2006 adalah tahun pertama saya mengajar di sekolah ini. Pada saat itu, saya mendapatkan mandat untuk mengampu dua mata pelajaran sekaligus yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Untuk mengajarkan mapel bahasa Indonesia saya berpikir ah sudah biasa itu. Namun, untuk mengajarkan bahasa Jawa menjadi sedikit beban pikiran bagi saya. Saya belum pernah mengajarkan bahasa Jawa buat siswa SMP. Apalagi bahasa Jawa di kota ini dialek dan logat bicaranya sangat kental dan berbeda dengan daerah asal saya. Wah tantangan baru, pikir saya.
Mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus masuk kelas juga. Pertama kali masuk kelas bahasa Jawa saya membuat sebuah kesepakatan bersama para siswa. Kesepakatan itu ialah dalam kegiatan pembelajaran bahasa Jawa para siswa wajib menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi di kelas baik kepada guru maupun teman. Saya dan para siswa juga menyepakati bahwa pada hari-hari tertentu baik di dalam maupun di luar kelas ketika berjumpa dengan warga sekolah wajib berkomunikasi dalam bahasa Jawa. Respon para siswa sangat beragam dalam menanggapi kesepakatan yang saya buat ini.
Pertemuan pertama di kelas bahasa Jawa pun berlalu. Tibalah waktunya pertemuan kedua di kelas. Dalam sebuah kegiatan pembelajaran, seorang siswa sedang asyik menyalin tulisan saya dari papan tulis. Tiba-tiba dia berteriak kepada saya “Pak, endhase nutupi.” Seorang siswa ketika pulang sekolah bertanya kepada saya “Pak Jaka, Kevin kelas VIII A apa wis kondur saking sekolah?” Sementara itu, siswa lain berkata kepada saya“Pak Jaka, kala wingi kula mboten saged tindak sekolah amargi gerah”.Kalau kenyataannya seperti itu, siapakah yang harus saya salahkan?
Berpikir tentang hal ini membawa angan saya pada masa kuliah dulu. Dalam perkuliahan Teori Belajar Bahasa dijelaskan bahwa pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, berkomunikasi, dan beradaptasi dalam lingkungan, dan untuk melakukan kontrol sosial.
Sebagai alat untuk mengekspresikan diri, bahasa berfungsi menyatakan segala sesuatu yang tersirat dalam pikiran dan hati kita, agar menarik perhatian orang lain. Dalam perkembangannya, selaras dengan perjalanan hidup seseorang.Pada awalnya, seorang bayi atau anak kecil menggunakan tangisan untuk mengekspresikan kehendak atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah dan ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak dapat mengekspresikan kehendaknya menggunakan bahasa yang dipelajari dari orang-orang di sekitarnya.
Kita ingin kehendak atau perasaan yang kita ekspresikan dengan bahasa bisa dipahami orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap gagasan kita. Kita ingin orang lain mengikuti pandangan kita. Dengan demikian kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi.
Dengan komunikasi, setiap orang bisa melakukan aktivitasnya di manapun tempat sesuai dengan bidang pekerjaan yang digelutinya. Selain itu, setiap orang juga melakukan pekerjaan bersama dengan orang lain menurut tatanan yang harus ditaati oleh semua orang. Hal ini bisa menumbuhkan rasa kebersamaan atau melebur di lingkungan sosial atau interaksi sosial.
Di tengah kehidupan bermasyarakat atau hidup bersama dengan orang lain kita seringkali menemukan hal-hal, kata-kata, maupun tindakan yang dipandang kurang tepat. Di situlah bahasa bisa menjadi sarana untuk menyampaikan gagasan/pendapat atau kontrol sosial.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa bahasa, lebih-lebih bahasa Jawa, memiliki predikat yang sangat penting. Oleh karena itu, sebagai penduduk berbudaya Jawa, harus berupaya supaya bahasa Jawa bisa lestari dan semakin banyak digunakan oleh orang dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pandangan saya, ada banyak sekali cara yang bisa dilakukan untuk melestarikan bahasa Jawa. Pertama, dimulai dari keluarga. Bisa dikatakan bahwa lingkungan keluarga merupakan tempat yang paling baik untuk menumbuhkan minat pemakaian bahasa Jawa. Meskipun demikian,hal itu tidaklah mudah karena kenyataannya banyak orang tua yang sudah merasa kesulitan menggunakan bahasa Jawa. Selain itu, banyak keluarga di Jawa yang asalnya berbeda suku, seperti orang Jawa menikah dengan orang Flores, Makasar, Lampung, dan sebagainya. Bahkan yang sama terjadi pada diri saya. Saya menikah dengan wanita asal Surabaya keturunan Manado. Namun demikian, saya tetap berusaha untuk selalu mengajarkan komunikasi bahasa Jawa yang baik dan benar kepada anak saya.
Lembaga pendidikan atau sekolah juga bisa sebagai tempat dan sarana untuk melestarikan bahasa Jawa. Salah satu cara yang sudah saya lakukan yaitu menjadikan Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar (tidak hanya bahasa Indonesia saja), dalam pembelajaran. Namun, perlu diupayakan supaya mata pelajaran bahasa Jawa tidak menjadi suatu pelajaran yang menakutkan bagi siswa seperti yang terjadi sekarang ini.
Pemakaian bahasa Jawa juga bisa digalakkan di tengah masyarakat. Kebetulan saya sebagai pengurus RT di wilayah tempat tinggal. Saya mendesak kepada Ketua RT agar dalam rapat RT, arisan, PKK, doa bersama, dan sebagainya dibiasakan menggunakan bahasa Jawa.
Selain itu, pemakaian bahasa Jawa di lembaga pemerintahan sebenarnya merupakan tempat yang paling strategis. Seperti yang sudah dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Solo.
Masih ada lagi sarana untuk melestarikan pemakaian bahasa Jawa, yaitu media massa. Media massa merupakan sarana komunikasi yang paling cepat, praktis, dan banyak berperan dalam mengembangkan kebudayaan, termasuk bahasa Jawa. Namun sayangnya, banyak media massa berbahasa Jawa yang terpaksa tutup karena pelanggannya yang terlalu sedikit sehingga tidak cukup untuk menutup biaya produksi. Meskipun demikian, kita masih bisa berbangga karena di Provinsi Jawa Timur masih ada media elektronik (radio dan televisi) yang mengadakan siaran berbahasa Jawa. Apalagi siaran tersebut juga menayangkan tentang kebudayaan dan kesenian Jawa.
Selain berbagai cara yang sudah disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Misalnya, para orang tua masih berkenan melestarikan bahasa Jawa dengan cara memberi nama putra-putrinya dengan kata-kata Jawa. Demikian juga masyarakat juga diminta menggunakan bahasa Jawa untuk memberi nama jalan, gedung, stadion, dan sebagainya.
Lembaga yang terkait atau siapa saja akan sangat baik bila mau menggalakkan kegiatan lomba dalam bidang kesenian atau kebudayaan Jawa, seperti macapat, geguritan, menulis aksara jawa, campur sari, menyinden, kethoprak, dan sebagainya.
Hari bahasa Jawa atau menggunakan bahasa Jawa di waktu atau hari khusus, seperti yang sudah saya laksanakan di sekolah juga sangat bijak bila dilakukan.
Harapan saya, jika banyak warga masyarakat atau lembaga yang bersedia turut campur tangan melestarikan bahasa Jawa, di masa yang akan datang bahasa Jawa tidak akan punah, sebaliknya akan semakin lestari dan berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H