Mohon tunggu...
Exzelda Darbellis Gabriella
Exzelda Darbellis Gabriella Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya mempunyai hobi melukis dan menari, kepribadian saya lebih cenderung pendiam namun masih mempunyai peran aktif dalam keorganisasian. Saya lebih menyukai konten yang dapat meng influence masyarakat dalam hal bisnis, karir, serta saya menyukai konten yang berhubungan dengan pendidikan bahkan ingin menjadi konten creator.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Dampak Media Sosial Pada Pola Pikir Generasi Muda: Krisis Identitas dan Koneksi Antar Penggunanya

24 Desember 2024   19:18 Diperbarui: 24 Desember 2024   19:18 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Di era digital saat ini, penggunaan media sosial menjadi kebiasaan yang susah untuk ditinggalkan, terutama di kalangan Generasi Muda atau Generasi Z. Kemajuan teknologi yang semakin canggih ini mampu membuat media sosial menjadi permasalahan utama karena sudah melekat pada generasi muda dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, sangat penting bagi saya untuk menganalisis secara logis dan kritis bagaimana media sosial mempengaruhi pola pikir generasi muda saat ini. Media sosial seperti Instagram, TikTok, atau Twitter tidak hanya berfokus sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber informasi, hiburan, dan identitas. Namun, dampak media sosial terhadap pola pikir Generasi Muda sangat signifikan dan menjadi sorotan terutama dari dampak negatifnya.

Media Sosial Terhadap Krisis Identitas

Media sosial merupakan platform digital berbasis internet yang berperan secara signifikan untuk memperdalam krisis identitas dengan melibatkan semua penggunanya dalam berinteraksi maupun berkomunikasi secara online (Islami et al., 2022). Di mana media sosial seperti Instagram, TikTok, Facebook, atau Twitter ini mampu mengakses berbagai layanan di seluruh dunia dan memunculkan citra diri dalam setiap individu (Mahmud, 2024). Namun, citra diri tidak sepenuhnya bersifat positif dan banyak faktor yang mempengaruhinya, terutama dalam menggunakan media sosial. Hal tersebut dapat dilihat dalam perbandingan sosial, ketika membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain akan membuat perasaan menjadi iri dan dapat menurunkan rasa percaya diri (Farida & Abdillah, 2022). Kurangnya rasa percaya diri akan menunjukkan sikap yang tidak responsif terhadap sesuatu, serta sangat merugikan (Adawiyah, 2020). Selain itu, citra diri biasanya menjadi tidak faktual, karena terkadang didorong untuk memenuhi ekspektasi dengan mencari validasi melalui like atau komentar. 

Kurangnya rasa percaya diri dapat dipengaruhi dengan emosi yang dialami sesaat oleh dirinya sendiri (Diri & Remaja, 2020). Kebanyakan seseorang merasa tidak percaya diri ketika melihat postingan orang lain di media sosial, seperti memiliki fisik yang sempurna atau poster tubuh yang ideal, gaya hidup gelamor, serta keinginan yang selalu terpenuhi. Hal tersebut bisa mengakibatkan turunnya rasa percaya diri dengan mengalami kecemasan bahkan sampai depresi. 

Menurut penelitian (Junior, Mental Emotional Symptoms'Determin Nants Of High 2017) penggunaan media sosial menjadi salah satu dampak yang dapat mengakibatkan gejala depresi sampai ada kepikiran untuk bunuh diri, lalu disebutkan bahwa pada usia muda (14,8%) kemungkinan bisa mengalami depresi yang lebih tinggi daripada orang dewasa (8,4%) (Nur Cahya et al., 2023). Hal ini terjadi karena remaja memiliki emosi yang sulit untuk dikontrol dan penuh dengan amarah. Sehingga, para remaja khususnya Generasi Muda seringkali kehilangan kendali atau belum bisa sepenuhnya mengendalikan suasana hati mereka dengan baik, serta tidak berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan. 

Individu biasanya ingin terlihat sempurna di media sosial, tetapi terkadang apa yang diposting atau diunggah tidak sesuai dengan realitanya, seperti penggunaan filter secara berlebihan agar terlihat cantik/ ganteng hanya untuk menarik perhatian, dsb. Oleh karena itu, muncul masalah internal yang mengacu pada krisis identitas. Di mana seorang pengguna tidak memiliki keterkaitan dengan dirinya sendiri atau tidak sesuai dengan versi yang mereka miliki sebenarnya.

Minimnya Interaksi di Era Digital

Dinilai media sosial dibuat untuk membangun hubungan dengan orang lain, tetapi justru membuat interaksi yang kurang efektif. Generasi Muda bisa terhubung secara online atau digital antara satu sama lain, tetapi mereka menjadi kurang interaksi secara langsung untuk merasakan perasaan emosional lawan bicara melalui tatap muka. 

Menurut jurnal-jurnal yang diambil (Mely Muliati & Nurul Aiyuda, 2022) disebutkan bahwa individu yang merasa kesepian cenderung lebih banyak menghabiskan waktu dengan melihat media sosial, karena mereka dapat mengekspresikan diri melalui media sosial tersebut. Semakin tinggi tingkat kesepian, maka semakin tinggi juga seorang individu atau Generasi Muda untuk memainkan gadget ataupun media sosial.

Dalam hal pencitraan, pengguna juga ingin menunjukkan best moment mereka kepada pengguna media sosial lain, agar membantu Generasi Muda dalam melakukan interaksi dan memiliki timbal balik satu sama lain. Namun, kebanyakan orang ingin membentuk "branding" diri terlebih dahulu daripada menciptakan hubungan yang mendalam. 

Solusi untuk Generasi Muda dalam Kesadaran Teknologi 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun