Mohon tunggu...
Exti Budihastuti
Exti Budihastuti Mohon Tunggu... PNS -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibuku tidak Kaya

18 Januari 2017   11:08 Diperbarui: 25 Januari 2017   13:31 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku, ibu, Fira, dan Yudhis (dokpri)

Lahir di Purworejo, 1 Oktober 1934. Setidaknya begitulah yang kubaca di KTP ibuku. Belum sempat kutanya, mengapa harus tanggal itu. Padahal, ibuku pernah mengatakan bahwa kakak beradik di keluarganya tak ada yang tahu pasti tentang tanggal kelahirannya. Yang kutahu, tanggal kelahiran itu adalah tanggal kelahiran kakak tertuaku. Sebenarnya kakakku itu adalah anak kedua ibuku, tetapi karena anak pertama meninggal dunia pada saat dilahirkan, maka jadilah dia menjadi anak pertama ibu bapakku yang memiliki tanggal lahir yang sama dengan ibunya hingga kini.

Aku anak kelima. Waktu aku dilahirkan, usia ibuku berusia tiga puluh dua tahun. Berarti ketika melahirkan anak pertama, ibu berusia dua puluh lima tahun. Hebat. Berturut-turut selama tiga tahun, ibu melahirkan anak pertama, kedua, dan ketiga. Selanjutnya, selang empat tahun, lahir anak keempat dan kelima. Adikku lahir pada saat usia ibuku tiga puluh empat tahun. Ibuku kaya, kaya anak. Setidaknya begitulah yang kulihat sekarang ini.

Ibuku kaya anak. Aku jadi ingat pepatah lama, banyak anak banyak rezeki. Awalnya aku tidak percaya pada pepatah itu. Melihat rumahku yang kecil di salah satu perumahan rakyat, aku tak percaya kalau ibuku banyak rezeki. Sejak tahun 1979 kami menempati rumah itu, tidak ada renovasi rumah besar-besaran. Bangunan awal rumah kami masih utuh. Penambahan ruangan hanya di sisi kanan dan bagian belakang rumah. Sejak tahun 1980 teras rumah bertahan pakai “awning” hingga kini. Hanya lantai teras rumah yang pakai lantai traso, cukup mewah.

Kakakku yang pertama merantau, bekerja di dinas perkebunan, menikah dan menetap di Tanjung Pinang. Kakak kedua menikah setelah resmi jadi pegawai negeri sipil, lalu menetap di Bojonggede. Kakak ketiga bekerja di perusahan percetakan, menikah, dan menetap di Surabaya. Adikku bekerja di perusahaan pendingin suhu mobil, menikah, dan menetap di Bekasi. Aku sendiri bekerja sebagai guru, menikah, dan menetap di Jakarta. Awalnya aku berpikir, apakah karena ibuku tidak kaya, sehingga kami bercerai berai seperti ini? Padahal, dulu ibuku bekerja di jawatan Post Telegraaf Telefoon (PTT) Jakarta. Karena punya pengalaman menyedihkan ketika melahirkan anak pertama, ibu diminta berhenti bekerja ketika hamil anak kedua.

Namun, konsep “ibuku tidak kaya “ yang aku miliki ternyata salah. Ibuku memang tidak kaya materi, tetapi sekarang ibu memang benar-benar “kaya”. Dengan 5 anak, 14 cucu, dan 3 cicit, di usia ke delapan puluh dua tahun, ibuku masih bisa menikmati hidup. Aku melihat kekayaannya dalam menikmati hidup. Walaupun sudah dibantu dengan tongkat, syukur Alhamdulillah, ibu masih terlihat sehat. Semua keinginan beliau, kami usaha untuk memenuhinya.

Aku ingat sekitar 17 tahun yang lalu, ketika ibu harus operasi mata karena glukoma. Belum pernah kulihat ibu menangis sedemikian hebat karena menahan sakit. Ketika itu, tepat Hari Idul Fitri, semua anak, cucu, mantu berkumpul, berkumpul di rumah sakit mata. Aku sedih, di saat keluarga lain berkumpul untuk berlebaran, keluarga kami berkumpul untuk operasi mata ibu, tidak terduga. Namun, ada nasihat yang tidak bisa aku lupa, beruntung kami sedang berkumpul ketika ibu harus dioperasi daripada harus mengabari kakak-kakak yang tinggal berjauhan, apalagi dalam suasana lebaran. Alhamdulillah operasi berjalan lancar.

Sekitar lima tahun kemudian, ibu mengalami syaraf terjepit. Kala itu, berat badan ibu memang jauh dari ideal. Yang terjepit syaraf di bagian panggul. Dokter meminta enam kali berturut-turut ibu harus menjalani fisioterapi. Alhamdulillah, bisa pulih seperti sedia kala.

Enam tahun kemudian, kami dihadapkan pada kenyataan pahit. Ibuku divonis penyakit mengerikan, kanker payudara stadium IV. Menurut dokter sudah menyebar sampai tulang kemaluan. Astaghfirullah…. Di usia 75 tahun, dokter sudah tidak berani melakukan operasi dan kemoterapi pun melalui obat. Setelah ibu minum obat kemo sebanyak tiga paket, ibu diharuskan minum obat kanker selama lima tahun. Lagi-lagi aku bersyukur, ibu bisa melewati itu semua. Ibu bisa disebut survivor kanker.

Memasuki usia delapan puluhan, ibuku merasa nyaman, tinggal bersama dengan sang menantu yang dokter. Ibuku mengisi hari-harinya dengan mendengarkan televisi. Ya, mata ibuku sudah tidak berfungsi lagi. Yang kiri karena glukoma, yang kanan karena katarak. Menurutnya, dokter rumah sakit besar pun sudah menyerah, mata ibu tidak bisa diperbaiki lagi. Jadi, ibu menggunakan mata untuk melihat bayangan saja.

Selain meraba dan mencium, ibu mengandalkan pendengaran. Kulihat hari-harinya dilewati dengan keikhlasan. Jika dipersilakan makan, ibu akan meraba dan mencium makanan itu terlebih dahulu agar tahu makanan apa yang akan dimakan. Untuk hiburan, seperti yang sudah kukatakan, ibu selalu didampingi oleh televisi. Jadi, jangan heran kalau ibu masih bisa ikut ngobrol tentang politik, ekonomi, budaya, dan perkembangan pemerintahan saat ini.

Dua tahun belakangan ini sudah punya kursi roda, tetapi ibu lebih sering berusaha berjalan tanpa tongkat. Kupikir dengan kursi roda ibu tetap bisa ikut berkegiatan dengan kami, misalnya, ke mal, ke hotel, ke tempat rekreasi, atau ke rumah makan. Ke hotel sudah kami lakukan, ke tempat rekreasi sudah, ke restoran sudah. Yang belum dilakukan ibu, pergi ke mal. Belum ada waktu yang tepat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun