Mohon tunggu...
Exnasius Jaka Purnama
Exnasius Jaka Purnama Mohon Tunggu... Administrasi - Guru di SMP Taruna Nusa Harapan

Karena berani mencoba saya menjadi bisa. Karena terus mencoba saya menjadi terbiasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Genangan Menuju Harapan Baru

20 Desember 2024   12:00 Diperbarui: 20 Desember 2024   14:40 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu, langit Kota Mojokerto seolah-olah tak pernah puas menumpahkan air matanya. Sejak sore, suara hujan mengentak-entak atap rumah seperti genderang perang yang tak kunjung usai. Di dalam rumah kecil kami, istri dan anak-anak mulai gelisah. Hujan memang teman setia Desember, tapi kali ini ia datang dengan wajah yang berbeda.

Air mulai merembes masuk. Awalnya hanya setinggi telapak kaki, tetapi perlahan-lahan, ia berubah menjadi lautan kecil di ruang tamu. Dalam hati, saya berdoa agar ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu. Namun, kenyataan tak semudah itu.

Tiga hari pertama, kami mencoba bertahan. Setiap pagi, saya berdiri di depan pintu rumah, memandangi derasnya hujan yang seolah tanpa jeda. Jalanan di depan rumah telah berubah menjadi sungai keruh, sementara gemuruh air mengisi setiap sudut. Kami terisolasi, hanya ditemani ketidakpastian dan doa-doa yang tiada henti dipanjatkan.

Namun, di tengah kesulitan itu, ada kebaikan yang menghangatkan hati. Rekan-rekan kerja tidak tinggal diam. Satu per satu, mereka datang dengan bantuan makanan. Meskipun hujan telah reda pagi itu, genangan air yang tinggi masih menghalangi jalanan. Mereka tetap tak ragu menembus dingin untuk mengirimkan sekotak nasi, beberapa botol air, dan pelipur semangat dalam bentuk senyuman. "Jangan khawatir, Pak. Kami selalu ada untuk membantu," ucap Bu There, salah seorang teman, dengan wajah tulus. Sungguh, kepedulian itu adalah api kecil yang menjaga kami tetap hangat di tengah malam yang penuh kecemasan.

Pada hari ketiga, air yang menggenang tak juga menunjukkan tanda-tanda surut. Istri saya mulai cemas, dan anak-anak terlihat semakin bosan. "Pa, kita harus pergi," bisik istri saya dengan suara bergetar. Hati kecil saya memberontak, tetapi saya tahu, keputusan ini tak bisa lagi ditunda.

Siang itu, meskipun hujan telah berhenti, sisa genangan yang mencapai pinggang membuat jalan di depan rumah kami tetap seperti sungai. Saya berdiri di depan rumah, tubuh saya basah kuyup oleh cipratan air, sambil melambai-lambaikan tangan untuk memanggil bantuan. "Pak, tolong! Ada anak-anak di dalam!" teriak saya ketika sebuah perahu karet milik personel Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terlihat melintas. Mereka segera mendekat, wajah mereka menyiratkan kepedulian yang mendalam.

Setelah memandu perahu merapat, saya masuk ke dalam rumah untuk menjemput istri dan anak-anak. "Ayo, kita harus cepat!" kata saya sambil memastikan mereka membawa barang-barang yang diperlukan. Saya memanggul tas berisi pakaian seadanya dan beberapa buku favorit anak saya, sebuah upaya kecil untuk menjaga semangat mereka.

Di tempat pengungsian, suasana penuh sesak oleh wajah-wajah lelah. Namun, demi kenyamanan istri dan anak-anak, kami akhirnya berpindah ke asrama sekolah, tempat saya bekerja. Pak Blasius, Kepala Sekolah, dengan penuh kepedulian membantu kami berkomunikasi dengan pengurus yayasan. "Tenang saja, asrama siap menampung keluarga Bapak. Fokuslah untuk menjaga kesehatan," ujar Pak Blasius, melalui sambungan telepon. Kata-katanya seperti embun yang menyejukkan hati kami yang gundah.

Di asrama, suasananya jauh lebih nyaman. Anak-anak mulai ceria kembali, bermain di ruang yang lebih luas. Istri saya juga tampak lebih tenang, bisa istirahat tanpa harus memikirkan dingin atau sesaknya tempat pengungsian. Dalam hati, saya merasa bersyukur atas bantuan dari sekolah dan yayasan yang memberikan ruang aman bagi kami.

Seminggu berlalu, dan perlahan-lahan air surut. Ketika akhirnya kami kembali ke rumah, yang kami temukan adalah kekacauan: beberapa perabotan rusak, buku-buku basah, dan tembok yang penuh noda air. Namun, saya tahu, kami membawa pulang sesuatu yang jauh lebih penting yaitu harapan.

Hari ini, sambil membersihkan sisa-sisa banjir, saya mendongengkan cerita tentang hujan kepada anak-anak saya. Dalam cerita itu, hujan bukanlah musuh, melainkan sahabat yang datang untuk menguji ketangguhan kita. Dan saya melihat mereka tersenyum, percaya bahwa cobaan ini hanyalah bagian kecil dari perjalanan panjang kehidupan.

Hujan telah pergi, tapi ia meninggalkan jejak yang tak terlupakan yaitu keberanian, kasih sayang, dan harapan yang tak pernah padam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun