masih banyak sekali misteri yang tak bisa di sebutkan satu per satu. Begitu juga dengan aku, yang terlahir dengan keadaan seperti ini. Suatu keadaan yang mungkin setiap orang enggan menerimanya, bahkan aku sendiri tak mau menerimanya jika aku bisa menolak. Layaknya air yang mengikuti alur sungai, aku hanya bisa mengikuti arus itu. Entah sampai kapan, aku sendiri tak tahu semua ini akan tetap ada. Yang pasti saat ini kehidupanku masih berjalan sewajarnya meskipun batas itu telah terlewati. Aku benar-benar tak tahu apa-apa tentang hidupku. Yang aku tahu aku hanya seorang anak yang hanya di asuh oleh wanita tua yang tak lain adalah nenekku.

*******

Pagi itu, awan menatah jejaknya di langit biru, nyanyian burung pun terdengar samar. Sedangku tampak lelah lunglai tak berdaya di atas ranjang kayu istimewa ini. Langkah kaki sang waktu pun terdengar lekat di telinga, yang menandakan bahwa waktu tak pernah berhenti mengejarku. Cahaya mentari yang tampak menembus gorden, tersilap halus di mata lebam. Tak berapa lama, ada sebuah teriakan yang amat menderu indera ini. Sontak aku terjaga dengan cepat dan menatap benda itu dengan heran. Betapa terkejutnya aku saat itu, karena melihat kaki panjang sang waktu telah menodong angka 5, sedang kaki pendek telah melewati angka 8. Tak membuang waktu, ku bawa tubuh lemas ini ke sebuah ruangan kecil yang berada di samping kamar. Ku lucuti seluruh pakaian yang membungkus tubuh ini, lalu ku siram kan segayung air dari kepala ke seluruh tubuh, ku ulangi hal itu hingga tubuh ini benar-benar basah dan ku bersihkan hingga benar-benar segar. Tak ada yang lain di kepalaku selain terlambat dan terlambat, ya begitulah aku yang memang terkenal si rajin dari UNIT 4 (sebuah sebutan untuk menunjukan salah satu desa di daerahku) yang tak pernah terlambat sekalipun sebelumnya. Namun sepertinya, kali ini aku benar-benar terlambat. Lihat saja , pukul berapa ini? Benar saja, meskipun ku kayuh sepeda ini sekuat tenaga, tetap saja gerbang sekolah sudah tertutup. Tak beralasan lagi ku putar balik sepeda ini dan ku titipkan pada sebuah warnet yang tak jauh dari sekolah. Lalu ku lompati saja pagar pembatas yang tak terlalu tinggi di depan mata. Ku cepatkan langkah kaki berlari menuju kelas, yang belum lama ini aku huni. Betapa leganya aku, saat kulihat teman-teman sebayaku masih bermain di depan kelas. Ya begitulah, lagi dan lagi sepertinya guru tak bisa menyampaikan materinya lagi. Tak tahu pasti apa alasannya, yang pasti sebagian dari kami bersorai gembira. Lebih kurang seminggu terakhir kegiatan belajar mengajar tak efektif. Setiap tahunnya selalu saja seperti ini. Seperti halnya pancaroba yang datang setiap pergantian musim, sekolah kami pun tak jauh berbeda dengan itu. Selalu saja ada masa-masa penyesuaian di setiap pergantian semester.

Siang itu mata ini benar-benar lumpuh,rasanya tak sanggup lagi menatap. Semua kegiatan sekolah pun sudah usai tanpa ada yang bisa dilakukan selain bermain dan bercanda dengan handai taulan. Aku pun beranjak hilang dari area pendidikan itu dengan gegas, lalu menuju sebuah arah yang tak asing lagi bagiku. Tampak dari mata yang menahan kantuk ini seorang gadis yang tidak lain adalah sahabat karibku. Erza Kirana, itulah namanya. Mata kecil, perawakan model dan berkulit hitam manis menjadikannya buruan para pencari cinta di sekolahku dulu. Aku sendiri tidak ingat sejak kapan aku berteman dengan seorang super girl itu. Yang pasti kami telah bersama lebih dari 2 tahun dan tahun ini merupakan tahun ketiga. Kami memang dari sekolah yang sama namun di kelas yang bebeda. Tak tahu apa yang ku pikirkan saat itu, hanya saja aku seperti melihat seorang bidadari dengan rambut terurai dengan indahnya. Angin lemah yang menerbangkan untaian rambut demi rambut membuatnya semakin manis selaras dengan lesung pipi yang terbentuk bersamaan mengikuti senyumnya tampak menyambut kedatanganku. Tampaknya ia sudah menunggu lumayan lama untukku disana. Segera ku temui dia dengan suasana hati tak menentu. Mata yang sebelumnya layu seakan tak mau terbuka, kini seolah segar kembali seperti sedia kala. Entah apa yang kami bicarakan disana, hingga tiba-tiba kami terkejut melihat sang surya mulai melukis langit menjadi keemasan. Aku segera meninggalkan tempat itu, begitu juga dia. Dengan sepeda mininya ia kayuh secara perlahan menjauh. Memang arah rumah kami saling berlawan, sehingga aku tidak lagi bisa pulang bersama. Hari ini ia akhiri hariku dengan lambaian tangan yang lentik, seolah olah ia menari untukku. Tak selang berapa lama, sahutan suara adzan saling beradu satu sama lain di sudut-sudut kampung kecil ini. Ku tengadahkan kepalaku dan kupejamkan sejenak mata ini untuk menghirup udara sedalam dalamnya sebelum ku kayuh pedal dengan semangat.

*******

Malam ini terasa sedikit dingin, angin malam yang berbaur dengan hadirnya sang ratu malam semakin menandakan betapa akan dinginnya malam ini. Kutarik selimut tebal membungkus tubuh yang terasa semakin dingin. Dalam bayangan malam kulihat seorang wanita tua mendekat kekamarku. Betapa rapuh tubuh itu, dengan bahasa yang lembut ia membisikanku sesuatu. Aku tercengang saat itu tentang apa yang beliau katakan. Di malam yang dinginnya mulai menusuk tulang, beliau mengajakku untuk mengambil wudhu. Dalam perasaan gaduh, aku turuti saja pintanya. Tak ada bisa yang ku lakukan lagi, karena mau tidak mau aku merasa malu sekaligus terheran. Sebegitu kah semangat para orangtua, di sisi lain aku merasa malu, diriku yang masih muda ini tak memiliki semangat yang begitu tinggi, bahkan cenderung terus bermalas malasan. Seusainya aku masih berfikir, apa aku akan menjadi tua lebih cepat dari apa yang aku duga. Bayangkan saja, sepertinya kemarin aku baru saja belajar untuk menepakkan kaki dan berjalan, namun saat ini lihatlah aku, aku sudah tumbuh sebegini besar. Ya , mungkin di masa mendatang aku baru tersadar bahwa kulit ini telah menjadi keriput, dan tulang-tulang ini telah rapuh termakan usia. Malam ini benar-benar mengajarkanku bahwa betapa brutalnya sang waktu. Jika kita tidak benar benar serius menghadapi masa depan, bisa jadi kita akan terlindas roda waktu yang terus berputar tanpa pernah berhenti 0.00001 detik pun. Itulah hidup, memang terus berputar, namun tak bisa kembali.

Bersambung.....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun