Mohon tunggu...
Exti Budihastuti
Exti Budihastuti Mohon Tunggu... PNS -

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Memberdayakan Bahasa Jawa di Kota Besar Melalui Kuliner Tradisional

17 Januari 2017   09:41 Diperbarui: 18 Januari 2017   11:09 2438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional sudah kita yakini sejak berikrarnya Sumpah Pemuda yang menyatakan bahwa para pemuda menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain, yaitu bendera dan lambang negara.

Menurut E. Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai dalam Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi, Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain.

Selanjutnya, menurut Zaenal, salah satu fungsi Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai-bagai suku bangsa yang memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke dalam satu kesatuan kebangsaan yang bulat. Di dalam hubungan ini Bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu dengan bahasa nasional itu kita dapat meletakkan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.

Dalam menyikapi kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional itulah muncul suatu pemikiran bahwa kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah penulis perlu dan bahkan sangat penting untuk ditingkatkan. Bermula dari keikutsertaan penulis dalam Kongres Bahasa Jawa V, penulis yang mempunyai latar belakang keluarga berbahasa daerah Jawa, tidak menguasai bahasa daerah Jawa secara aktif, baik ngoko maupun kromo. Sejak kecil penulis bercakap-cakap dengan adik, kakak, dan orang tua menggunakan Bahasa Indonesia. Waktu itu tidak terbersit sedikit pun upaya pelestarian bahasa daerah Jawa, seperti keluarga lain yang juga mempunyai latar belakang keluarga berbahasa daerah Jawa.

Dari Kongres Bahasa Jawa V, muncul ketidakpercayaan diri penulis atas jati diri yang melekat pada diri penulis. Ketika kongres berlangsung, tergambar betapa bangganya orang-orang berkebangsaan Indonesia atas budaya bangsanya. Mereka bisa bercakap-cakap dengan orang Suriname, orang Australia, dan negara lain, menggunakan bahasa daerah Jawa, apalagi bahasa daerah Jawa yang digunakan bahasa daerah Jawa kromo. Di sisi lain, penulis hanya dapat mendengarkan dan sesekali memberi komentar dengan bahasa daerah Jawa ngoko karena semua peserta diharapkan menggunakan bahasa daerah Jawa untuk mengikuti percakapan dalam Kongres Bahasa Jawa V.

Kongres Bahasa Jawa VI, Harian Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Kongres Bahasa Jawa VI, Harian Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Lima tahun setelah Kongres Bahasa Jawa V, penulis telah berusaha menguasai bahasa daerah Jawa sebagai upaya penyangga budaya bangsa, tetapi usaha itu belum menampakkan hasil maksimal. Apalagi setelah penulis menyadari bahwa perkawinan dengan bukan suku Jawa membuat program penguasaan bahasa daerah Jawa kurang berhasil. Ditambah dengan kenyataan bahwa anak penulis juga mengambil kuliah di Jurusan Bahasa Indonesia, penulis agak galau memberikan pengertian ketika sang anak mengambil mata kuliah Dialektologi. Bahasa daerah apa yang harus diajarkan kepada sang anak? Bahasa daerah sang ibu atau bahasa daerah sang ayah? Atau kedua-duanya?

Dalam sebuah diskusi ilmiah di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Dr. Luh Anik Mayani, sebagai salah satu pembicara, mengajukan saran bagi orang-orang yang tidak atau belum menguasai bahasa lokal (bahasa daerah sebagai bahasa ibu) dengan mengikuti kegiatan semacam kursus. Untuk saat ini, kelihatannya usulan seperti itu baru sekedar wacana. Berdasarkan pengalaman penulis, ada kegiatan yang lebih cepat dan mudah dilakukan oleh orang-orang yang ingin menguasai bahasa daerah –bahasa Jawa, misalnya-, yaitu dengan melakukan wisata kuliner tradisional Jawa. Kebetulan keluarga penulis memang gemar menikmati kuliner tradisional. Sehingga muncullah permasalahan bagaimana menjadikan wisata kuliner tradisional menjadi salah satu strategi pemberdayaaan bahasa daerah Jawa dan upaya penyangga kekuatan budaya bangsa?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, diketahui bahwa kata kuliner berarti berhubungan dengan masak-memasak. Sedangkan kata wisata berarti bepergian bersama-sama (untuk memperluas pengetahuan, bersenang-senang, dsb.), bertamasya. Jadi, wisata kuliner adalah wisata yang dilakukan untuk menikmati aneka ragam masakan dari berbagai daerah. Dalam tulisan ini wisata kuliner yang dimaksud dibatasi hanya wisata kuliner tradisional Jawa Tengah dan Yogyakarta sesuai dengan daerah asal penulis. Misalnya, sego kucing, wedang jahe, atau tempe mendoan.Sajian semacam itu menggunakan bahasa daerah Jawa sego, wedang, atau mendoan.

Sumber gambar: tribunnews.com
Sumber gambar: tribunnews.com
Wisata kuliner tradisional bisa dilakukan di berbagai tempat, Jakarta, misalnya. Sebagai ibu kota negara, menyediakan tempat-tempat wisata kuliner tradisional. Hal ini dimaksudkan agar tempat wisata kuliner tradisional itu dapat menjadi tempat menumpahkan kerinduan pada kampung halaman. Juga di daerah Sentul, wisata kuliner terapung Ah Poong, juga menyediakan kuliner tradisional. Jadi, kita tak perlu mengunjungi kota-kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, atau Yogyakarta untuk berwisata kuliner tradisional.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV, diketahui bahwa salah satu arti strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan daya artinya kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak. Memberdayakan artinya membuat berdaya. Berdaya artinya berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, mempunyai akal (cara dsb.) untuk mengatasi sesuatu. Pemberdayaan artinya proses, cara, perbuatan memberdayakan. Sedangkan bahasa daerah ialah bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah; bahasa suku bangsa, seperti Bahasa Batak, Bahasa Jawa, atau Bahasa Sunda. Strategi pemberdayaan bahasa daerah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah rencana yang cermat, meliputi proses, cara, perbuatan memberdayakan bahasa daerah Jawa menjadi bahasa yang produktif.

Menurut Abdul Chaer dalam Sosiolinguistik Perkenalan Awal, di kota-kota besar di Indonesia kini sudah banyak anak-anak yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia, akibat pergaulan di sekolah maupun di rumah. Di kota-kota besar banyak ayah ibu yang sesama mereka masih menggunakan bahasa daerah, tetapi kepada anak-anaknya mereka langsung menggunakan bahasa Indonesia. Kelak, kalau si anak, misalnya, mempelajari bahasa daerah ibunya, maka bahasa ibunya itu menjadi bahasa kedua bagi anak itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun