Mohon tunggu...
Eza Ihza Mahendra
Eza Ihza Mahendra Mohon Tunggu... Guru - Alumni Pendidikan Sejarah UNJ dan Pendidikan Profesi Guru UNTIRTA

Teaching and Education • History Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penetrasi Kapitalisme di Hindia Belanda Abad ke 20: perasaan, gagasan, dan tindakan.

17 Desember 2024   19:10 Diperbarui: 17 Desember 2024   19:10 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada paruh kedua abad ke-19, Hindia Belanda mengalami sebuah perubahan sosial yang sangat cepat dan dahsyat. Hal tersebut merupakan sebuah implikasi dari dikeluarkannya kebijakan -- yang kemudian disebut Politik Pintu Terbuka (Opendeur Politiek) oleh pemerintah Hindia Belanda. Diterapkannya kebijakan Politik Pintu Terbuka pada tahun 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda menandai dimulainya sejarah kapitalisme di tanah jajahan. Penetrasi kapitalisme di tanah jajahan telah mengubah sendi-sendi kehidupan masyarakat dengan berkembangnya perkebunan besar, perubahan aturan tenaga kerja dan penyewaan tanah dari petani. Penetrasi kapitalisme membawa masuknya banyak modal di tanah jajahan, sehingga infrastruktur kemudian menjadi elemen yang sangat penting sebagai pendukung gerak modal. Dengan demikian, pada akhir abad ke-19 negara kolonial mulai melakukan pembangunan besar-besaran di tanah jajahan, seperti misalnya; jalan raya, pelabuhan dan kantor dagang, jaringan kereta api diperluas; bank -bank mulai tumbuh; dan pendidikan didorong untuk menyiapkan tenaga kerja yang akan menggerakkan semua perlengkapan yang dibangun tersebut. Hubungan sosial produksi lama menjadi usang dan tidak relevan karena adanya penetrasi kapitalisme. Raja-raja tidak lagi memiliki kekuatan dengan kekuasaannya, karena kapitalisme telah memunculkan "raja-raja" baru, yaitu para pemilik modal. Masyarakat Hindia Belanda benar-benar menghadapi perubahan sosial yang dahsyat, sebuah realitas baru yang sebelumnya tidak pernah ada di dalam jangkauan pikirannya.

Krisis Makna

Penetrasi kapitalisme terus membawa persoalan sosial yang laten. Banyak petani mulai kehilangan tanahnya, dominasi alat-alat produksi di tangan tertentu, dan buruh upahan yang makin lama makin meningkat. Persoalan ini kemudian berkembang menjadi ketegangan di dalam masyarakat. Pemberontakan-pemberontakan petani di seluruh Jawa yang terjadi sepanjang  akhir abad ke-19 menjadi salah satu bentuk awal dari reaksi rakyat yang langsung merasakan akibat-akibat dari adanya perubahan sosial yang begitu dahsyat. Pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh para petani ini didorong oleh gagasan Ratu Adil atau Perang Suci di bawah pimpinan para pemuka agama dan tokoh desa lainnya -- mereka menjadi satu-satunya kekuasaan alternatif yang sangat terbatas di samping kekuatan besar kekuasaan kolonial. Hal yang paling penting dari ideologi ini adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu di dunia ini sudah ditetapkan sebelum diciptakan. Setiap perubahan yang mendasar adalah ancaman terhadap tata sosial, apalagi perubahan yang terjadi adalah penetrasi kapitalisme di Hindia Belanda. Tindakan-tindakan yang didorong dengan menjunjung panji-panji Ratu Adil ternyata tidak mampu menjangkau kerumitan perubahan sosial yang tengah terjadi, apalagi mengatasinya. Bahasa yang mereka gunakan, seperti simbol-simbol kejayaan masa lalu, tidak dapat merumuskan perubahan sosial yang terjadi. Terjadi suatu krisis makna di tengah perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat.

Gagasan dapat mengonsolidasikan kekuatan sosial dalam masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana masyarakat di tanah jajahan merumuskan perubahan sosial yang tengah terjadi? Ketika bahasa lama yang digunakan sudah usang dan menjadi tidak relevan. Pada titik inilah masalah bahasa menjadi sangat penting. Buku Perang Suara : Bahasa dan Politik Pergerakan karya Hilmar Farid yang membahas tentang bahasa dan politik pergerakan akan sangat membantu kita dalam memberikan gambaran yang utuh  mengenai pergeseran suatu pemahaman yang sangat radikal dari masyarakat Hindia Belanda, yang berakar pada suatu krisis makna yang terjadi di tengah perubahan sosial yang berlangsung.

Zaman Etis

Ekspansi kapitalisme tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di tanah jajahan, pendapatan penduduk bumiputra masih sangat kecil dibandingkan pengusaha swasta perkebunan sehingga menciptakan ketimpangan besar. Oleh karena itu, tanah jajahan kemudian menjadi tidak memadai untuk dijadikan sebagai pasar dari produk-produk negeri induk. Modal-modal yang diekspor oleh para pengusaha perkebunan Eropa ke tanah jajahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia. Artinya, bagi para pemilik modal tanah jajahan hanya dijadikan sebatas tempat produksi untuk mendapatkan tanah dan tenaga kerja murah -- sejalan dengan logika kapitalisme dalam mengeruk keuntungan yang berlipat-lipat ganda. Ketidakmampuan negeri induk untuk memanfaatkan tanah jajahan sebagai pasar menjadi salah satu pendorong dicetuskannya Politik Etis pada tahun 1901, yang secara resmi diungkapkan dalam pidato Ratu Wilhelmina. Akan tetapi, politik etis tidak banyak mengubah eksploitasi di tanah jajahan.

Di awal abad ke-20 sebuah zaman baru dimulai dalam politik kolonial dengan sebuah semboyan tentang "kemajuan". Semangatnya adalah "kemajuan menuju modernitas"; dalam arti kemajuan yang perkembangannya tetap di bawah pengawasan pemerintah kolonial (rust en orde) dan modernitas yang dapat dipahami sebagai peradaban barat. Takashi Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Zaman Bergerak : Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 memberi nama untuk zaman baru ini dengan sebutan zaman etis. Salah satu kemajuan yang didorong oleh politik kolonial pada zaman etis adalah perluasan pendidikan gaya Barat. Perluasan pendidikan gaya Barat menandai diberlakukannya politik etis secara resmi. Pendidikan ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja yang diperlukan oleh negara dan para pengusaha swasta, tetapi juga menciptakan peradaban Barat di Hindia Belanda -- politik kolonial menyebutnya sebagai modernitas.

Dengan dimulainya zaman etis pada awal abad ke-20, membuka kesempatan bagi masyarakat di tanah jajahan (khususnya bumiputra) dalam mendapatkan pendidikan gaya Barat, yang kemudian dari pendidikan ini akan melahirkan sebuah entitas yang disebut sebagai kaum muda. Pengalaman pendidikan gaya Barat ini membentuk kesadaran yang baru bagi mereka yang mengalaminya. Di sekolah-sekolah mereka belajar banyak hal modern dalam bahasa Belanda. Kemampuan berbahasa Belanda merupakan kunci untuk membuka dunia dan zaman modern. Penggunaan bahasa ini memaksa mereka meninggalkan bahasa serta alam pikir yang dirumuskan dalam bahasa tersebut dan mulai berpikir dalam bahasa modern. Mereka kemudian mulai dapat membayangkan seluruh wilayah dan penduduk Hindia Belanda dalam kesatuan. Mereka inilah yang kemudian mengembangkan gagasan modern tentang "bangsa" di Hindia Belanda.  

Dengan dimulainya zaman etis yang memiliki semangat "kemajuan menuju modernitas", hal-hal tradisional menjadi kehilangan maknanya yang utuh karena dipaparkan berdampingan dengan hal-hal modern. Namun, zaman etis juga memberikan sesuatu yang penting khususnya dalam membentuk kesadaran nasional dari kaum muda. Mereka sebagai bumiputra di Hindia Belanda bergerak bersama "bangsa-bangsa" lain dalam garis yang tidak terhingga menuju modernitas, yang memberikan makna pada keberadaan mereka saat itu. Mereka berbagi pengalaman, gagasan, dan asumsi tentang dunia, Hindia, dan zaman mereka. Untuk sementara waktu "embrio bangsa" ini belum mendapatkan nama. Akan tetapi, sebelum Indonesia  "ditemukan", embrio bangsa ini telah hadir dalam pikiran dan gaya kaum muda dan nantinya segera memperoleh alat kelembagaan untuk mengungkapkan kesadaran nasionalnya. Alat itu adalah surat kabar.

Zaman Mogok

Pertentangan atau gejolak yang timbul tidak senantiasa mencerminkan pertentangan antar-kelas dalam masyarakat tanah jajahan. Pertentangan antar-kelas secara historis membentuk kekuatan-kekuatan politik dalam periode tertentu. Dalam konteks penetrasi kapitalisme di Hindia Belanda terbentuk borjuasi dan buruh. Kekuatan-kekuatan politik ini pada gilirannya tidak selalu membentuk organisasi politik yang langsung mencerminkan kepentingan kelas. Hubungan antara kelas dan politik memang tidak "niscaya". Akan tetapi, tidak ada konflik yang tidak berakar secara struktural dalam pertentangan kelas.

Dalam kongres Centraal Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada tahun 1918 misalnya. CSI menyerukan tentang "perjuangan ekonomi" dan pengorganisasian petani dan buruh serta menyerang kapitalisme dan pelindungnya, yaitu pemerintah kolonial Belanda. Terjadi sebuah perubahan besar dalam aktivitas CSI. Dalam kongres, Semaoen dan Darsono ditunjuk sebagai komisaris dan propagandis CSI. Pergeseran ke aktivitas politik yang lebih radikal dari CSI ini mungkin akan lebih banyak yang menganggap sebagai keberhasilan infiltrasi dari tokoh-tokoh ISDV ke CSI. Akan tetapi dengan menurunnya tingkat hidup bumiputra secara umum, akan sangat masuk akal jika pada saat itu gagasan sosialisme memang sangat digemari.

Perjuangan ekonomi terbukti berhasil. Dengan didirikannya serikat-serikat buruh dan dilancarkannya aksi-aksi pemogokan. Pada saat itu buruh bumiputra bertambah resah karena inflasi yang terus terjadi, sementara bisnis Belanda terus meraih keuntungan besar, namun upah buruh tetap rendah. Dalam konteks ini, sebenarnya yang paling menarik untuk dilihat adalah sikap dari pemerintah kolonial Belanda dalam menyikapi aksi pemogokan yang dilakukan oleh buruh. Dengan logika yang sama dengan semangat dari zaman etis, pemerintah awalnya melihat tidak ada yang perlu dicela dari perjuangan ekonomi, karena pada akhirnya memang tidak dapat dihindari. Jika orang buta terhadap hak-hak politik mereka, tidak melakukan apa-apa terhadap keterbelakangan ekonominya, dan tidak memiliki kekuatan untuk mengangkat diri dari keterbelakangannya, mereka tidak akan dapat mengembangkan diri baik secara cepat maupun secara bertahap, dan akan menjadi mangsa pertentangan di dalam dirinya. Oleh karena itu perjuangan ekonomi akan merangsang perkembangan politik. Dengan demikian, sikap pemerintah pada dasarnya netral, membatasi diri pada peran mempertahankan aturan. Dengan situasi yang menunjang ini, banyak pemogokan dilakukan dan serikat buruh semakin banyak bermunculan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun