Mohon tunggu...
Eyok Elabrorii
Eyok Elabrorii Mohon Tunggu... Penulis - penulis fiksi

Penulis yang mencintai blues dan air mineral.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tidak Ada Hujan November ini

20 Oktober 2020   19:38 Diperbarui: 20 Oktober 2020   22:34 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ah, Aziza. Apakah kau bisa membedakan mana agama? Mana tradisi?”

“Bagaimana kau bisa berkata begitu?”

“Aziza...” belum selesai Ojan bicara, sebuah batu sudah mendarat di keningnya. “Ojan...” Aziza menangis melihat darah mulai menetes dari kening lelakinya itu. “Lihat, Aziza. Sekarang kita akan mati bersama. Seperti apa yang kamu harapkan dalam suratmu itu.” Sekarang sebuah batu mendarat pada kepala Aziza. Dia meringis. Langit tetap saja menganga kebiruan walaupun darah telah keluar dari dua kepala di lapangan itu.

“Bedanya, tradisi itu dilakukan oleh orang-orang yang suka dan rela, sedangkan agama dilakukan oleh orang-orang berdosa seperti kita, Jan.”

 Batu-batu itu terus menghujani mereka. Akan ada seratus batu yang akan mendarat pada tubuh mereka yang telah dikubur sampai leher di lapangan itu. Hari ini mereka benar-benar dirajam. Tuan guru Raden memimpin hukum itu. Sebagian besar santri terlihat menikmatinya, lebih-lebih mereka yang sudah muak dengan kelakuan Ojan di kelas belakangan ini. Para santri itu seperti merayakan sebuah hari kemenangan di mana mereka berkuasa sepenuhnya untuk mengakhiri nasib ustadz dan anak Tuan Guru mereka.

Ini adalah kejadian pertama hukum rajam dijalankan di pesantren itu. Para santri yang terisolasi dari dunia luar, seperti mendapat sebuah hiburan.

“Aziza, apa kau masih sadar?”

Aziza tidak menjawab, dia hanya sedikit memicingkan matanya yang sudah berlumuran aliran darah. Ojan menangis. Dia mengingat kedua orang tua dan bagaimana dia berusaha keras mengubah nasibnya. “Ah, menjadi sia-sia saja usahaku selama ini. Orang-orang tidak akan mengenangku sebagai orang suci, melainkan akan mengenangku seperti ayah. Baiklah. Paling tidak aku beruntung, karena pastinya orang-orang akan menganggap perbuatanku wajar saja, mengingat ayah sendiri adalah seorang begajulan.”

Matanya semakin sayu juga, Aziza di sampingnya sudah tidak bersuara lagi. Barangkali dia sudah tidak ada. Langit yang menganga itu, perlahan diatapi awan hitam. Keadaannya sudah berubah sekarang. “Lihat, Aziza. Apa yang aku katakan sepertinya benar.” Tapi awan sepertinya sangat berat untuk berkumpul. Malahan langit sepertinya akan lapang lagi. “Ah, tapi lagi-lagi Aziza. Tidak ada hujan November ini. Barangkali bukan sebab kita, tapi norma. Bukan hanya kita yang berdosa, Aziza. Bukan hanya kita.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun