Tulisan ini saya ambil dari blog pribadi saya sendiri Excel Philosophy
...
...
Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa tulisan saya di artikel ini bukannya bermaksud untuk membuktikan Tuhan itu ada atau tidak ada. Saya hanya menuliskan bagaimana konsep transenden dan imanen Tuhan dari sudut pandang kaum agamawan dan Albert Einstein selaku saintis.
***
Sebagian besar kaum agamawan yang memahami ajaran 'institusi agama' hanya secara tekstual, mereka hanya melihat dan memahami Tuhan dari sudut pandang antropomorfis-simbolis. Maksudnya, Tuhan dalam pandangan tersebut cenderung bersosok dan seolah memiliki sifat kemanusiaan (personal) secara harfiah. Dimana Tuhan personal tersebut dengan kehendaknya dapat menghukum dan memberi pahala bagi manusia (dalam pehamaman simbolis semata)
Tak bisa dipungkiri, Tuhan seringkali dikonsepkan dalam sebuah gagasan oleh para agamawan. Tanpa disadari, konsep Tuhan yang dipahami oleh para kaum agamawan tersebut justru membatasi Tuhan itu sendiri. Dalam hal ini, konsep Tuhan personal yang dipahami secara harfiah.
Tuhan personal (dalam pemahaman harfiah), sebenarnya sangat berpotensi untuk membunuh Tuhan itu sendiri. Misalnya saja pada konsep Tuhan personal, Tuhan memiliki tiga sifat dasar, yaitu :
- Omnipotent (Maha Kuasa, bisa melakukan apapun, kapanpun dan dimanapun)
- Omniscience (Maha Mengetahui, bisa mengetahui segalanya baik di masa lalu ataupun di masa depan)
- Omnipresent (Bisa berada di manapun)
Yang jadi masalah adalah, bagaimana mungkin Tuhan bisa omnipotent dan omniscience sekaligus ? Jika Tuhan omniscience, berarti Dia bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Sedangkan jika dia omnipotent, dia bisa melakukan apapun di masa depan.
Jika Tuhan dengan kemampuan omniscience-Nya mengetahui bahwa di masa depan akan terjadi kejadian A, lalu dengan kemampuan omnipotent-Nya Dia mengubah kejadian tersebut menjadi kejadian B, maka secara tidak langsung Tuhan salah tentang pengetahuan awalnya mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan.
Atau bisa saja Tuhan mengetahui kalau Dia akan mengubah kejadian A menjadi kejadian B, tapi dengan kemampuan omnipotent-Nya Dia tidak mengubah apapun di masa depan sehingga di masa depan tetap terjadi kejadian A. Secara tidak langsung, Tuhan salah mengenai pengetahuan awalnya akan masa depan.
Kasus di atas hanya salah satu contoh argumen yang mematahkan konsep "Tuhan Personal" yang dipahami secara harfiah oleh sebagian besar kaum beragama. Pandangan mengenai Tuhan Personal justru sangat berpotensi untuk menghancurkan sifat transenden Tuhan. Memahami Tuhan hanya sebatas simbolis saja akan mengikat Tuhan dalam gagasan imanen dan menghancurkan transendensi-Nya.
Karena pemahaman harfiah akan Tuhan justru mengikat Tuhan hanya dalam konsep imanen, bukankah itu berarti mematahkan sifatnya yang omnipresent..? Jika Tuhan itu omnipresent seharusnya Tuhan bisa saja berada dalam kondisi transenden maupun imanen, walaupun itu adalah dikotomi yang berlawanan.
Bertolak dari situ, para saintis seperti Albert Einstein mencoba membuat gagasan tentang Tuhan yang impersonal. Dipengaruhi oleh hipotesa Spinoza dalam karyanya yang berjudul Ethics, Einstein kemudian menggagaskan bahwa "Tuhan merupakan Kecerdasan Tertinggi yang menampakkan dirinya dalam harmoni dan keindahan alam". Tuhan bukanlah sesuatu yang bersosok (personal) seperti manusia secara harfiah. Sebagaimana pandangan Spinoza, Tuhan adalah struktur pengatur kosmis yang impersonal. Dalam pandangannya, sesuatu yang oleh Injil disebut sebagai aktifitas Ilahi sejatinya adalah semacam hukum ketentuan alam. Sesuatu yang disebut sebagai kehendak Tuhan tak lain adalah hukum-hukum alam yang bekerja sebagaimana mestinya.
Melihat kedua pandangan baik dari kaum agamawan maupun saintis seperti Einstein sendiri, saya berpendapat bahwa secara substansial, sejatinya mereka mengakui gagasan Tuhan transenden yg mendasari penciptaan dan harmoni alam semesta. Perbedaannya, kaum agamawan hanya sekedar menafsirkan Tuhan secara tekstual sedangkan Einstein menafsirkan Tuhan secara kontekstual. Tapi walaupun begitu, sifat-sifat Tuhan yang seolah-olah personal tetap dapat dipahami melalui hukum-hukum alam (imanen)
Dalam hal ini, Einstein percaya Tuhan personal namun Tuhan yang personal itu tidak campur tangan terhadap perbuatan manusia itu sendiri secara harfiah (seperti pemberian takdir, mengabulkan doa, dsb). Takdir, pengkabulan doa, dan sebagainya, sejatinya hanyalah hukum-hukum alam yang bekerja sebagaimana mestinya.
Sifat-sifat Tuhan yang imanen hanyalah sifat-sifat universal Tuhan yang dapat dijangkau oleh akal manusia. Sedangkan sifat transenden adalah sifat-sifat khusus Tuhan yang tidak bisa diselami akal. Permasalahan utama kaum agamawan, mereka mempecayai Tuhan yang transenden, namun disaat yang sama mereka tanpa sadar memaknai sifat imanen Tuhan bahkan sampai ke sifat khususnya yang seharusnya di luar jangkauan akal. Mereka tanpa sadar menghancurkan sifat transenden Tuhan dan akhirnya membunuh Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H