Sepanjang perjalanan pulang kita ke rumah dari kantor, coba dihitung berapa jumlah toko yang kita lewati. puluhan kilo meter jalan hampir disetiap kanan kiri jalan terdapat toko. baik itu toko kelontong maupun toko swalayan. bahkan kalo pembaca jeli hampir setiap rumah di pinggir jalan saat ini dibuka toko.
konon menurut beberapa berita jumlah toko di indonesia menempati urutan ke-2 setelah india. fenomena berdagang dan membuka usaha rupanya membuat orang berpikiran ekonomis. meskipun secara fakta cukup banyak toko-toko swalayan besar (Ind**rt dan Al**ma**) mencoba membuka toko serba adanya di berbagai lokasi namun tetap saja orang- orang indonesia yang tinggal di kampung-kampung ini mencoba bertarung keberuntungan mendapatkan pembeli.
Memang tidak hanya toko kelontong namun lihat saja mulai kebutuhan pulsa, pakaian, service sepeda motor, cuci motor, pangkas rambut, penjual buah mencoba berlomba - lomba menganalisis pasar dan menebak kebutuhan masyarakat sekitar.
Inovasi yang dilakukan tingkat pedagang pinggir jalan juga unik lihat lah fleksibilitas pembayaran mereka, pembayaran bisa ngutang ( bayar belakangan), atau jika hari raya penjual atau pemiliki toko memberikan bingkisan kepada pembeli loyal. bentuk - bentuk pendekatan marketing personal seperti ini memang unik dan khas.
bersaing dengan swalayan modern merupakan keniscayaan. sehingga sebenarnya hal ini menjadi perhatian pemerintah, setidaknya pemerintah daerah. karena merekalah penggerak ekonomi disekitar daerah tersebut.
Dibalik maraknya toko - toko kecil pinggir jalan itu sebenarnya terdapat cerita yag bertolak belakang dengan kehidupan mereka salah satunya :
1. Berbagi tempat antara Tempat jualan dan Tempat tinggal
Kebanyakan toko kelontong menggunakan rumah tinggal untuk berjualan atau membuka usaha, merelakan ruang tamu atau kamar menjadi gudang barang stok.
Beberapa penjual juga ada yang menyewa toko tersebut sekaligus tempat tinggal, luasan toko sekitar 30 meter persegi dibagi antara tempat usaha, rumah dan kamar mandi. Dengan alih - alih berdagang untuk membiayai ekonomi keluarga mereka merelakan kenyamanan hidup dengan tempat tingga seperti diatas.
2. Tutup lobang untuk keberlangsungan usaha
Dengan fleksibilitas pembayaran (bisa ngutang) tentunya hal ini menjadi nilai tambah dan dampak negatif, dengan toko/usaha pinggir jalan maka suasana ke-tetangga-an masih kental. Sifat tolong menolong antara yang susah masih mendominasi dalam transaksi.
Banyak yang pada akhirnya harus memutar cashflow untuk membeli stok barang dengan uang usaha yang masih belum dibayar oleh pembeli. Ujung-ujungnya ngutang lagi. Tipe tutup lobang gali lobang ini terjadi di usaha ini sehingga banyak usaha ini yang akhirnya tutup ( tidak survive)
3. Mencari Barang murah untuk tipisnya keuntungan
Persaingan dengan swalayan ritel tadi membuat pemilik usaha toko pinggir jalan harus memutar otak bagaimana mendapatkan barang murah untuk sedikit mendapatkan keuntungan.
Tidak jarang mereka ikut berburu barang diskon dari swalayan ritel untuk ditimbun atau dijual kembali saat harga kembali normal. Karena keterbatasan informasi bagi pedagang ikut menentukan laba yang diperoleh, contohnya harga beras naik namun karena informasi terbatas pedagang ini tidak menaikkan barang sehingga seharusnya keuntungan yang diperoleh menjadi menipis dan susah untuk mendapat barang lagi dengan harga rendah.
Belum lagi masalah kadaluarsa barang, berapa banyak barang stok dagangan yang rusak atau kadaluarsa karena terlalu lama belum terjual, hal ini menimbulkan permasalahan sendiri, ada pedagang yang jujur membuang barang kadaluarsa namun ada pedagang yang curang akan tetap menjual barang kadaluarsa ini yang dampaknya bisa sangat fatal bagi pembeli.
Untuk Membina dari risiko tersebut sudah selayaknya memerankan optimalisasi peran - peran bersama. Jika melihat strata organisasi terkecil yakni RT/RW/Kelurahan/Kecamatan dsb maka sekiranya perlu untuk ditekankan masuk ke tingga RT akan lebih baik, misalnya beberapa hal dibawah ini:
1. Bantuan akses Modal
Kebanyakan mereka memulai usaha dengan modal yang minim bahkan tidak jarang melakukan pinjaman sana sini untuk mebeli stok barang atau asset. Di beberapa toko bahkan menggunakan modal dari pinjaman rentenir sehingga bisa dibayangkan berapa bungan pinjaman yang harus dibayarkan disamping harus memulai usaha.
Belum ada pemaksimalan fungsi RT/RW sebagai media penggerak ekonomi ini, fungsi RT/RW hanya sebatas adminstrasi dan perijinan saja dan belum menyentuh aspek pengembangan usaha wilayah sekitarnya.
Lihat berapa BUMN atau departemen yang mengurusi masalah UMKM dengan banyaknya SDM yang mereka miliki, mungkin perhatian masih dikerahkan kepada pelaku UMKM berskala yang lebih tinggi namun melihat besaran pelaku usaha perdagangan kecil pinggir jalan ini sudah sewajarnya mendapatkan perhatian mengenai kemudahan akses modal.
Kekhawatiran pihak pemilik modal ini diantaranya apakah benar modal yang dikeluarkan akan dapat kembali atau benarkah usaha yang digelontori modal mampu bertahan sampai modal yang diberikan terbayar. Belum ada yang menjamin karena pemerintah juga enggan bersentuhan dengan usaha-usaha semacam ini.
Andaikan akses permodalan ini mudah dan benar-benar menyentuh usaha -usaha yang berkualitas, tentu efek domino yang ditimbulkan akan sangat masif, ekonomi perdagangan berjalan, pengangguran berkurang, ekonomi daerah meningkat dan sebagainya.
2.Edukasi dan Sosialisasi Keuangan
Permasalahan modal usaha tidak bisa selesai begitu saja namun perlu adanya edukasi dan pola pembinaan agar toko-toko pinggir jalan tersebut mampu bersaing secara sehat dan mampu mengelola keuangan secara baik.
Jika pihak pemilik modal / pemberi modal khawatir dapatkah modalnya kembali maka seharunya ada jawaban atau jembatan untuk masalah ini, misalnya pola pendampingan yang selama ini digaungkan, dengan pendampingan melekat maka setiap pola usaha sehingga kapan harus menggunakan uang untuk belanja usaha dan kapan harus membayar kewajiban hutang menjadi jelas dan terencana.
Sudah cukup banyak contoh toko toko yang akhirnya gulung tikar atau berubah usaha hanya karena belum adanya pengetahuan pemisahan keuangan keluarga/personal dengan keuangan usaha. Atau jika keuntungan sudah didapat masih sering digunakan untuk kebutuhan konsumtif pemilik toko sehingga pada akhirnya cashflow usaha terganggu.
Edukasi memiliki dampak juga pada pengelolahan keuangan keluarga, bagaimana pembangunan ekonomi keluarga juga harus menjadi perhatian para pemilik usaha agar tidak mengesampingkan keberlangsungan ekonomi keluarga.
Memang belum ada data yang mengkordinasikan perihal industri perdagangan skala kecil ini, namun dipastikan cukup banyak pelaku yang mengalami kendala modal dan persaingan menjalankan bisnis. Sebenatnya kekuatan data ini menjadi penting karena dari sini dapat manjadi pelajaran bagi pelaku usaha untuk berhati-hati dalam menjalankan usaha dan kelola modal.
3.Pembinaan Pengetahuan Layanan dan Regulasi
Memang belum ada undang - undang khusus untuk aturan membuka usaha skala kecil di negara ini namun setidaknya dengan besarnya pelaku usaha ini bukan tidak mungkin muncul masalah - masalah hukum baik dari lingkungan sekitar, pembeli ataupun pihak tertentu.
Penyadaran tentang pola pelayanan pelanggan dan regulasi setidaknya menjadi perhatian pemerintah, jangan sampai sudah banyak pelaku dan kejadian baru dilakukan pengaturan atau edukasi, sebelum terlambat pemerintah harus bisa membaca fenomena ini dan segera melakukan langkah - langkah antisipatif.
Sudah banyak kampus - kampus di indoensia yang memiliki jurusan bisnis atau enterpreneur/wirausaha namun ada gap antara dunia kampus yang dikenal dengan dunia teori dengan dunia usaha nyata. Akan cukup ideal jika kampus ikut mempraktekan ilmu bisnis yang didapat dengan menjadi pendamping pelaku usaha, berbagai ilmu teori dengan ilmu lapangan dan menemukan adjustmentnya akan lebih efisien dibandingkan harus tahu ilmu teori namun buntu ketika menghadapi relitas bisnis.
Banyak juga lulusan fakultas hukum di indonesia yang masih menganggur, sementara ada kenbutuhan di masyakarakat tentung kesadaran hukum. Namun gap ini belum banyak dibaca atau pemerintah belum bisa membangun jembatan perantara ini. Beberapa LSM dan LBH sudah mencoba masuk ke area ini namun belum masif.
sumber : kompas, bisnis, tempo, kemenkop umkm, deperindag, bank indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H