Mohon tunggu...
Eza Kurniawan
Eza Kurniawan Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak: Ajang Demokrasi atau Ladang Korupsi?

14 Mei 2017   13:20 Diperbarui: 14 Mei 2017   13:42 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hadir sebagai bangsa yang unik─dengan berbagai suku, bahasa, agama, pulau dan warna kulit─Indonesia dengan berbagai sistem yang dimiliki, tidak selalu mendaulat demokrasi menjadi sistem tata kelola politik. Sebelum negara ini terbentuk sebagai bangsa yang berdiri dan merdeka, bangsa ini terdiri dari wilayah yang digerakan oleh kerajaan-kerajaan dari daerah timur hingga barat. Beruntung bagi kita yang hidup di zaman milenium, negara ini sudah berdiri merdeka, tanpa ada tekanan dari para penjajah fisik.

Sebagai negara merdeka, tentu bukan rahasia lagi bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah demokrasi kerakyatan. Tentu ini merupakan sistem yang sangat cocok dengan kondisi masyarakat yang multikultural. “Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”(Abraham Lincoln 1865). Sejak dahulu ketika faham ini tumbuh subur di bumi eropa dan dianggap sebagai terobosan politik revolusioner masa itu. Perkembangan paham liberal yang di usung oleh kaum borjuis ikut menyokong munculnya paham demokrasi.Indonesia telah ‘mencicipi’ pemerintahan demokrasi ketika diadakan pemilu pertama pada tahun 1955.

Namun pada pemilu 1955, banyak hal ‘kotor’ dalam pelaksanaan pemilu. Korupsi, kolusi, dan nepotisme banyak dilakukan oleh para calon pemimpin, maupun oleh petugas-petugas tak suci. Tetapi ternyata, bukan pada pemilu terdahulu saja. Hingga saat ini, ajang pesta demokrasi kerap dijadikan sasaran empuk penyelewengan uang negara. Bahkan tidak hanya uang negara, praktik KKN lainnya pun dilakukan oleh pihak-pihak penuh dosa.

Tidak dapat dipungkiri, fakta penyelewengan dana dapat dilihat dengan mata kepala sendiri. Bahkan di daerah asal penulis, praktik menyimpang ini terjadi adanya. Salah satu calon wakil rakyat daerah melakukan politik uang. Pelaku memberikan uang secara tunai sebesar 20-30 ribu per orang, melalui petugas suruhannya. Ditambah dengan membagikan kompor dan gas LPG setiap kepala keluarga. Padahal, KPK telah mengimbau masyarakat berpikir rasional dalam memilih kepala daerah pada pilkada 2017 ini. Rasional yang dimaksud adalah dengan tidak memilih calon yang berpotensi merugikan masyarakat. Jika belum terpilih menjadi pemimpin saja berani mengotori tangan, apalagi nanti? Mungkin tangannya menjadi  hitam legam penuh dosa yang akan merugikan berbagai pihak

Tidak hanya dilakukan oleh para calon ‘wakil rakyat’. Tetapi petugas pelaksana pemilu ikut cuci tangan dengan kucuran limbah. Baru baru ini muncul di beranda media elektronik, bahwa telah tertangkap 4 kasus dugaan korupsi pengadaan alat peraga kampanye (APK) di KPU Sulawesi Barat yang diduga merugikan negara hingga Rp 9 miliar.Merasa tidak ingin terkalahkan, muncul juga kabar bahwa Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah timur Indonesia, melakukan penyelewengan dalan pengelolaan dana hibah untuk penyelenggaraan pilkada.

Dalam kondisi darurat ini, masyarakat Indonesia bisa melihat, menilai, dan merasakan pedihnya kekacauwan bangsa. Akhir-akhir ini demokrasi telah ‘tercabuli’ oleh berbagai perilaku-perilaku para politisi negeri yang memanfaatkan mandat rakyat sebagai jalan untuk merealisasikan ambisi diri. Kejahatan yang di politisasi semisal “korupsi” telah menjelma sebagai jalan seksi untuk mengisi saku sendiri. Janji suci sudah tidak dianggap lagi sebagai hal yang harus ditepati. Bagian terpenting bagi mereka adalah duduk manis dikursi menunggu surat-surat lahan korupsi. Lalu bersafari keluar negeri dengan dalih demi rakyat sendiri.

Selain korupsi, ada yang baru. Yaitu salah satunya mengenai fenomena penggelebungan suara-suara dalam pemilu, hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk kursi kekuasaan baik untuk duduk sebagai presiden, DPR, DPD, DPRD 1, DPRD II, maupun kepala daerah. Pesta demokrasi 15 Februari 2017 yang lalu telah kita lalui bersama. Episode baru akan segera dimulai. Layar politik siap menampilkan tononan menarik. Lenggak lenggoknya para aktor dan aktris dengan apik dan cantik. Dan kami hanyalah penonton yang disuguhkan alur dan konflik. Apakah berakhir pelik atau cantik ? Drama hidup mereka, bisa anda lihat sendiri.

Referensi:

Aziz, Nuraki (2017). Pilkada serentak 2017 di 101 daerah. Diakses dari http://www.bbc.com/indonesia/ pada tanggal 24 Maret 2017 pukul 01.44

Fadhil, Haris (2017). Jelang Pilkada Serentak, KPK Imbau Warga Rasional dalam Memilih.  Diakses dari https://news.detik.com/ pada tanggal 14 Februari, 2017 pukul 23.36 WIB.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun